Mohon Maaf Kepada Semua Pihak Apabila Ada Kesamaan Dalam Penulisan Ataupun Isi Lainnya, "Kritik & Saran" Kami Tunggu, Terima Kasih...!

Jumat, 10 Februari 2012

Jawaban Paradigma Pergerakan (PKT) PMII Terhadap Globalisasi Neoliberalisme

Sekalipun peran GM belum menjadi kekuatan transformasional secara komprehensif, lebih sebagai pendobrak pintu perubahan, lacakan sejarah  social di Indonesia menunjukkan bahwa tidak  ada satu perubahan pun yang tidak melibatkan  kekuatan mahasiswa. Mahasiswa telah menjadi salah satu ikon perubahan penting dalam sejarah social masyarakat. Bahkan secara heroik mahasiswa disebut sebagai agen perubahan social (agent of social change). Karenanya mendiskursuskan GM dalam perubahan selalu relevan. Apalagi dalam konteks transisional saat ini, yang menyembulkan ketidakpastian arah transisi. Dalam pengertian seperti itu, mafhum mukholafahnya, dibutuhkan reorientasi bahkan reparadigmatisasi GM ketika terlihat daya dorong perubahan GM melemah.

Memahami epistemology GM : belajar pada sejarah

GM merupakan salah satu manifestasi gerakan social baru. Secara histories, mengacu ke asal usul gerakan antisistem, gerakan social muncul karena kegagalan tiga bentuk gerakan, yaitu gerakan pembebasan nasional, gerakan revolusi yang diageni kalangan marxis, serta gerakan reformasi (parlementarian) yang diageni kalangan sosdem. Ketiga bentuk gerakan ini memusatkan pada gerakan untuk menguasai negara. Hanya saja dalam sejarah, tidak satupun yang berhasil dengan sempurna. Walaupun negara telah menjadi medan revolusi (seperti Rusia, Kuba) kalangan sosdem telah memiliki kekuatan parlementer, atau pola gerakan ekstraparlemetarian telah meletakkan investasi demokrasi, dan kemerdekaan yang diraih banyak negara telah tercapai, namun kesemuanya gagal mewujudkan utopia transformasi masyarakat ideal. Kegagalan inilah yang melahirkan berbagai bentuk gerakan social baru (new kinds of social movement)  baik yang memiliki karakter kelas maupun bukan.
Dengan kata lain, GM  lahir karena kebuntuan-kebuntuan structural, cultural, dan konstitusional lembaga-lembaga politik, social, dan hukum yang ada. Sementara itu,  organisasi social non-pemerintah yang ada terjebak pada konservatisme, tidak cukup responsive terhadap perkembangan social yang ada, atau bahkan terkooptasi kekuasaan.  Pada sisi yang lain, mahasiswa memiliki peralatan intelektual sehingga mampu membaca kontradiksi social yang ada.  Kesadaran kritis dan akses informasi terhadap perkembangan situasi yang cepat ini, ketemu dengan adanya organ pergerakan yang fleksibel dan mobile.  Walaupun demikian, sejarah menunjukkan, GM   sebagai motor penggerak perubahan memiliki sekian keterbatasan. Ini terkait dengan ontology GM yang memang  bukan gerakan politik kekuasaan, namun gerakan moral, yang mau tidak mau, memaksanya memerankan peran cowboy.
Untuk mengambil i’tibar dari GM, mari kita baca historiografi GM ‘konvensional,’ yang biasanya dilacak sejak politik etis, 1908, 1915, 1925, 1926, 1929, 1942, 1945, 1947, 1955, 1960, 1966, 1974, 1978, 1980-an, 1990, 1998, 2001, 2002/3. Dari rentetan panjang tersebut terlihat orientasi GM sangat strukturalistik. Jika dikategorisasikan, yang menjadi sasaran strategis GM adalah seputar hal-hal berikut: imperialisme (pra-kemerdekaan), kapitalisme, rezim dan kebijakan (66, 78, 98, 2001, 2002, 2003), neoimperialisme/globalisasi, kebijakan terutama kebijakan politik dan ekonomi (70-74, 77/78, 90-an, 2001, 2003), di samping isu-isu pendidikan, hukum, dan isu-isu sektoral lainnya. Dilihat dari organ yang dipakai, ada yang menggunakan institusi formal kampus seperti Dema, BEM, organ ekstra (PMII, dll), dan organ-organ taktis. Sementara dilihat dari aliansi strategis yang dirangkul, atau konteks format politik dan ekonomi yang ada, juga menunjukkan spektrum yang beragam.
Namum, jika diperhatikan, semua gerakan di atas, setelah mencapai targetnya, maka perlahan-lahan GM surut dan baru bangun kembali seiring menguatnya kontradiksi social akibat ketidakadilan dan penindasan yang massif dan tak dapat ditolerir lagi.  Kecuali 66  di mana tanpa transformasi kelembagaan politik beberapa pelaku GM mengalami mobilitas vertical  ke posisi-posisi kekuasaan, dengan argumen melanjutkan perjuangan di luar struktur ke dalam perjuangan dalam struktur. Dengan kata lain, kelemahan gerakan yang bertumpu pada medan structural, dengan pola student protest, tidak dapat lebih maju dari kritis-dekonstruktis. Padahal logika structural mensyaratkan  rekonstruksi terhadap basis material structural kelembagaan ekonomi dan politik nasional (student movement).   Inilah yang mendasari simpulan GM gagal mewujudkan perubahan yang menyeluruh.
Sampai di titik ini, ada dua jalan yang dapat ditempuh. Pertama, tetap setia pada gerakan massa seperti ini baik dengan pengembangan kapasitas kelembagaan sehingga invdstasi demokratik yang dibangun tidak di-ghosob oleh kekuatan politik oportunis (politik dekonstruksi), atau dalam jangka panjang memproyeksikan transformasi dari gerakan moral ke gerakan politik parlementer alias berubah menjadi parpol. Pilihan ini juga telah diambil oleh beberapa aktifis mahasiswa dan LSM sehingga menjadi gerakan politik, menjadi partai politik. Sebab dalam system demokrasi modern satu-satunya kendaraan untuk menjadi bagian masyarakat politik secara formal adalah parpol. Diteorikan gerakan moral harus menjadi gerakan politik agar dapat menyentuh pusat-pusat kekuasaan politik.
Kedua, mencoba untuk membaca ulang paradigma dan konsep pergerakkannya yang tidak hanya terbatas pada tumpuan filsafat strukturalisme, dengan epistemology yang determinis, namun lebih  berorientasi sebagai bagian dari pergerakan social, dengan epistemology non-determinis.  Menjadi semacam bagian dari rakyat dan gerakan social, namun masih setia pada ontologi GM sebagai byukan gerakan kekuasaan. 
Lalu, bagaimana sesungguhnya paradigma, format, dan stratak GM yang kira-kira memiliki daya dorong transformasional? Untuk menjawab ini, tulisan akan mencoba untuk membaca struktur basis material  yang akan menentukan jawaban di atas. Bicara basis material sama artinya bicara tentang globalisasi dan atau neoliberalisme.

