MENDESAIN ULANG PERUBAHAN SOSIAL
Panta-Rhei (Herakleitos)
(segala sesuatu berubah, tiada yang tetap dalam perubahan
kecuali perubahan itu sendiri)
Prolog: Sebuah Kasus Awal
Mulanya
biasa saja. Sebuah masyarakat di daerah terpencil pinggiran hutan di Kalimantan
adalah komunitas adat yang setia
terhadap warisan tradisi leluhur. Pemahaman mereka atas hutan, pohon dan tanah
masih bersifat sakral dan berdimensikan transendental. Tapi sejak upaya
modernisasi dari negara melalui proyek pembangunan dengan program transmigrasi,
pengembangan kawasan desa hutan, pariwisata, dan apapun namanya, daerah
tersebut mulai terbuka bagi masuknya arus masyarakat dari luar komunitas adat,
tak terkecuali masuknya Media Televisi melalui antena parabola.
Keterbukaan
masyarakat adat tersebut mulai terlihat dengan persentuhan dengan masyarakat
luar yang juga membawa serta bentuk-bentuk kebudayaan; dari cara berpikir
hingga perilaku. Tidak itu saja, masuknya televisi telah mampu merubah berbagai
sistem nilai dan sistem makna yang terdapat dalam masyarakat terbut. Sebelum
ada modernisasi (dan televisi) masyarakat tersebut memiliki kearifan lokal
untuk selalu bersosialisasi, berinteraksi sosial, dan sebagainya. Ketika
televisi baru memasuki desa dan jumlahnya belum seberapa, alat tersebut justru
menjadi sarana yang memperkuat kebersamaan, karena tetangga yang belum
mempunyai televisi boleh menumpang menonton. Namun ketika televisi semakin
banyak dan hampir tiap keluarga memilikinya, maka kebersamaan itu segera
berkahir, karena masing-masing keluarga melewatkan acara malam mereka di depan
pesawatnya.
Tanpa
disadari media telivisi telah merubah segalanya dalam struktur maupun kultur
masyarakat tersebut. Peristiwa itu meminjam istilah Ignas Kleden[3]
menunjukkan bahwa nilai-nilai (kebersamaan atau individualisme) dan tingkah
laku (berkumpul atau bersendiri), secara langsung dipengaruhi oleh hadirnya
sebuah benda materiil. Parahnya, pola kehidupan yang menghargai kebersamaan beralih
menjadi individualis, sifat gotong royong tergantikan sifat pragmatisme dalam
memaknai segala bentuk kebersamaan dan kerja. Taruhlah misalnya ketika memaknai
tanah warisan. Jika dulu bermakna teologis, sekarang lebih dimaknai bersifat
ekonomis belaka. Tidak jarang jika dulu masyarakat mati-matian membela tanah
warisnya, sekarang tergantikan kepentingan ekonomis untuk dijual kepada
pengusaha dari kota. Tak pelak lagi, hotel-hotel, villa-villa, cafe-cafe dan
apapun namanya mulai bermunculan di masyarakat terpencil tersebut. Lambat laun,
masyarakat tersebut sudah berubah citranya secara fundamental sebagai
masyarakat adat dengan kearifan lokalnya menjadi masyarakat ’pinggiran’
berwajah metropolitan dengan segenap perubahan yang ada. Sayangnya, yang diuntungkan
dalam kondisi masyarakat yang demikian ternyata tidak merata. Bahkan hampir
sebagian besar masyarakat tetap menjadi ’penonton’ dalam perubahan struktur
maupun kultur yang terjadi.
Dalam
kondisi yang demikian, apa yang seharusnya dilakukan? Membiarkan berada dalam
situasi ketidakmenentuan, sehingga masyarakat adat kian tersisihkan atau
tergerus oleh kepentingan ekonomis-pragmatis atau ikut serta terlibat merancang
sebuah strategi perubahan sosial agar perubahan masyarakat tersebut dapat
direncanakan?
perubahan Sosial: awal dari rekayasas sosial
Prolog
ini merupakan catatan awal untuk memberikan suatu preskripsi bahwa perubahan
sosial merupakan keniscayaan yang menimpa suatu masyarakat, seberapapun dia
tersisolasi. Persoalannya bagaimana perubahan sosial tersebut dirancang dengan
perencanaan, sehingga yang muncul dalam masyarakat yang berada dalam order
(tatanannya); meskipun didalamnay berkelindan berbagai perubahan. Artinya;
tiada masyarakat yang dapat steril dari perubahan sosial. Justru perubahan
sosial memberikan suatu bukti terjadinya dinamika di dalam masyarakat tersebut.
