Mohon Maaf Kepada Semua Pihak Apabila Ada Kesamaan Dalam Penulisan Ataupun Isi Lainnya, "Kritik & Saran" Kami Tunggu, Terima Kasih...!

Kamis, 23 Februari 2012

MEMAHAMI PARADIGMA SEBAGAI DASAR GERAKAN


Oleh: Abdur Rohim Mawardi, S.HI.

Pendahuluan
Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan prilaku organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.    
Konsep pengkaderan yang baik selalu berangkat dari kenyataan riil sebuah zaman dan selalu mengarah pada tujuan organisasi. Sehingga kader yang telah dididik oleh organisasi mampu memahami keadaan zamannya, mampu mengambil pelajaran dan mampu mengambil posisi gerak sesuai tujuan organsasi.
Selain itu sebuah konsep pengkaderan yang baik juga senantiasa berorientasi  untuk meningkatkan tiga aspek utama, yakni keilmuan, pengetahuan dan keterampilan. Keimanan mendorong kader untuk berani dan tidak mau tunduk dihadapan segala bentuk kemapanan serta ancaman duniawi. Pengetahuan membekali kader atas keadaan zaman dimana dia bergerak, dan keterampilan merupakan bekal bagi kader agar mampu survive sekaligus bergerak dizamannya.

Pengertian Paradigma
Dalam  khazanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh para pimikir sosiologi. Salah satu diantaranya adalah G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan kesatuan consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat di dalamnya. Mengingat banyaknya difinisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak dimabil oleh PMII. Hal ini peril dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma.
Berdasarkan pemikiran dan rumusan yang disusun oleh para ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah. Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam “mendekati”obyek kajianya (the subject matter of particular dicipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realitas” dilihat. Perbedaan paradigma yang digunakan oleg seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalamm menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara pandang, sampai pada aksi dan solusi yang diambil.

Refleksi Paradigma Pergerakan
Paradigma gerakan adalah alat dalam membedah pola, arah dan tujuan ber-PMII, ber-Islam dan ber-Indonesia. Paradigma kritis tansformatif yang selama ini dipakai sebagai pisau analisa di anggap mampu dalam menghadapi tekanan baik internal maupun  eksternal.
Dengan kritisismenya, PMII terbukti masih bisa tegak berdiri ketika sejumlah badai mengahadang. PMII juga masih mampu mentransformasikan sistem nilai yang berakar pada tradisi saat sistem nilai naru bermunculan. Tetapi dunia terus berubah-bergerak ke arah yang kadang sulit diprediksi. Arus globalisasi, neoliberalisme, dam fundamintalisme ekstrim tak hentinya menggempur. Ada banyak tantangan saat dunia semakin datar, persaingan kian ketat. Karena itu, PMII perlu terus melakukan men-formulasi ulang paradigma gerakannya agar tidak gagap terhadap perubahan dunia yang terus mengealami percepatan.
Bahwa nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun sistematis pada masa kepengurusan Sahabat Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (Sekjend). Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang populer dibidang sosiologi digunakan untuk menyatakan prinsip dasar PMII yang dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang. Dimuat dalam buku Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (November 1997), Paradigma Pergerakan disambut massif oleh seluruh anggota dan kader PMII di seluruh Indonesia. Paradigma Pergerakan, demikian ‘judul’nya dirasa mampu menjawab kegelisahan anggota pergerakan yang gerah dengan situasi sosial politik nasional kala itu.
Adapun titik tolak dari paradigma pergerakan (atau populer dengan nama paradigma arus balik) ini adalah kondisi sosio-politik bangsa Indonesia yang ditandai oleh: 1). Munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya. 2). Menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik. 3). Semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat, termasuk intelektual. 4). Diterapkannya model politik eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik. 5). Penggunaan secara efektif hegemoni secara ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada. Lima ciri diatas tak jauh beda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist state) (1997; hal. 3).
Medan politik Orde Baru merupakan arena subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara. Sikap ini didorong oleh konstruksi (bangunan pemikiran) teologi antroposentrisme transendental yang menekankan posisi khalifatullah fil ardh sebagai perwujudan penghambaan kepada Allah SWT.  Tapi selain dasar ini, sikap perlawanan itu di dorong dua tema pokok. Pertama, tidak setuju adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat. Kedua, menentang ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu dan masyarakat (1997; hal.17).

Pilihan Paradigma PMII
Pada periode Sahabat Syaiful Bahri Anshari, diperkenalkan Paradigma Kritis Transformatif. Hakikatnya tak jauh beda dengan Paradigma Pergerakan. Titik bedanya terletak pada pendalaman teoritik paradigma serta pengambilan eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt serta nilai kritisisme wacana intelektual muslim seperti Hassan Hanafi, Muhamad Arkoun, Asghar Ali Engineer dll. Sementara di lapangan polanya sama dengan periode sebelumnya. Gerakan PMII terkonsentrasi pada aktivitas jalanan dan wacana kritis. Semangat perlawanan oposisi (perang terbuka), baik dengan negara maupun dengan kapitalisme global terus hangat mewarnai semangat PMII.
Kedua paradigma di atas mendapat ujian berat ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden  RI  pada November 1999. para aktifis PMII dan aktfis prodem mengalami kebingungan saat Gus Dur yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society.
Secara massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa perlawana frontal baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan di atas negara (kapitalis internasional). Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperleh tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak-larut dalm persoalan temporal-spasial, sehingga gerak perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan indonesia luput dibaca.
“Membangun Sentrum Gerakan Di Era Neo Liberal”, pada masa Sahabat Malik Haramain, paradigama di atas adalah melanjutkan kegagapan PMII dalam bersinggungan dengan kekuasaan. Paradigama ini oleh banyak kader di anggap sesisten terhadap pembacaan otoritarisme tanpa melihat kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan ditingkat global dan siklus politik ekonomi yang terjadi. Dengan kata lain, paradigma yang dibangun ini di anggap hanya sebagai bunyi-bunyian yang tidak pernah secara riil menjadi habitus atau laku di PMII.
Begitu juga dengan kepenurusan Sahabat Heri Haryanto Azumi yang dengan susah payah membangun paradigma dengan nama “Multi Level Strategi”. Hakikatnya paradigma yang dibangun mulai dari Sahabat Muhaimin Iskandar sampai pada Sahabat Heri Azumi adalah pencarian identitas (berdialektika) yang tepat bagi PMII untuk melangkah, melihat dengan cermat, menuju organisasi pergerakan yang lebih dinamis dan kompetetif yang membela kaum mustad’afin dan anti kemapanan (sivil cosiety-nation state).


[1] Makalah ini disajikan pada Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PK. PMII STAI Zainul Hasan Genggong, kamis, 12 desember 2008 di MWC NU Pakuniran Probolinggo.
[2] Alumni PMII STAI Zainul Hasan Genggong dan PMII Probolinggo. Presiden Mahasiswa STAI Zainul Hasan Genggong 2005-2006