New context, new paradigm

          Setiap gerakan selalu berpijak dalam suatu konstruksi realitas social tertentu. Tidak ahistoris dan karenanya material. Hukum ini menunjukkan bahwa GM tidak terlepas dari teks-teks social lain termasuk the dominant ideology yang bekerja, social forces (motor penggerak), yang kesemuanya dapat disederhanakan dalam sebutan formasi social masyarakat. Pada sisi lain kita tahu formasi social selalu mengalami pergeseran, yang berimplikasi pada  keharusan melakukan reparadigmatisasi gerakan. Dengan kacamata ini sekilas saja nampak bahwa sekarang telah terjadi transformasi besar-besaran peran politik negara. Formasi social era Soeharto berbeda dengan formasi social sekarang. Karenanya GM era Orba yang target politiknya mendelegitimasi negara atau mendekonstruksi negara yang otoritarian-birokratik menjadi kehilangan konteks alias kurang relevan lagi. Apakah kemudian dibalikkan menjadi memperkuat negara? Inilah satu perdebatan penting yang harus dielaborasi.
Sebagai  pembuka wacana, akan dielaborasi debat seputar globalisasi dan neoliberalisme.
Globalisasi. Istilah yang memiliki sekian arti dan makna. Secara paradigmatik, pandangan tentang globalisasi dapat dibedakan dalam tiga paradigma besar (David Held, et al, 1998). Paradigma pertama, skeptis, yang dianut kaum kiri, melihat globalisasi hanya akan menuai kegagalan dalam mewujudkan trasnformasi sosial berkeadilan. Paradigma kedua, optimistik, yang dianut kaum neolib, hiperglobaliser, atau hiperlib, melihat globalisasi sebagai jawaban terang benderang atas  masa depan ekonomi politik global. Paradigma ketiga, transformasional, yang masih melihat sekian kemungkinan masa depan globalisasi, mulai ayunan yang skeptik sampai  ayunan optimistik. Semua kemungkinan tersebut, amat tergantung pada sekian variabel yang tidak bisa direduksikan begitu saja dalam satu faktor dominan.
Karena itu, tulisan ini akan melihat globalisasi secara, katakanlah, akademik,  dengan tidak tergesa-gesa mengambil posisi ideologis sebelum mengelaborasi secara komprehensif sekian perspektif tentang globalisasi. Sebab, seperti disebut di atas, globalisasi dimaknai secara berbeda-beda, kadang pararel, kadang bahkan berbenturan.
Steger (2002: 13) membedakan istilah globalisasi dan globalisme. Globalisasi adalah proses material dan sosial yang didefinisikan oleh berbagai kalangan secara berbeda-beda. Sementara globalisme lebih merupakan ideologi pasar neoliberal yang memberikan norma, nilai dan makna-makna tertentu terhadap proses globalisasi itu. Sebagai ideologi, globalisme tidak hanya memberikan deskripsi, tetapi juga preskripsi (Petras & Veltmeyer, 2001: 11).
Globalisme memiliki tiga ciri khas (Ricoeur, 1986), yakni distorsi, legitimasi, dan integrasi. Globalisme memberikan gambaran atas realitas sosial yang telah mengalami proses konstruksi, distorsi dan simplifikasi, sehingga  realitas yang distrukturkan olehnya pada level sosial dapat berkembang menjadi sebentuk  kesadaran palsu. Melalui sistem legitimasi, globalisme memiliki mekanisme pengabsahan atas berbagai kerangka pemikiran dan acuan tindakan yang diajukannya. Dan akhirnya, globalisme memiliki fungsi integratif, yakni menyediakan serangkaian simbol, norma dan citra yang menghimpun dan merekatkan identitas individu ke dalam lingkungan kolektif.
Untuk menghantarkan analisis lebih jauh tentang tendensi-tendensi ideologis globalisme sebagai proses ideasional, akan dinarasikan terlebih dahulu beberapa persoalan utama dalam diskursus globalisasi sebagai proses material (Skema dan struktur pemetaan uraian ini banyak merujuk karya Manfred B. Steger, Globalism: The New Market Ideology, 2002).

Debat Akademik Globalisasi

Dalam debat yang ada, tidak ada kesepakatan definisi globalisasi,  kecuali gambaran-gambaran umum seperti “semakin meningkatnya keterkaitan global” (increasing global interconnectedness), intensifikasi hubungan-hubungan sosial berskala dunia dalam tempo yang cepat” (the rapid intensification of worldwide social relation), “pemampatan ruang  waktu” (the compression of time and space), “serangkaian proses-proses kompleks yang digerakkan oleh perpaduan pengaruh-pengaruh ekonomi dan politik”, (a complex range of processes driven by mixture of political and economic influences), dan “arus modal, orang dan gagasan yang bergerak cepat dan relatif tanpa hambatan yang melintasi batas-batas nasional” (the swift and relatively unimpeded flow of capital, people, and ideas across national borders) (Steger, 2002: 17-9).
Untuk memperoleh gambaran kontroversi ini, akan diskemakan pemetaan atas wilayah isu yang menjadi concern para ahli. Wilayah isu ini meliputi—meminjam klasifikasi Giddens (1999: 7-8)—teori-teori radikal dan skeptis globalisasi.

Globalisasi sebagai Globaloney

Globalisasi oleh kelompok ini dianggap sebagai konsep yang tidak jelas, kabur dan dilebih-lebihkan. Mereka menganggap bahwa apa yang digulirkan sebagai diskursus globalisasi tak lebih sebagai isapan jempol. Istilah globaloney sendiri diciptakan oleh Bob Fitch untuk menggolongkan argumen-argumen para teoritikus globalisasi yang sifatnya tendensius dan tautologis (Petras & Peltmeyer, 2001: 44). Argumen yang diajukan oleh kelompok ini terpilah dalam tiga perspektif besar. Perspektif pertama menampik kedayagunaan globalisasi sebagai konsep analitis yang tepat dan memadai. Perspektif kedua menunjuk pada watak terbatas proses-proses globalisasi dan meragukan akan lahirnya dunia yang terintegrasi seperti diyakini para pendukung globalisasi, serta tidak memadahi dalam menjelaskan  apa yang sesungguhnya tengah terjadi saat ini. Sedangkan perspektif ketiga menampik kebaruan fenomena globalisasi seraya mendukung kecenderungan moderat proses-prosesnya. Mereka yang menyebut globalisasi sebagai proses kekinian, oleh perspektif ini, dianggap gagal melihat gambaran besar dan terjatuh dalam kepicikan kerangka sejarah mereka. Argumen lebih detail masing-masing perspektif akan diuraikan di bawah ini.

Perspektif  Pertama
Perspektif ini menolak penggunaan istilah globalisasi sebagai konsep analitis dan memberikan kritik tajam atas kekaburan istilah  yang lazim dipakai dalam wacana akademis. Istilah lain yang setaraf derajat kekaburannya namun sering disebut-sebut adalah nasionalisme. Craig Calhoun (1993: 215-6), misalnya, menyatakan bahwa nasionalisme dan istilah-istilah turunannya telah terbukti sangat sulit didefinisikan, sebab nasionalisme adalah gejala beragam, sehingga suatu definisi akan mengabsahkan satu klaim dan menon-absahkan klaim lainnya. Evaluasi yang sama kritisnya diberikan oleh Susan Strange yang menandaskan bahwa globalisasi adalah contoh utama kata-kata kosong yang dipakai dalam wacana akademis untuk menunjuk pada segala sesuatu dari internet hingga hamburger. Begitu juga Linda Weiss yang berkeberatan atas istilah yang menurutnya merupakan gagasan besar namun bertumpu pada fondasi yang rapuh (Steger, 2002: 20).

Perspektif Kedua
Perspektif ini skpetis terhadap proses globalisasi dunia. Mereka menyatakan bahwa globalisasi sejak dari perwatakannya bersifat terbatas. Mereka mementahkan apa yang dikemukakan oleh para teoritikus ekstrim globalisasi bahwa dunia akan terlipat dan menyusut oleh peleburan dunia dalam proses pengintegrasian sejagat. Pandangan ini nampak jelas dalam karya Paul Hirst dan Grahame Thompson. Dalam Globalization in Question (1996, 1999: 2), Hirst dan Thompson menyatakan bahwa globalisasi adalah mitos. Ekonomi dunia saat ini tidak pernah benar-benar bersifat  global, sebab aksis perdagangan, investasi dan arus finansial tetap lebih banyak terkonsentrasi pada Tritunggal Eropa, Jepang dan Amerika Utara. Evaluasi yang lebih tajam diberikan oleh Petras dan Veltmeyer. Kedua eksponen ini menampik penggunaan istilah globalisasi untuk menunjuk proses pegintegrasian ekonomi dunia saat ini.  Sebab,  globalisasi mengandaikan adanya saling ketergantungan antar negara, watak berbagi dalam sistem ekonominya, kebersamaan dalam sejumlah kepentingannya dan distribusi maslahat dalam sistem pertukarannya. Namun, yang terjadi saat ini tidaklah demikian. Apa yang berlangsung dalam tata ekonomi dunia saat ini adalah ekspolitasi dan dominasi negara-negara imperialis  dan perusahaan-perusahaan serta perbankan multinasional terhadap negara-negara miskin dan kelas-kelas buruh. Sehingga, menurut keduanya, istilah yang paling pas dipakai untuk melukiskan realitas tata ekonomi dunia saat ini bukanlah globalisasi, melainkan imperialisme (Petras & Veltmeyer, 2001: 29-30).