Tanpa perubahan sosial, masyarakat tersebut adalah masyarakat yang ’mati’,
stagnan, tanpa dinamika.
Terdapat
dua (2) bentuk perubahan sosial. Pertama, perubahan sosial yang tidak
terencana (unplanned social change). Perubahan social yang terjadi terus
menerus yang terjadi secara perlahan yang tanpa direncanakan yang biasanya
diakibatkan oleh teknologi dan globalisasi. Perubahan dalam contoh di atas
adalah salah satu bentuk adanya perubahan yang tidak disadari dengan hadirnya
kebudayaan materiil, yakni televise. Kedua, perubahan social yang
terencana (planned social change); yakni sebuah perubahan social yang
didesain serta ditetapkan strategi dan tujuannya[4].
Nah, dalam kasus perubahan social di desa adapt tersebut di atas juga terjadi
akibat sebuah desain matang (rekayasa social) dari Negara, misalnya melalui
proyek modernisasi yang berbalut ideologi pembangunanisme (developmentalisme).
Lalu apa
sesungguhnya perubahan social tersebut. Perubahan social adalah proses
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial[5].
Sementara Suparlan[6]
menegaskan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan
pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup; sistem status,
hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, serta
persebaran penduduk. Selain itu terdapat tiga (3) unsur penting perubahan
sosial, yakni (1) sumber yang menjadi tenaga pendorong perubahan, (2) proses
perubahan, dan (3) akibat atau konsekuensi perubahan itu[7].
Menurut Jalaluddin Rahmat[8],
ada beberapa penyebab terjadinya perubahan sosial. (1) bahwa masyarakat berubah
karena ideas; pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nilai. Max
Weber adalah salah satu tokoh yang percaya bahwa ideas merupakan
penyebab utama terjadinya perubahan sosial. Hal ini dia perlihatkan dalam
menganalisis perubahan sosial dalam masyarakat Eropa dengan semangat etik
protestanismenya sehingga memunculkan spirit kapitalisme. Diakui oleh Weber
bahwa ideologi ternyata berpengaruh bagi
perkembangan dalam masyarakat. (2) yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam
masyarakat juga terjadi dengan adanya tokoh-tokoh besar (the great
individuals) yang seringkali disebut sebagai heroes (pahlawan), dan
(3) perubahan sosial bisa terjadi karena munculnya social movement
(gerakan sosial). Yakni sebuah gerakan yang digalang sebagai aksi sosial,
utamanya oleh LSM/NGO, yayasan, organisasi sosial, dsb serta
Lebih lanjut Kang Jalal[9]
menyebut bahwa dalam perubahan sosial dibutuhkan berbagai strategi yang
selayaknya dilakukan melalui berbagai cara, tergantung analisis situasi atas
problem sosial yang ada. (1) strategi
normative-reeducative (normatif-reedukatif). Normative adalah kata sifat
dari norm (norma) yang berarti atuiran-aturan yang berlaku dalam
masyarakat. Norma tersebut termasyarakatkan lewat education, sehingga
strategi normatif digandengkan dengan upaya reeducation (pendidikan ulang)
untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat lama dengan yang
baru[10].
Cara atau taktik yang dilakukan adalah dengan mendidik, bukan sekedar mengubah
perilaku yang tampak melainkan juga mengubah keyakinan dan nilai sasaran
perubahan, (2) persuasive strategy (strategi persuasif). Strategi
perubahan yang dilakukan melalui penggalangan opini dan pandangan masyarakat
yang utamanya dilakukan melalui media massa dan propaganda. Cara yang dilakukan
adalah dengan membujuk atau mempengaruhi lewat suatu bentuk propaganda ide atau
hegemoni ide.(3) perubahan sosial terjadi karena revolusi atau people’s
power. Revolusi dianggap sebagai puncak (jalan terakhir) dari semua bentuk
perubahan sosial, karena ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial, dan
mengudang gejolak dan emosional dari semua orang yang terlibat di dalamnya.
rekayasa sosial: gagasan konseptual
Berangkat dari realitas bahwa
perubahan sosial tidak dapat dicegah sebagai sebuah keniscayaan sejarah, baik
direncanakan maupun tidak direncanakan, tulisan ini berupaya lebih dilokalisir
untuk mewacanakan perubahan sosial dengan perencanaan atau desain perubahan
sosial. Istilah populernya adalah rekayasa sosial.
