Oleh. Ahmad S.Pdi
- Pendahuluan
Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan prilaku organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.
Konsep pengkaderan yang baik selalu berangkat dari kenyataan riil sebuah zaman dan selalu mengarah pada tujuan organisasi. Sehingga kader yang telah dididik oleh organisasi mampu memahami keadaan zamannya, mampu mengambil pelajaran dan mampu mengambil posisi gerak sesuai tujuan organisasi.
Selain itu sebuah konsep pengkaderan yang baik juga senantiasa berorientasi untuk meningkatkan tiga aspek utama, yakni keilmuan, pengetahuan dan keterampil`n. Keimanan mendorong kader untuk berani dan tidak mau tunduk dihadapan segala bentuk kemapanan serta ancaman duniawi. Pengetahuan membekali kader atas keadaan zaman dimana dia bergerak, dan keterampilan merupakan bekal bagi kader agar mampu survive sekaligus bergerak di zamannya.
- Pengertian paradigma (Paradigm)
Asal Usul paradigma
secara (etomologi ) asal usul kata paradigma dari rumpunan dua bahasa:
paradigma berasal dari kata yunani yaitu paraa dan deigmaa yang berarti kaca mata, cakrawala atau horizona, oleh karena itu paradigma dari segi asal kata, pengertian paradigma adalah kacamata memandang terhadap situasai, cara pandang terhadap keyataan atau peristiwa. Atau menafsirfkan kaadaan tentang politik, agama, budaya, ekonomi dan pendidikan. Paradigma berhubungan dengan cara ilmu pengetahuan memandang suatu masalah yang muncul dari kenyataan sendiri. (Layla Sugandhi,1999: 13).
Paradigma pertama kali di perkenalkan oleh Thomas Kuhn, seorang ahli fisika teoritik konsep paradigma di gunakan untuk menunjukan pola pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Pada dasarnya lewat bukunya itu, Thomas Kuhn hendak membuktikan sesat anggapan lama yang meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah bersifat linear, akumulatif dan gradual.
Maka Thomas Kuhn beranggapan bahawa ilmu pengetahuan secara linear dan gradual ,sesungguhnya tidak tempat. Sebaliknya bagi Thomas Kuhn, ilmu pengetahuan bersifat revulosioner. Yang di tandai dengan pembongkaran dan penjungkirbalikkan pada stuktur paradigma itu sendiri. Dengan perkataan lain, keberdaan paradigma yang menjadi penggerak dari pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan manusia.
Dengan perkataan lain, paradigma merupakan terminologi kunci dalam karyanya Thomas Kuhn tentang ilmu pengetahuan, cuman dalam bukunya Thomas Kuhn tidak bisa merumuskan dengan jelas karn` terbagi menjadi 21 paradigma sehingga dalam konsepun masih tidak jelas arahnya.maka ada tokohnya yaitu masterman dalam karyanya the Nature of Paradigm adalah salah satu pemikir yang mereduksi kembali konsep paradigma miliknya Thomas kuhn
Masterman mencoba meredusir kambali ke21 menjadi 3 tepe utama paradigma yaitu:
1. Paradigma metafisik
Paradigma metafisik merupakan kunsesus yang terluas dalam suatu disiplin ilmu.yang memantu membatasi bidang dari suatu ilmu sehingga dengan demikian membantu mengarahkan komonitas ilmuan dalam penyeledikan. Dalam konteks ini paradigma metafisik, Thomas Kuhn tampaknya mengartikan sebagai susuanan kepercayaan, nilai nilai,serta teknik tektik yang sama sama di pakai oleh satu komonitas ilmuan tertentu.
2. Paradigma sosiologi
Paradigma sosiologi menurut Thomas Kuhn adalah keanekaragaman fenomena yang dapat mencakup kedalam pengertian seperti: kebiasaan kebiasaan nyata, keputusan keputusan hukum yang di terima, hasil hasil nyata perkembagan ilmu pengetahuan serta hasil hasil penemuan pengetehuan yang diterima secara umum.
3. Paradigma kunstruk
Paradigm kunstruk adalah konsep yang paling sempit diantara ketiga tipe paradigma yang di kemukakan masterman diatas. Di contohkan reactor nuklir sebagai contoh paradigma kunstruk.paradigma konstruk menurut masterman tampaknya lebih berkaitan dengan ilmu pengetahuaan dalam pemenuhan dalam kehidupan mamausia.