Perspektif Ketiga
Perspektif ini menolak anggapan kebaruan gejala globalisasi. Globalisasi  sering dianggap proses  baru yang tidak memiliki preseden dalam sejarah. Perkembangan baru ini sering secara umum dianggap muncul setelah Perang Dunia II, khususnya pada tahun 1960-an (Holton, 1998: 21; Hirst & Thompson, 1996, 1999: 19). Robert Gilpin dalam studi terbarunya mengakui adanya kecenderungan  pengglobalan dunia saat ini, namun ia menegaskan bahwa banyak aspek penting dari globalisasi bukanlah perkembangan baru. Mengutip Krugmann, Gilpin mencatat  bahwa ekonomi dunia pada tahun 1990-an terilihat tidak lebih terintegrasi dibandingkan masa sebelum pecahnya Perang Dunia I. Gilpin juga mencatat bahwa globalisasi tenaga kerja jauh lebih besar sebelum PD I dan migrasi internasional  justru mengalami penurunan cukup tajam setelah tahun 1918. Karenanya Gilpin mengingatkan pembacanya dalam mengikuti argumen-argumen mereka yang ia sebut sebagai hyper-globalizers (Steger, 2002: 22-3).
Kesan serupa juga nampak dalam pandangan Hirst dan Thompson. Kedua tokoh ini menegaskan bahwa tata ekonomi yang sangat mendunia saat ini bukanlah sesuatu yang tanpa preseden, melainkan suatu konjungtur dari tata ekonomi internasional yang telah mulai ada sejak ekonomi berbasis teknologi industri modern mulai merambah ke seluruh dunia sejak tahun 1860-an. Dalam beberapa hal, menurut Hirst dan Thompson (1996, 1999: 2), ekonomi internasional saat ini lebih tidak terbuka dan terintegrasi dibandingkan dengan ekonomi yang ada pada tahun 1870 hingga 1914. Ekonomi internasional, dilihat dari berbagai segi, lebih terbuka pada masa sebelum tahun 1914 dari pada masa sesudahnya, termasuk masa akhir tahun 1970-an dan seterusnya. Arus perdagangan dan arus modal internasion`l, baik antara sesama negara-negara industri atau negara industri dengan koloni-koloninya  sebelum PD I, jauh lebih menonjol dibandingkan terhadap PDB sekarang. Dan jika pada semua ini ditambahkan migrasi internasional, maka jelaslah bahwa pada awal abad ini ekonomi internasional sudah sangat berkembang, terrbuka dan terintegrasi. Karena itu, ekonomi internasional zaman sekarang bukanlah sesuatu yang tanpa preseden (ibid., hal. 32).
Senafas dengan argumen ini, Petras dan Veltmeyer (2001: 35) mengargumentasikan watak siklis globalisasi. Globalisasi adalah proses yang berkembang secara siklikal dalam sejarah. Tahap awal globalisasi muncul didorong oleh penaklukan penjajahan negara-negara kapitalis merkantilis pada abad ke-15 hingga 18. Namun, berkembangnya  proteksionisme dan industri nasional (pada akhir abad ke-18 dan pertengahan abad ke-19) yang merangsang mekarnya industri-industri domestik telah mendorong penurunan relatif arus global sebagai sentral akumulasi. Pada akhir abad ke-19, dorongan terakhir ke arah perkembangan berbasis eksternal mulai bangkit kembali, terkecuali Jerman dan AS. Dua negara yang disebut terakhir memadukan proteksi ketat atas munculnya industri dan ekspansi selektif imperialisme. Globalisasi yang melibatkan doktrin laissez-faire berakhir seiring dengan—dan yang mendorong—terjadinya PD I. Terdapat masa singkat kebangkitan proses ini antara tahun 1920-an hingga terjadinya depresi dunia  pada tahun 1929. Bangkitnya kembali globalisasi atau arus kapital internasional dan perdagangan barang  antara tahun 1945   hingga 1979 (?) terjadi secara bertahap dan hanya mengalami akselerasi  pada penghujung tahun 1980-an. Hingga saat ini, menurut Petras dan Veltmeyer, perdagangan global tidak bertanggung jawab atas sebagian besar barang dan jasa yang menyumbang GNP, bahkan pada masa pertulbuhan cepatnya pada tahun-tahun terakahir ini.