Istilah "rekayasa sosial (social engineering)"
seringkali dipandang negatif karena lebih banyak digunakan untuk menunjuk
perilaku yang manipulatif. Padahal, secara konseptual, istilah "rekayasa
sosial" adalah suatu konsep yang netral yang mengandung makna upaya
mendesain suatu perubahan sosial sehingga efek yang diperoleh dari perubahan
tersebut dapat diarahkan dan diantisipasi. Konsep rekayasa sosial, dengan
demikian, menunjuk pada suatu upaya mendesain atau mengkondisikan terjadinya
perubahan struktur dan kultur masyarakat secara terencana. Rekayasa sosial (social
engineering) adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menciptakan
masyarakat yang bersih, kuat, disiplin dan berbudaya. Dalam prinsip berpikir sistem, perubahan yang
signifikan hanya dapat dilakukan oleh individu dan masyarakat itu sendiri, bukan
menunggu peran struktur saja. Untuk membentuk struktur yang kuat, diperlukan
elemen kebaruan (emergent properties) yang lahir dari individu dan
komunitas yang sadar/belajar secara terus menerus (the lifelong learner).
Komunitas ini dapat dirancang dengan menggunakan pendekatan dan penerapan
beberapa prinsip organisasi pembelajaran (learning organisation) dan
berpikir sistem (system thinking) yang dirajut dan dikonstruksi dalam
konsep dan metode pembelajaran primer.
Dari Problem Sosial, Unsur-Unsur Sosial hingga Aksi
Sosial
Pada dasarnya rekayasa sosial hanya
dapat diselenggarakan kepada masyarakat yang didalamnya terdapat sejumlah problem (sosial).
Problem-problem sosial tersebut memberikan dampak bagi perjalanan panjang
(dinamika) dalam masyarakat. Tapa ada
problem sosial, tidak akan ada orang berpikir untuk melakukan rekayasa sosial.
Artinya, problem sosial menjadi faktor utama untuk segera diatas dalam
melakukan rekayasa sosial.
Problem
sosial biasanya muncul akibat terjadinya kesenjangan antara apa yang seharusnya
terjadi dalam masyarakat (das sollen) dengan kondisi yang sebenarnya
terjadi (das sein). Misalnya; awalnya masyarakat berharap agar arus lalu
lintas di Metropolitan Surabaya berjalan aman, tertib dan lancar. Semua
pengguna jalan raya berjalan dengan mentaati aturan yang berlaku, ada atau
tidak ada petuga. Sayangnya, apa yang diinginkan oleh masyarakat bertolak
belakang dengan realitas yang terjadi. Betapa banyak pelanggaran lalu lintas
terjadi akibat ketidaktaatan mereka pada peraturan. Akibatnya terjadi perbedaan
antara yang ideal dengan realitas. Kesenjangan tersebut merupakan suatu problem
sosial yang mesti segera di atasi. Itulah sebabnya, dibuatlah sebuah skenario
(strategi) sebagai bagian rekayasa sosial melalui kampanye safety riding[11].
Dengan
demikian, dalam melakukan rekayasa sosial, analisis atas situasi (problem
sosial) dalam masyarakat tidak boleh ditinggalkan. Sebab, bisa jadi tanpa
analisis situasi ini sebuah rekayasa sosial akan mengalami kegagalan. Ibarat
sebuah adagium salah di tingkat hulu akan berakhir fatal di tingkat hilir.
Salah dalam membaca sebab musabab sehingga terlahir problem sosial akan
berakibat kesalahan dalam menentukan rekayasa sosial yang dijalankannya. Tanpa
pembicaraan mengenai problem sosial ini, alih-alih melakukan rekayasa sosial
untuk menyelesaikan problem sosial, kita mungkin malah menambah panjang
munculnya problem sosial baru. Dalam melakukan pemecahan atas problem sosial ada kalanya
memang dituntut aksi sosial (aksi kolektif) yakni tindakan kolektif (bersama)
untuk mengatasi problem sosial, sehingga perubahan sosial bisa digerakkan
bersama sesuai dengan keinginan bersama.