Pegertian paradigma menurut George Ritner mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.
Berdasarkan pemikiran dan rumusan yang disusun para ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan, dan membuat rumusan mengenai suatu masalah. Dengan kata lain paradigma merupakan titik tolak dalam mendekati objek kajiannya.
- Peran dan fungsi paradigma
Dalam ilmu sosial fungsi paradigma adalah untuk membangun suatu teori, guide dalam membangun suatu konstruk pemikiran dan menjadi titik pijak pandangan dalam melakukan analisis. Dengan demikian peran paradigma adalah sangat menentukan karena ia akan menjadi ciri dan karakteristik dari bangunan sebuah teori yang membedakannya dengan bangunan teori lainnya. Dapat dipahami, paradigma yang hendak dipilih PMII akan menjadi karakteristik dari komunitas PMII dalam memberikan analisis, memandang realitas dan menysusun konsep-konsep teoritik atau tentang berbagai persoalan yang ada dalam masyarakat.
- Refleksi paradigma pergerakan
Paradigma gerakan adalah alat dalam membedah pola, arah dan tujuan ber-PMII, ber-Islam dan ber-Indonesia. Paradigma kritis tansformatif yang selama ini dipakai sebagai pisau analisa di anggap mampu dalam menghadapi tekanan baik internal maupun eksternal.
Dengan kritisismenya, PMII terbukti masih bisa tegak berdiri ketika sejumlah badai mengahadang. PMII juga masih mampu mentransformasikan sistem nilai yang berakar pada tradisi saat sistem nilai naru bermunculan. Tetapi dunia terus berubah-bergerak ke arah yang kadang sulit diprediksi. Arus globalisasi, neoliberalisme, dam fundamintalisme ekstrim tak hentinya menggempur. Ada banyak tantangan saat dunia semakin datar, persaingan kian ketat. Karena itu, PMII perlu terus melakukan men-formulasi ulang paradigma gerakannya agar tidak gagap terhadap perubahan dunia yang terus mengealami percepatan.
Bahwa nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun sistematis pada masa kepengurusan Sahabat Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (Sekjend). Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang populer dibidang sosiologi digunakan untuk menyatakan prinsip dasar PMII yang dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang. Dimuat dalam buku Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (November 1997), Paradigma Pergerakan disambut massif oleh seluruh anggota dan kader PMII di seluruh Indonesia. Paradigma Pergerakan, demikian ‘judul’nya dirasa mampu menjawab kegelisahan anggota pergerakan yang gerah dengan situasi sosial politik nasional kala itu.
Adapun titik tolak dari paradigma pergerakan (atau populer dengan nama paradigma arus balik) ini adalah kondisi sosio-politik bangsa Indonesia yang ditandai oleh: 1). Munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya. 2). Menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik. 3). Semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat, termasuk intelektual. 4). Diterapkannya model politik eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik. 5). Penggunaan secara efektif hegemoni secara ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada. Lima ciri diatas tak jauh beda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist state) (1997; hal. 3).
Medan politik Orde Baru merupakan arena subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara. Sikap ini didorong oleh konstruksi (bangunan pemikiran) teologi antroposentrisme transendental yang menekankan posisi khalifatullah fil ardh sebagai perwujudan penghambaan kepada Allah SWT. Tapi selain dasar ini, sikap perlawanan itu di dorong dua tema pokok. Pertama, tidak setuju adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat. Kedua, menentang ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu dan masyarakat (1997; hal.17).
- Pilihan paradigma dalam PMII
Melihat realitas , yang di dalamnya maryarakat dan sesuai tuntutan keadaan masyarakat PMII, baik secara sosiologis, politis dan antropologis maka PMII memilih Paradigma Kritis Transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.
Saat A. Muhaimin Iskandar menjabat sebagai Ketua Umum PMII sempat di gelontarkan sebuah paradigma yang terkenal dengan sebutan “Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran” lahir paradigma ini tak terlepas dari pemimikiran mantan preseden RI kita yaitu Gusdur mengenai demokrasi dan civil society. Keberanian mengkritik orde baru yang di peragakan oleh aktifis PMII. implikasinya, semangat memperjuangkan demokrasi dan civil society menjadi gairah baru dalam gerakan PMII.