Globalisasi sebagai Proses Ekonomi

Globalisasi dari perspektif ekonomi digambarkan sebagai “semakin meningkatnya pertautan ekonomi nasional melalui perdangan, arus finansial dan investasi asing (FDI) oleh perusahaan-perusahaan multinasional” (Gilpin, dikutip dari Steger, 2002: 24).  Karena itu, meluasnya aktivitas-aktivitas ekonomi dipandang sebagai aspek utama globalisasi dan merupakan mesin pendorong di balik laju perkembangannya.
Para sarjana yang menggunakan perspektif ekonomi ini memandang globalisasi sebagai gejala nyata yang menandai transformasi dalam hubungan-hubungan dunia. Penegasan mereka memuncak pada anggapan bahwa perubahan quantum dalam hubungan-hubungan manusia mengambil tempat tatkala arus sejumlah besar perdagangan, investasi dan teknologi melintasi batas nasional telah berkembang dari setetes menjadi luapan banjir. Mereka mengusulkan studi globalisasi digeser ke pusat riset sosial ilmiah. Menurut pandangan ini, tugas utama riset ilmiah adalah menyingkap secara lebih dekat perkembangan struktur pasar ekonomi global dan institusi-institusi utamanya.
Studi globalisasi ekonomi biasanya berjangkar di tengah narasi sejarah yang melacak kemunculan gradual ekonomi baru pasca perang hingga ke konferensi Bretton Woods tahun 1944. Di bawah kepemimpinan AS dan Inggris, kekuatan-kekuatan utama ekonomi Barat memutuskan untuk membalik kebijakan proteksionis pada masa perang  (1914-1939) menuju perluasan perdagangan internasional. Capaian utama sistem Bretton Woods mencakup liberalisasi terbatas perdagangan dan pembentukan aturan-aturan yang mengikat aktivitas-aktivitas ekonomi internasioanal. Bretton Woods sepakat menciptakan sistem pertukaran mata uang stabil di mana nilai mata uang masing-masing negara ditetapkan berdasar nilai emas tetap dalam dollar AS. Dalam batas-batas yang dibentangkan ini, setiap negara bebas mengontrol agenda-agenda ekonomi mereka sendiri, termasuk implementasi ekstensif kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare). Bretton Woods juga menciptakan fondasi institusional dibentuknya tiga organisasi ekonomi internasional baru. IMF dibentuk untuk mengatur sistem moneter internasional. World Bank pada awalnya dirancang untuk memberi pinjaman pembangunan kembali negara-negara Eropa pasca perang. Mulai tahun 1950-an, tujuannya diperluas untuk mendanai  proyek-proyek industrialisasi di berbagai negara dunia ketiga. Pada tahun 1947, GATT menjadi organisasi perdagangan global yang diberi tanggung jawab membuat dan menyokong perjanjian-perjanjian dagang multilateral. Pada tahun  1994, WTO dibentuk sebagai pengganti GATT. Sebagaimana akan ditunjukkan pada uraian berikutnya, baik skema filosofis maupun kebijakan  neoliberal dalam badan-badan baru internasional ini menjadi pangkal tolak sengitnya kontroversi ideologis seputar efek globalisasi ekonomi pada akhir tahun 1890-an.
Semasa beroperasinya selama tiga dekade, sistem Bretton Woods menaruh saham besar terhadap terbentuknya apa yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai “masa emas kapitalisme terkendali” (golden age of controlled capitalism). Menurut skema sistem ini, mekanisme kontrol negara atas pergerakan kapital internasional memungkinkan terpenuhinya padat kerja (full employment) dan meluasnya kesejahteraan. Meningkatnya upah dan layanan sosial memungkinkan dilestarikannya knmpromi tentatif klas di negara-negara kaya di belahan bumi Utara.
Kebanyakan yang menekankan aspek ekonomi globalisasi  melacak percepatan kecenderungan integrasi dunia dalam ekonomi global pada saat tumbangnya sistem Bretton Woods di awal tahun 1970-an. Dalam merespon perubahan-perubahan besar dalam ekonomi dunia yang meruntuhkan daya saing industri berbasis AS, Presiden Richard Nixon pada tahun 1971 memutuskan untuk melepas sistem nilai tukar tetap berdasar emas. Perpaduan antara ide-ide politik baru dan perkembangan-perkembangan ekonomi—membumbungnya inflasi, merosotnya pertumbuhan ekonomi, membengkaknya pengangguran, defisit sektor publik, dua kali krisis minyak dalam satu dekade—mendorong kemenangan spektakuler partai-partai konservatif dalam pemilu di AS dan Inggris. Partai-partai ini mendesakkan gerak neoliberal menuju ekspansi pasar internasional, dinamika yang didukung oleh deregulasi sistem finansial domestik, pelepasan bertahap kontrol kapital dan meningkat tajamnya transaksi-transaksi finansial global.
Selama tahun 1980 dan 1990-an, upaya Inggris-Amerika membangun pasar global tunggal lebih jauh disokong oleh perjanjian menyeluruh liberalisasi perdagangan yang mendongkrak arus sumber-sumber daya ekonomi yang menerjang batas-batas nasional. Terbitnya paradigma neoliberal mendapatkan legitimasinya lebih jauh oleh tumbangnya sistem ekonomi komando di Eropa Timur pada tahun 1989-1991. Membuyarkan konsensus prinsip-prinsip ekonomi Keynesian pasca perang, teori-teori pasar bebas yang dipelopori oleh Friedrich Hayek dan Milton Friedman tampil memimpin, yang menelanjangi welfare-state,  pemangkasan peran-peran pemerintah dan deregulasi ekonomi. Penekanan kuat pada langkah-langkah monetaris untuk menekan laju inflasi mendorong penghapusan skema pada kerja ekonomi Keynesian dalam rangka membangun pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel. Pergeseran dramatis dari ekonomi yang dikuasai negara ke ekonomi yang dikendalikan pasar berbareng dengan penemuan-penemuan teknologi. Nilai perdangan dunia meningkat tajam dari 57 juta dollar AS pada tahun 1947 ke level menakjubkan  yakni 6 triliun dollar AS pada tahun 1990 (Steger, 2000: 24-7).
Paling tidak, terdapat dua aspek penting globalisasi ekonomi, yakni perubahan watak proses produksi dan internasionalisasi transaksi finansial. Sebagian analis menganggap  adalah munculnya sistem finansial transnasional yang merupakan ciri utama ekonomi dunia dewasa ini. Proses globalisasi finansial ini mengalami percepatan secara dramatis pada akhir tahun 1980-an ketika pasar modal dan sekuritas di Eropa dan AS dideregulasikan. Liberalisasi perdagangan finansial ini memungkinkan pesatnya mobilitas di antara segmen-segmen industri finansial, dengan restriksi yang lebih sedikit dan tatapan peluang investasi dalam skala global. Lebih jauh, kemajuan dalam pemrosesan data dan teknologi informasi menyumbang pada ledakan pertumbuhan nilai-nilai finansial yang diperdagangkan. Ditopang oleh teknologi komunikasi, para pemburu laba dan spekulan global menangguk hasil spektakuler dengan cara mengambil keuntungan dari lemahnya sistem regulasi perbankan dan keuangan di pasar-pasar  negara berkembang. Pada akhir tahun 1990-an, jumlah yang berkisar hampir dua triliun dollar AS diperdagangkan di pasar mata uang global (ibid., hal. 27).
Sementara penciptaan pasar finansial mewakili aspek krusial globalisasi ekonomi, perkembangan penting lainnya pada tiga dekade terakhir meliputi perubahan watak dalam produksi global. Perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs) mengonsolidasikan operasi globalnya dalam pasar kerja dunia yang semakin dideregulasikan. Ketersediaan buruh murah, sumber-sumber daya dan syarat-syarat produksi menguntungkan yang ada di dunia ketiga mempertinggi mobilitas dan keuntungan TNCs.  Meliputi 70 persen perdagangan dunia, badan-badan usaha raksasa ini memperluas jangkauan globalnya ketika  investasi asing mereka meningkat kurang lebih 15 persen setahun selama periode 1990-an. Kemampuan perusahaan-perusahaan ini untuk menyebar proses manufacturing di berbagai lokasi bumi yang berbeda-beda sering dicatat sebagai tonggak globalisasi ekonomi. Mata rantai komoditas global seperti ini memungkinkan perusahaan-perusahaan besar seperti Nike dan General Motors untuk memproduksi, mendistribusikan dan menjual produk-produk mereka dalam skala global. Nike, misalnya, mensub-kontrakkan 100 persen produksi barangnya kepada 75.000 pekerja di Cina, Korsel, Malaysia dan Thailand.
Sistem produksi transnasional memperbesar daya kapitalisme global untuk meningkatkan kemampuan TNCs dalam menepis pengaruh politis unit-unit perdagangan berbasis nasional dan serikat-serikat pekerja dalam proses bargaining  perupahan kolektif.