Philip
Kotler[12]
memberikan gambaran unsur-unsur sosial dan aksi sosial yang dapat dilakukan
dalam melakukan rekayasa sosial; (1) cause (sebab), yakni upaya atau
tujuan sosial –yang dipercayai oleh pelaku perubahan- dapat memberikan jawaban
pada problem sosial, (2) change agency (pelaku perubahan), yakni
organisasi yang misi utamanya memajukan sebab sosial, (3) Change
target (sasaran perubahan); individu, kelompok atau lembaga yang
ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan, (4) Channel (saluran); media
untuk menyampaikan pengaruh dan dari setiap pelaku perubahan ke sasaran
perubahan, dan (5) Change strategy (strategi perubahan); teknik utama
untuk mempengaruhi yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan
dampak pada sasaran perubahan.
nbsp; Sebagai
catatan tambahan, dalam melakukan rekayasa sosial –hal lazim yang marak
digunakan oleh LSM/NGO atau organisasi sosial- adalah melakukan analisis
situasi dengan pendekatan analisis SWOT; yakni Streght (kekuatan), Weakness
(kelemahan), Oppurtunity (peluang) dan Treath (ancaman). Analisis
ini dilakukan untuk mengukur seberapa besar kemampuan atau potensi kita dalam
melakukan rekayasa sosial. Melalui analisa ini, minimal kita dapat menentukan
bentuk-bentuk rekayasa sosial yang hendak dijalankan. Namun demikian, ada
berbagai pendekatan dalam melakukan rekayasa sosial –tergantung dari- gaya dan
prototipe masing-masing pelaku perubahan sosial sekaligus masyarakat yang akan
dirancang perubahan sosialnya.
Epilog[13]
Namun demikian
dalam melakukan rekayasa sosial harus dihindarkan berbagai bentuk kesalahan
(asumsi) yang kemudian disebut sebagai kesesatan berpikir (fallacy).
Artinya, harus dicermati dan diwaspadai juga, bahwa dalam masyarakat yang
hendak dirancang rekayasa sosialnya (misal korban) masih mengendapnya berbagai
bentuk pola pikir yang dapat mengganggu jalannya rekayasa sosial. Misalnya, fallacy
of dramatic instance (kecenderungan untuk melakukan over generalisasi),
fallacy of Retrospektif Determinisme (kecenderungan yang menganggap bahwa
masalah sosial yang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu
ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang),
argumentum ad populum (kecenderungan untuk menganggap bahwa pendapat
kebanyakan masyarakat sebagai kebenaran), dsb.
&nbrp; Rekayasa sosial akan
mendapat tantangan bisa jadi bukan berasal dari pihak luar atau kelompok sosial
di luar, tetapi justru dalam masyarakat yang hendak dirancang perubahan sosial;
masyarakat yang menjadi korban dari kelompok kepentingan. Dus, tanpa
perencanaan yang matang bisa jadi bukan keberhasilan yang diperoleh justru
kitalah menjadi penyebab kian melembaganya problem sosial. Wassalam.
[1] Kumpulan
huruf yang kata dan kalimat (berantakan) ini disusun dibawah tekanan dan disampaikan dalam Pelatihan Kader
Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Tarbiyah
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Tretes, 14 April 2007
[2] Penulis (kebetulan) adalah staf
pengajar ilmu filsafat Universitas Airlangga, pernah jadi orang biasa di PMII
Komisariat UGM
[3] Ignas Kleden,1988, Sikap Ilmiah dan Kritik
Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, hal. 172
[4] Jalaluddin Rahmat, 2000, Rekayasa
Sosial, Bandung Rosdakarya, hal. 45.
[5] Rogers, Everet M., 1988, Social
Change in Rural Society, Englewood Cliffs, NJ, Prentice Hall, hal. 7
[6] Suparlan,
Parsudi, 1986, Perubahan Sosial dalam Manusia Indonesia, Individu, Kelaurga,
Keluarga dan Masyarakat,Jakarta: Akademika Pressindo, hal 114-127
[7] Sumartono
sebagaimana dikutip Setyo Yuwono Sudikan, 2001, Metode Penelitian Kebudyaan, Surabaya: Citra Wacana, hal. 9
[8] Ibid, halm 46-48
[9] Ibid,hal 55-56
[10] Dalam konteks
ini asumsinya sederhana bahwa tidak perubahan tanpa diawali dengan perubahan
cara berpikir. Lihatlah perubahan besar dalam peradaban besar umat manusia
selalu diawali dengan perubahan dari cara berpikir masyarakatnya.
[11] Bisa juga yang
dilakukan oleh Pemkot Surabaya bekerjasama dengan harian Jawa Pos menggelar
kegiatan Surabaya Green and Clean untuk mendorong masyarakat metropolis
memiliki kesadaran dalam mengelola lingkungan sekitarnya.
[12] Sebagaimana
dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, op cit, halm. 83
[13] Sebenarnya tidak tega betul mengakhiri naskah
(berantakan) ini, karena memang belum mau diselesaikan. Tapi karena kelelahan
dan jumlah maksimal halaman berlebiha, maka dipakasa lagi utnuk diselesaikan.