Paradigma arus balik masyarakat pinggiran harus terpatahkan tak kala Gusdur menjadi preseden RI. Sebagian kader PMII mempertanyakan lagi akankah perjuagan civil society harus berahir disi?, Perpecahan di tubuh PMII terjadi kala itu, sebagaimana juga terjadi di tubuh NU, yakni PMII Struktural dan PMII Kultural. PMII Struktural adalah yang memilih untuk ‘membela’ Gus Dur. Sedang PMII Kultural tetap menempati posnya terdahulu.
Secara massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa perlawanan frontal baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan di atas negara (kapitalis internasional). Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperleh tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak-larut dalm persoalan temporal-spasial, sehingga gerak perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan indonesia luput dibaca.
Maka pada periode ketua umum PMII sahabat Syaiful Bahri Anshari, diperkenalkan Paradigma Kritis Transformatif. Hakikatnya Tak jauh beda dengan paradigma pergerakan, thtik bedanya pada pada pedalaman teori paradimataik serta pengambilan exsemplar pada madzhab frankfrurt tokohnya adalah Jurgen habermas (kubu adormo)serta nilai kritisnya wacana intelektual muslim seperti Hassan Hanafi, Muhamad Arkoun, Asghar Ali Engineer dll. Paradigma kritis yang menjadi landasan tokoh tersebut adalah untuk membebaskan dirinya dari dogmatis agama yang distortif. Artinya bahwa bangunan pemikiran yang di kader PMII punya landasan teoritik sehingga mempunyai analisa yang mendalam.
Basasa ”kristis” menurut kamus ilmiah popoler adalah tajam, tegas dan teliti dalam menangapai atau memberikan penilayan secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusahamelakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakuk`n analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas.pada dasarnya teori kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi social
Teori kritis berangkat dari 4 tokoh besar:
- Immanuael kahn (Kritik dalam pengertian Kantian)
Melihat teori kritis dari suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu sec`ra subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan ‛isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Bisa juga disederhanakan bahwa kritik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.
- Hegel (Kritik dalam pengertian Hegelian)
Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia dan hegel merupakan peletak dasar metode berfikir yang dialektis
- Karl marx (Kritik dalam pengertian Marxian)
Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritis bagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
- Sigmund Freud (Kritik dalam pengertian Freudian)
Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat : Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir secara*historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga, tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
Dalam perspektif “Tranformatif” dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain
Maka gerakan ini di lapangan polanya sama dengan periode sebelumnya. Gerakan PMII terkonsentrasi pada aktivitas jalanan dan wacana kritis. Semangat perlawanan oposisi (perang terbuka), baik dengan negara maupun dengan kapitalisme global terus hangat mewarnai semangat PMII.
Pada masa Sahabat Malik Haramain, menjabat sebagai ketua umum PMII “Membangun Sentrum Gerakan Di Era Neo Liberal”,paradigama di atas adalah melanjutkan kegagapan PMII dalam bersinggungan dengan kekuasaan. Paradigama ini oleh banyak kader di anggap sesisten terhadap pembacaan otoritarisme tanpa melihat kompleksitas aktor di level nasion`l yang selalu terkait dengan perubahan ditingkat global dan siklus politik ekonomi yang terjadi. Dengan kata lain, paradigma yang dibangun ini di anggap hanya sebagai bunyi-bunyian yang tidak pernah secara riil menjadi habitus atau laku di PMII.
Begitu juga dengan kepengurusan Sahabat mantan ketua umum Hery Haryanto Azumi yang dengan susah payah membangun paradigma bukan melawan arus dan bukan pula mengikuti arus, tetapi membangun “Paradigma Menggiring Arus” . yaitu paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang di padukan dengan kenyataan hari ini. Bahwa sejarah telah menyimpan masa lalu yang telah memyusun masa kini dan masa depan. Jadi, dengan mengkobinasikan dengan hari ini, kita akan mampu membaca keadaan atau kenyataan secara benar sehingga kita tidak terjebak mediatik dan manipulative yang menyesatkan. Dengan berangkat dari kenyatan real, kita aka mampu menangkap apa sat ini bergerak dan gerakan akan mampu memutus roda roda peradapan yang hegemonik. Dalam bukunya “Multi Level Strategi”. Paradigma ini tidak di tulis karna paradigma ini sebagai arternatif saja.