Globalisasi sebagai Proses Politik

Sebagaimana ditunjukkan kasus TNCs, perspektif ekonomi dalam globalisasi hampir tidak bisa didiskusikan lepas dari analisis proses-proses politik. Perdebatan terbesar dalam globalisasi politik adalah berkenaan dengan nasib negara-bangsa modern. Beberapa pertanyaan awal yang perlu diajukan adalah; pertama, sebab-sebab politik apakah ayang mendorong arus massif kapital, uang dan teknologi melintasi batas-batas teritorial? Kedua, apakah arus ini merupakan tantangan serius terhadap keberdayaan nation-state? Dan ketiga, bagaimanakah dampak munculnya organisasi-organisasi intergovernmental terhadap konsep kedaulatan negara dan bagaimana prospek global governance? Dalam merumuskan jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas, beberapa sarjana terbagai dalam empat kelompok pandangan.
Pertama, mereka yang menganggap bahwa globalisasi merupakan proses yang secara intrinsik berkaitan dengan ekspansi pasar. Secara lebih khusus, kemajuan pesat dalam teknologi komputer dan sistem komunikasi seperti jaringan lintas dunia (world wide web; www) dipandang sebagai kekuatan utama yang bertanggung jawab atas terciptanya pasar global tunggal. Menurut pandangan ini, politik nyaris tanpa daya di hadapan truk besar teknoekonomi yang tak bisa dihalau dan dilawan yang akan melabrak upaya pemerintah mengintroduksi kembali kebijakan dan aturan-aturan yang restriktif. Ekonomi di angggap memiliki logika dalam (inner logic)  yang terpisah dan superior terhadap politik. Menurut pandangan ini, kombinasi kepentingan diri ekonomi (economic self-interest) dan inovasi teknologis inilah yang bertanggung jawab menghantarkan fase baru dalam sejarah dunia di mana peran pemerintah tereduksi di hadapan kekuatan pasar bebas. Negara, menurut eksponen pandangan ini, akan direduksi menjadi “superkonduktor kapitalisme global” (Steger, 2002: 29).
Salah satu representasi kalangan ini adalah Kenichi Ohmae. Perancang strategi bisnis Jepang ini menyatakan bahwa nation-state menjadi tak lagi relevan dalam perkembangan glnbal. Ohmae memproyeksikan keniscayaan munculnya “dunia tanpa tapal batas” (the borderless world) berkat daya dorong kapitalisme. Dari perspektif ekonomi, Ohmae (1996: 42) menandaskan bahwa nation-state telah kehilangan perannya sebagai unit partispasi yang berarti dalam perekonomian global. Sebagaimana pembagian wilayah tak lagi relevan bagi masyarakat manusia, negara tak lagi mampu mendeterminasi arah kehidupan sosial dalam batas-batas wilayah mereka. Negara, oleh pendisiplinan pasar global, semakin kerdil kemampuannya dalam mengontrol nilai tukar dan memproteksi mata uangnya. Dalam jangka panjang, proses-proses globalisasi politik akan mendorong hancurnya teritori sebagai kerangka yang memiliki makna untuk memahami perubahan-perubahan sosial dan politik. Tertib politik masa depan, menurut Ohmae (1990: xi-ii), akan menjadi suatu ekonomi regional yang saling terhubung (interlinked) dengan hampir semua jaringan global yang bekerja menurut prinsip pasar bebas.
Kelompok sarjana kedua menampik anggapan bahwa perubaha-perubahan ekonomi skala besar semata terjadi dalam masyarakat sebagai sesuatu yang alamiah seperti, misalnya, gempa bumi atau angin topan. Melainkan, mereka menyoroti peran sentral politik—khususnya mobilisasi kekuasaan politik yang sukses—dalam menebarkan jaring-jaring diseminasi globalisasi.  Pandangan ini berpijak dari  filosofi yang menekankan watak keagenan aktif manusia. Jika bentuk globalisasi ekonomi ditentukan oleh politik, maka preferensi politik yang berbeda akan menghasilkan kondisi sosial yang berbeda. Menurut eksponen kelompok ini, akar-akar ekspansi massif ekonomi global tidak terletak baik pada “hukum alamiah pasar” maupun perkembangan teknologi komputer, melainkan pada keputusan politik yang dibuat pemerintah untuk mengangkat restriksi internasional terhadap kapital. Begitu keputusan politik diimplementasikan pada tahun 1980-an, inovasi-inovasi teknologi hadir secara otomatis. Negara dan teritori, menurut pandangan ini, tetap sesuatu yang penting—bahkan dalam konteks global (Steger, 2002: 30).
Perspektif ketiga memandang globalisasi sebagai sintesa perpaduan faktor-faktor politik dan teknologi. Globalisasi adalah hasil dari kemajuan teknologis dan kebijakan pemerintah dalam meredukasi limitas-limitasi dalam sistem pertukaran internasional. “Globalization’, kata salah seorang penganut paham ini, is the child of both technology and policy” (Nye Jr., 2002:  91). Sementara itu Jhon Gray, sebagaimana dikutip Steger (2002: 31), mengemukakan bahwa globalisasi adalah proses panjang yang dikendalikan oleh teknologi, yang bentuk kontemporernya ditentukan secara politik oleh negara-negara yang paling kuat di dunia.
Perspektif keempat menghampiri globalisasi politik terutama dari perspektif global governance. Representasi kelompok ini menganalisis berbagai peran respon-respon nasional dan multilateral terhadap fragmentasi sistem ekonomi-politik dan arus transnasional yang menerjang melintasi batas-batas nasional. Ilmuwan politik seperti David Held dan Richard Falk dalam tulisan-tulisan mereka mengartikulasikan perlunya global governance sebagai konsekuensi logis proses globalisasi. Keduanya menggambarkan globalisasi sebagai telah mengikis pemerintahan nasional, karena itu juga mereduksi relevansi nation-state. Menurut Held, baik sistem lama kedaulatan nation-state Westphalia maupun sistem global pasca perang yang berpusat pada PBB tidak menawarkan solusi yang memuaskan terhadap berjibunnya tantangan globalisasi politik. Alih-alih, Held menawarkan munculnya bentuk penadbiran demokratis multilapis (a multilayered form of democratic governance) yang berpijak pada cita-cita kosmopolitan Barat, pengaturan hukum internasional dan jaringan luas yang menghubungkan antara berbagai institusi kepemerintahan dan non-kepemerintahan. Held menyebut adanya kecenderungan inheren dalam proses globalisasi yang akan memperkuat lembaga-lembaga supra nasional dan munculnya masyarakat sipil internasional. Dia meramalkan bahwa hak-hak demokratis pada akhirnya akan dilepaskan dari kaitan sempitnya dengan unit-unit teritorial tertentu (Steger, 200: 32-3).
Senafas dengan Held, Falk (1995: 36) juga mengargumentasikan bahwa globalisasi politik akan mendorong kemunculan kekuatan sosial demokratis transnasional yang berjangkar dalam civil society. Falk membedakan “globalisasi dari bawah” (globalization-from below) yang dipimpin rakyat demokratis dari “globalisasi dari atas” (globalization-from above) yang dikendalikan oleh pasar dan perusahaan-perusahaan besar. Falk menganalisis kapasitas aktor-aktor politik dalam menentang dominasi globalisasi neoliberal dalam serangkaian wilayah-wilayah kunci yang mencakup; peran institusi dan rezim internasional, pengaruh media, perubahan watak kewargaan, dan reorientasi aktivitas negara. Falk memberikan tekanan kuat terhadap kapasitas negara dalam mengimplementasikan agenda-agenda kosmopolitan. Sejumlah kritikus penghampiran kedua tokoh ini memustahilkan ide  bahwa globalisasi politik akan memicu ke arah perkembangan demokrasi kosmopolitan.

Globalisasi sebagai Proses Kultural

Telaah tentang globalisasi kultural meliputi wilayah isu; akahkah globalisasi akan mendorong keseragaman budaya atau malah justru membiakkan keragaman dan diversitas? Apakah globalisasi akan membuat orang menjadi semakin sama atau tambah berbeda? Kebanyakan pengakaji mendahului jawaban mereka atas pertanyaan ini dengan analisis umum mengenai relasi globalisasi dan perubahan kebudayaan kontemporer. Tomlinson (dalam Steger, 2002: 34) misalnya mendefinisikan globalisasi kultural sebagai “memadatnya jaringan kompleks interkoneksi kultural dan kesalingtergantungan yang menjadi ciri kehidupan sosial modern”. Menurut Tomlinson, arus kultural global dipandu oleh perusahaan-perusahaan media internasional yang menggunakan teknologi komunikasi baru untuk membentuk masyarakat dan identitas. Sebagaimana citra dan gagasan dapat dengan mudah dan cepat tersebar dari satu tempat ke tempat lain, teknologi  ini akan berdampak pada cara orang mengalami peristiwa keseharian mereka. Budaya tak lagi terikat pada lokalitas yang tetap seperti kota atau negara, melainkan menyebar dalam jaringan-jaringan global. Interkonektivitas ini didesakkan oleh globalisasi kultural yang menabrak nilai-nilai dan identitas parokial, sebab ia akan menumbangkan pertauatan yang menghubungkan antara kebudayaan dan kepastian lokasi (fixity of location).
 Pendek kata, globalisasi akan mendorong munculnya kebudayaan global yang dipimpin oleh sistem nilai Anglo-Amerika.  Atas dasar ini, beberapa orang memandang globalisasi sebagai proyek Amerikanisasi, yakni terjadinya proses imperialisme kebudayaan Amerika. : Ohmae (1996: 15) menyebutnya sebagai California-ization of taste, sementara sosiolog Amerika, George Ritzer (1993), mengistilahkannya  dengan McDonaldization of Society. Benjamin Barber menunjuk McWorld sebagai kapitalisme konsumen tanpa sukma (a soulless consumer capitalism) yang secara cepat merombak penduduk sejagat dalam gemulai tradisi pasar yang seragam.
Sementara, itu kalangan lain mendgaskan bahwa globalisasi tidaklah berarti homogenisasi, tetapi munculnya satu bentuk baru keragaman kultural. Roland Robertson misalnya, membuktikan bahwa arus kultural global seringkali justru memunculkan kembali kantung-kantung kebudayaan lokal. Hasilnya bukanlah homogenisasi melainkan glokalisasi, yakni kompleks interaksi global-lokal yang dicirikan oleh saling pinjam kebudayaan. Interaksi ini akan berujung pada perpaduan kompleks antara dorongan-dorongan ke arah homogenisasi dan heterogenisasi. Momentum ini sering juga disebut sebagai hibridisasi atau kreolisasi yang tercermin dalam musik, film, fashion, bahasa dan ekspresi-ekspresi simbolik lainnya. Bukannya terbenam ke dalam pusaran konsumerisme Barat, keragaman dan partikularitas lokal berevolusi ke dalam konstelasi dan wacana kebudayaan baru (Steger, 2002: 36-7; Holton, 1998: 187-195).
Perdebatan tentang globalisasi kultural ini pada akhirnya akan berujung kepada kontroversi panjang seputar apakah abad kita sekarang ini harus dipahami dalam kerangka perluasan modernitas ataukah ia merupakan kondisi baru postmodern yang dicirikan oleh tanggalnya asumsi-asumsi mapan tentang identitas dan pengetahuan? Inilah pertanyaan besar yang melahirkan banyak madzhab dalam ilmu sosial.

Arsitektur Ideologi Neoliberalisme 

Neoliberalisme yang mulai dilaunching decade 70-an dirumuskan dan dipropagandakan sejak dekade 1940-an oleh Friedrich Von Hayek dan muridnya Milton Friedman dari Universitas Chicago. Tesis-tesis neoliberalisme mencakup: keutamaan pembangunan ekonomi; pentingnya perdagangan bebas untuk merangsang pertumbuhan; pasar bebas tanpa restriksi; pilihan individual; pemangkasan regulasi pemerintah; dan pembelaan atas model pembangunan sosial evolusioner yang berjangkar dari pengalaman Barat yang dapat diterapkan ke seluruh dunia (Steger, 2002: 9). Dalam sejarah pemikiran ekonomi, neoliberalisme berakar pada ekonomi klasik yang dikonseptualisasikan oleh Adam Smith (1723-1790), David Ricardo (1772-1823) dan Herbert Spencer (1820-1903). Merekalah yang kemudian mendapat laqob intelektual “Kanan Baru” (New Right) yang, meminjam istilah Steger, pouring old philosophical wine into new ideological bottles (menuang anggur filsafat lama dalam botol ideologis baru).  Artinya, neoliberalisme merupakan sintesa lanjut dari konstruksi ekonomi garis liberal yang merupakan sintesa ekonomi klasik dan Keynesian (neoklasik).
Rezim yang pertama kali melaunching neoliberalisme dalam praksis kebijakan publik Margareth Tatcher (PM Inggris/1979)  dan Ronald Reagan (AS), Helmut Kohl (Jerman). Dengan dukungan dari ketiga negara yang berpengaruh besar ini, neoliberalisme menyebar ke seluruh dunia melalui berbagai lembaga internasional, terutama yang bobot pengaruh keanggotaannya ditentukan oleh besarnya sumbangan pendanaannya, seperti IMF dan World Bank (Mas’oed, 2002: 6).
Sebagaimana telah dilansir, penyangga utama ajaran neoliberal adalah Anglo-Amerika. Dua negara ini telah mengambil prakarsa penting dalam menguniversalkan doktrin-doktrin neoliberalisme ke seluruh dunia. Atas dasar asumsi bahwa proses globalisasi terjadi tidak semata berkat perkembangan teknologi maupun dorongan intrinsik pasar melainkan lebih karena faktor politik, maka dorongan politik apakah yang menyebabkan kedua negara ini mengambil kebijakan hiper-liberalisasi dan mencampakkan paradigma ekonomi Keyneysian? Sekali lagi, dengan merujuk Mas’oed (2002: 19), akan diketahui bahwa liberalisasi pasar finansial yang digalakkan besar-besar sejak tahun 1970-an dapat berlangsung sebab ia sesuai dengan kepentingan AS sebagai pemain utama dalam sistem kapitalis dunia. Sejarahnya adalah demikian. Bahwa pada akhir 1960-an, AS mengalami peningkatan yang luar biasa dalam defisit anggaran belanja maupun neraca pembayarannya. Hal ini berdampak pada merosotnya status hegemonik AS dalam banyak bidang hubungan internasional. Untuk merebut kembali hegemoninya, AS pada masa Presiden Nixon melakukan berbagai tindakan. Salah satunya adalah memperluas pasar finansial dengan cara penghapusan kendali atas transaksi devisa.
Mengingat bahwa sejak lama pasar finansial AS jauh lebih menggiurkan para pedagang uang  dibanding bursa pasar di Eropa maupun Jepang yang penuh regulasi, maka bisa dimengerti kalau kebijakan baru AS ini mengundang banyak investor asing masuk ke bursa pasar mereka. Dengan latar seperti ini, akan mudah disimpulkan bahwa  undangan AS kepada para investor asing  itu sebenarnya dalam rangka membiaxai defisit anggaran belanja dan neraca pembayarannya. Karena sistem Bretton Woods  tidak memungkinkan pelonggaran kendali atas transaksi devisa, maka bisa dimengerti kalau AS pada tahun 1971 segera mencampakkan komitmen Bretton Woods yang  ia buat sendiri seperempat abad sebelumnya.  Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) produk Konferensi Bretton Woods yang berlaku sejak 1944 mulai terdesak mundur pada tahun  1971, terlebih ketika pada tahun 1973 banyak negara maju  secara gencar mulai mengadopsi sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate).
Salah satu serangan intelektual Kanan Baru terhadap fondasi manajemen makroekonomi Keyneysian adalah bahwa sistem ini dianggap telah mendistorsi mekanisme bekerjanya pasar secara alamiah. Sistem yang mengundang banyak campur tangan negara dalam ekonomi ini dituduh telah menghasilkan membumbungnya angka inflasi di seluruh dunia pada tahun 1970-an. Bagi para intelektual Kanan Baru, adalah inflasi, bukan pengangguran, yang merupakan problem ekonomi kontemporer yang paling mendesak dan mengkhawatirkan (Deane, 1987: 187). Di samping adanya faktor-faktor objektif ekonomi yakni,  membumbungnya inflasi, merosotnya pertumbuhan ekonomi, membengkaknya pengangguran, defisit sektor publik dan terjadinya krisis minyak—kemenangan ide-ide neoliberal terutama dimungkinkan berkat adanya dukungan politik negara Anglo-Amerika. Dari perspektif ini, ide-ide neoliberal yang lebih mengagungkan pasar dari negara  mengidap semacam paradoks, problem yang telah lama ditengarai Karl Polanyi. Di satu sisi mereka sangat mempercayai keunggulan pasar dari negara, namun di sisi lain, untuk menghidupkan kembali ide dan implementasi gagasan laissez faire, mereka sangat membutuhkan peranan aktif negara.
Artinya, neoliberalisme yang menggempur manajemen demand Keyneysian,  pada sisi lainnya juga membutuhkan negara seperti dalam kebijakan moneter dan suku bunga sebagai respon terhadap fluktuasi nilai tukar dan untuk menarik lebih banyak investasi. Ada dua gejala yang bisa dijadikan bukti betapa besarnya peranan negara dalam mendorong proses liberalisasi ini (Mas’oed, 2002: 21-3).
Pertama adalah pembentukan pasar mata uang dollar di Eropa. Pada tahun 1960-an, Inggris dan AS mendukung munculnya pasar Eurodollar di London. Pasar ini memberikan lingkungan offshore yang bebas dari ikatan pemerintah nasional bagi pertukaran aset finansial yang didenominasi dalam mata uang asing, terutama dollar. Di masa ketika sebagian besar negara di dunia masih menerapkan pengendalian ketat terhadap arus perpindahan kapital, penciptaan pasar finansial Eurodollar merupakan pasar bebas bagi para bankir swasta. Dan pasar ini jelas bertentangan dengan ciri pokok ekonomi-politik dunia sejak berakhirnya Perang Dunia II, yaitu sistem hubungan finansial yang terkendali ketat. Dukungan pemerintah Inggris terhadap pasar Eurodollar sangat penting karena ia memberikan basis fisik bagi pasar itu. Salah satu alasan Inggris mengijinkan beroperasinya pasar bebas dari regulasi adalah keinginan otoritas perbankan negara itu untuk mempertahankan peran London sebagai pusat finansial internasional walaupun ekonomi negara itu tidak lagi mendominasi dunia.
Mengapa Inggris membiarkan pasar itu menggunakan mata uang asing dan bukannya poundsterling? Kemungkinan adalah karena Inggris ingin tetap mengendalikannya dalam transaksi internasional demi mempertahankan neraca pembayarannya yang melemah pada masa 1950 dan 1960-an. Dengan mengijinkan para bankir beroperasi dalam mata uang asing, terutama dollar, internasionalisme London bisa dipertahankan tanpa menganggu neraca pembayaran Inggris. Dukungan AS juga penting, sebab bank-bank dan perusahaan-perusahaan  AS masih dominan dalam pasar finansial itu. Walaupun cukup punya kekuasaan, pemerintah AS tidak mencegah berbagai bank dan perusahaan itu untuk beroperasi dalam pasar Eurodollar. Mengapa? Ada dua alasan. Pertama, sebagai kompensasi dari ketatnya pengendalian dalam negeri di tahun 1960-an dan kendala akibat undang-undang perbankan yang diciptakan tahun 1930-an, bank-bank dan perusahaan multinasional (PMN) AS menuntut kebebasan untuk beroperasi di luar negeri. Kedua, para pembuat kebijakan AS menyadari bahwa pasar Eurodollar yang bebas dari regulasi bisa meningkatkan daya tarik dollar bagi investor swasta dan bank-bank sentral luar negeri pada saat AS mengalami masalah neraca pembayaran. Dengan kata lain, dukungan terhadap Eurodollar merupakan pengakuan atas kenyataan bahwa tatanan internasional yang lebih liberal bisa membantu pembiayaan defisit AS yang semakin meningkat  dan mempertahankan posisi sentralnya dalam sektor finansial  di dunia.
Gejala kedua adalah demam liberalisasi yang melanda Eropa dan AS yang semakin mencampakkan sistem Bretton Woods. AS dan Inggris seolah saling berlomba dalam menerapkan kebijakan liberalisasi. AS menghapuskan kendali atas perpindahan kapital pada tahun 1974, sedangkan Inggris tahun 1979. AS menderegulasi New York Stock Exchange tahun  1975 sementara  Inggris melakukan liberalisasi dan deregulasi  London Stock Exchange pada tahun 1986. Tujuan Inggris adalah meningkatkan daya tarik London sebagai pusat finansial internasional sehingga tidak kalah saing dari New York. Tahun 1980-an, tindakan AS dan Inggris ini diikuti oleh liberalisasi yang dilakukan oleh semua negara industri maju. Akibatnya, sistem Bretton Woods tergeletak kehabisan tenaga karena ditinggalkan oleh negara-negara  yang telah sekian tahun menjadi pendukung setianya. Negara-negara itu beralasan bahwa, kalau tidak terlibat aktif dalam trend liberalisasi, mereka khawatir banyak kapital yang footloose akan hengkang lari ke New York atau London yang telah menjadi pusat finansial yang sepenuhnya liberal.
Dua gejala ini telah menjadi cukup bukti bahwa betapa faktor politik, yakni keterlibatan aktif dua negara kunci Anglo-Amerika, menjadi determinan yang mempengaruhi perubahan-perubahan besar dalam tata ekonomi-politik dunia. Faktor politik ini semakin jelas terlihat ketika negara-negara besar memanipulasi lembaga-lembaga internasional produk Konferensi Bretton Woods dan memberi mereka fungsi dan peranan baru. Yang diubah bukan hanya susunan personalia lembaga-lembaga itu, melainkan juga ideologi, misi dan mandatnya. Misalnya, IMF yang semula hanya berfungsi sebag`i clearing house bagi bank-bank sentral nasional dan penjaga stabilitas moneter negara-negara anggotanya, sejak saat itu diberi mandat baru xang lebih luas dengan sarana yang lebih efektif sehingga bisa bertindak sebagai polisi, akuntan, selain sebagai bankir untuk negara-negara anggotanya.
Paparan di atas semakin meneguhkan inti argumen yang ingin ditegaskan skripsi ini, yakni bahwa upaya untuk menyimak doktrin-doktrin neoliberal tidak bisa diletakkan semata dari perspektif  analitis, tetapi lebih harus dalam kerangka ideologis. Apakah inti ideologi neoliberalisme? Susan George (2000, dikutip dari Mas’oed, 2002: 5) merumuskan butir-butir doktrin neoliberal yang harus diadopsi sebagai kebijakan negara-negara (berkembang) sebagai berikut:
1.      Pasar harus diberi kebebasan untuk membuat keputusan sosial dan politik yang      penting.
2.      Negara harus secara sukarela mengurangi peranannya dalam ekonomi
3.  Perusahaan harus diberi kebebasan total
4. Serikat buruh harus diberangus
5.      Proteksi sosial bagi warga negara harus dikurangi.
          Sementara pada level internasional, neoliberalisme mengutamakan tiga pendekatan pokok:
1.      perdagangan bebas untuk barang dan jasa.
2.      kebebasan sirkulasi kapital.
3.      kebebasan investasi.

Pada tingkat operasional, skema ideologis ini dijabarkan dalam sperangkat paket kebijakan ekonomi yang harus diterapkan khususnya oleh negara-negara berkembang. Butir-butir kebijakan neoliberal ini dicetuskan sejak tahun 1990-an dan sering disebut sebagai “Washington Consensus”. Ia terdiri dari sepuluh poin program yang pada mulanya dirancang dan disusun oleh Jhon Williamson, bekas penasehat IMF tahun 1970-an. Sepuluh program ini menjadi paket kebijakan yang harus dilaksanakan oleh negara-negara Dunia Ketiga dalam program reformasi ekonominya (Steger, 2002: 63-4):
1.      Jaminan pendisiplinan fiskal dan pengekangan defisit anggaran.
2.      Pengurangan belanja-belanja publik, khususnya militer dan administrasi publik
3.      Reformasi pajak, untuk menciptakan sistem dengan basis luas dan pelaksanaan efektif.
4.      Liberalisasi finansial, dengan tingkat suku bunga yang ditentukan pasar
5.      Nilai tukar bersaing, untuk menyokong pertumbuhan berbasis ekspor
6.      Liberalisasi perdagangan beserta penghapusan ijin impor dan penurunan tarif.
7.      Mendorong investasi asing
8.      Privatisasi badan-badan usaha milik negara demi efektivitas manajemen dan perbaikan performa
9.      Deregulasi ekonomi
10.   Perlindungan terhadap hak-hak milik.
Dengan landasan normatif ini, dunia didorong menuju proses pengintegrasian global. Mekanisme apa yang dipakai menuju proses ini dan bagaimana nasib negara-bangsa dalam konstelasi wacana demikian? Paparan berikut akan mencoba menjawab pertanyaan itu.
Dalam risalah yang berjudul The Diminished Nation-State: A Study in the Loss of Economic Power, Vincent Cable melukiskan gencarnya arus mondial yang mendesakkan terbentuknya proses pengintegrasian  global. Proses ini digambarkan Cable semakin menyusutkan peran nation-state sebagai kekuatan ekonomi yang signifikan. Cable merumuskan  enam mekanisme yang mendesakkan proses pengintegrasian internasional saat ini.  Enam hal itu adalah mekanisme teknologi; kapital finansial; investasi asing dan perusahaan-perusah`an multinasional; perdagangan barang dan jasa, arus migrasi manusia, dan rezim kebijakan global.

Neoliberalisme versus nation-state?
Fenomena di atas memiliki dampak signifikan dalam konteks nation-state.  Dampak neoliberalisme terhadap kedaulatan nation-state dii kalangan para analis,  seperti ditulis Mas’oed (2002: 8-14), melahirkan dua pandangan. Pertama menganggap bahwa dampak itu lebih bersifat kendala (constraints), sedangkan yang kedua beranggapan bahwa proses internasionalisasi dan globalisasi ini benar-benar telah mendorong terjadinya transformasi politik.
Bagi yang pertama, peningkatan transaksi barang, jasa dan modal secara internasional membuat pemerintah nasional terkendala dalam menentukan dan menjalankan preferensi kebijakannya. Proses internasionalisasi ini sering memaksa pemerint`h untuk menarik diri dari kegiatan ekonomi pasar. Begitu juga konsep welfare state yang menempatkan negara sebagai agen pelindung dan penyejahtera warganya—oleh skema neoliberal—harus ditinggalkan. Singjat kata, oleh berbagai aturan dalam transaksi global, negara mengalami  restriksi keleluasaan untuk memilih dan menjalankan kebijaknnya. Negara, sebagaimana dicatat Bhagwati (1989: 239),  tidak lagi mudah menjalankan kebijakan-kebijajan nasional yang sifatnya autarkis. Namun, aliran ini tidak sampai beranggapan bahwa proses internasionalisasi dan globalisasi akan mendorong tamatnya riwayat nation-state. Negara-bangsa masih bertahan, namun ia mengalami pengerucutan peran.
Pandangan kedua menyatakan bahwa proses globalisasi ini sesungguhnya tidak semata berdampak pada keterhambatan perilaku pemerintah, tetapi terjadinya transformasi dan perombakan tata politik di berbagai negara secara lebih menyeluruh. Hal ini terjadi melalui empat mekanisme. Pertama, internasionalisasi akan mendorong pergeseran fungsionalitas, kekuasaan dan kompetensi negara. Kedua, proses ini juga akan mendorong terjadinya perubahan identitas ekonomi politik suatu bangsa, yang pada gilirannya melahirkan transformasi politik. Ketiga, internasionalisasi mendorong penyebaran kekuasaan negara kepada aktor non-negara. Dan keempat, proses ini juga akan menghasilkan reorganisasi wewenang negara.
Dengan demikian, nampak jelas bahwa nation-state berada dalam tikungan kekuasaan global yang tengah mengancam kedaulatannya. Tetapi, menyatakan bahwa dampak arus globalisasi adalah s`ma pada setiap negara—mengutip Holton (1998: 81)—adalah asumsi yang menyesatkan. Sebab, dampak globalisasi tidak seragam. Globalisasi tidak selalu memperlemah negara-bangsa. Italia dan Jepang, seperti dicatat Schmidth (1995: 77), adalah di antara contoh dua negara yang justru diperkuat oleh proses globalisasi.  Negara-negara bangsa memiliki variasi dalam kapasitas dan kemampuannya menghadapi globalisasi. Dampak globalisasi jelas akan berbeda pada negara kuat—yang menjadi aktor utama dalam panggung ekonomi politik dunia seperti AS atau negara-negara G-7 seperti  Jerman dan Jepang—dengan negara-negara terbelakang seperti Indonesia. Jika negara-negara kelompok pertama memiliki kapasitas untuk mempengaruhi keputusan organisasi regulator transnasional seperti World Bank dan WTO, yang diistilahkan Andrew Gamble (1988) sebagai: ekonomi bebas dan negara kuat, maka negara-negara kelompok kedua nyaris tidak punya  daya tawar dalam setiap proses transaksi global.

Neoliberalisme dan Kebijakan Ekonomi: Indonesia

Diakui atau tidak, krisis ekonomi yang melanda Indonesia merupakan pintu masuk bagi sejumlah agenda neo liberal di Republik ini. Kilas balik peristiwa menyorongkan fakta kesejarahan dimana krisis ekonomi-politik sebenarnya dipicu oleh kelemahan struktur fundamental ekonomi Indonesia. Hembusan angin krisis, dalam fase awal pertumbuhannya, dimulai dari pasar uang. Manakala pasar uang tidak mampu membendung serbuan spekulan, fluktuasi mata uang rupiah merupakan stimulan bagi masyarakat untuk memindahkan investasinya dari bentuk tabungan menjadi investasi di pasar uang. Sebagian besar dari mereka mengharap keuntungan dari selisih antara nilai tukar mata uang rupiah dengan nilai tukar mata uang dollar Amerika. Akibatnya, lembaga perbankan di tanah air mengalami penarikan  dana-rush-secara besar-besaran hingga menggerus rasio kecukupan modal dari bank yang bersangkutan. Dunia perbankan kemudian berada dalam ancaman kebangkrutan.
Guna menyelamatkan eksistensi lembaga perbankan, negara turun tangan dengan menjamin semua dana masyarakat yang tersimpan di lembaga tersebut. Sebagai imbalan atas jaminan negara, sebagian saham di lembaga perbankan diubah menjadi penyertaan modal negara. Problema yang lebih besar baru muncul manakala proses penjaminan dana masyarakat itu diambilkan dari cadangan devisa negara, sehingga kondisi balance of payment  berada dalam kisaran negatif. Dengan demikian, negara berada di ambang kebangkrutan serta terancam inflasi berkepanjangan.
Pada titik ini, intervensi IMF memperoleh justifikasi ekonomi. Dengan dalih menyelamatkan perekonomian Indonesia, IMF mengusung segerobak agenda neo liberal ke dalam urat nadi perekonomian Indonesia. Ekspresi kongkret dari agenda neo liberal yang dicangkokan IMF terpetakan melalui sejumlah kebijakan antara lain :
Pertama, implementasi desentralisasi penyelenggaraan manajemen pemerintahan. Meski desentralisasi secara resesif mengandung benih demokratisasi dan memungkinkan terjadinya partisipasi politik, namun desentralisasi sebenarnya juga membawa potensi destruktif. Sebab, disadari atau tidak desentralisasi sebagai konsep penyelenggaraan pemerintahan sedikit demi sedikit menggerogoti kewenangan di pusat kekuasaan. Lebih dari itu, desentralisasi juga memaksa segenap daerah di wilayah Republik ini untuk berintegrasi dengan pasar yang lebih luas, yaitu pasar global. Melalui desentralisasi agenda pembukaan lokal sebagai pasar tidak memperoleh kendala yang berarti dari pusat pemerintahan karena desentralisasi telah membentuk open society pada level lokal.
Kedua, penghapusan subsidi di segenap lapangan ekonomi. Konsepsi neo liberal memandang subsidi merupakan bentuk ketidakadilan. Melalui subsidi, negara secara tidak langsung dianggap menstimulasi karakter masyarakat yang tidak produktif. Oleh karena itu, subsidi idealnya dihapus sehingga potensi kompetisi masyarakat dapat ditumbuhkan. Penghapusan subsidi semakin mendapatkan momentum tatkala negara sedang berada dalam kisaran kebangkrutan. Subsidi, dalam konteks ini, dianggap terlalu membebani anggaran negara. Dengan demikian argumen penghapusan subsidi memperoleh tambahan justifikasi.
Ketiga, implementasi konsep privatisasi di lapangan ekonomi. Paruh terakhir dari tahun 2002 menyorongkan realitas dimana negara dipaksa untuk bersegera membatasi perannya dalam ranah ekonomi. Salah satu instrumen yang membatasi peran negara di ranah ekonomi adalah agenda privatisasi sejumlah BUMN. Negara, pada titik ini, dianggap membahayakan pasar jika tetap memegang kendali BUMN secara utuh. Mengingat penguasaan BUMN setali tiga uang dengan praktek monopoli yang bisa mendatangkan distorsi pasar.
Implementasi berbagai konsepsi neo liberal di Indonesia, diakui atau tidak, semakin memangkas peran negara di lapangan ekonomi. Peran negara sedikit demi sedikit dinegasikan. Potensi intervensi negara ditekan sampai pada titik nadir, sehingga negara tidak lagi punya kekuatan untuk sekedar melindungi masyarakatnya dari serbuan agenda neo liberalisme. Implikasi krusial yang kemudian cukup dirasakan adalah kemungkinan hilangnya peranan negara untuk mendistribusikan keadilan ekonomi. Mengingat, wilayah eksistensi negara hanya dibatasi pada peran-peran fasilitator dan regulator. Dengan demikian, ancaman kesenjangan keadilan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak tertolak lagi dan telah berada di ujung hidung setiap individu di Republik ini. Meminjam   optik Andrew Gamble, Indonesia  bukannya ekonomi bebas negara kuat, namun ekonomi lumpuh negara impoten. 
          Inilah formasi sosial yang harus dijawab kaum pergerakan. Secara ringkas dapat dikatakan, sekali lagi, pasar hendak diletakkan kembali sabagai satu-satunya aktor penting dalam akumulasi modal. Negara, karena rivalitas antarkekuatan kapitalis kian kuat, tidak lagi diikutsertakan sebagai aktor akumulasi modal tersebut. Manifestasi konkret dari epistemology ini adalah didorongnya negara untuk melakukan kebijakan privatisasi, swastanisasi, penghentian subsidi besar-besaran, sampai pada pengetatan APBN. Artinya, pada dasarnya, neolibaral tetap  membutuhkan negara. Kebutuhan neoliberal atas negara terletak dalam fungsi negara yang meletakkkan basis legal formal bagi operasi neoliberalisme, sekaligus sebagai anjing penjaga dari gangguan keamanan dan politik domestik. Untuk mengamankan perlawanan masyarakat Aceh atau Papua, misalnya, hanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk operasi militer. Inilah barangkali yang secara tajam dikatakan, Mcdonal tidak dapat beroperasi tanpa mcdouglas, invisible hand smithian akan lumpuh tanpa tangan terkepal yang tersembunyi. Pendek kata kdterlibatan negara dalam akumulasi laba dipotong sebab dalam kalkulasi mikro ekonomi hanya akan menciptakan inefisiensi. Dalam optik akademik, teori negara selama ini yang  berputar-putar pada negara organis, pluralis, dan instrumentalis, kehilangan kapasitas konseptual sebagai penjelas realitas negara.
Peran-peran negara tersebut kemudian digantikan dengan lembaga-lembaga supranegara seperti IMF, WB, WTO, dan TNC/MNC.  Lonceng kematian negara pun berdentang. Ohmae dengan 4 “I” nya  dengan lantang meneriakkan kematian tersebut. Jika terjadi sengketa ekonomi antara TNC dengan negara atau dengan pengusaha nasional, misalnya, yang akan menjadi kata putus bukan lagi kedaulatan hokum nasional,  melainkan badan arbitrase yang dimiliki WTO. Sodokan yang lebih tajam datang dari mereka yang memproklamirkan the death of democracy (beck, Noreena Heertz). Kematian demokrasi terjadi karena (misalnya, menurut Beck) peran negara, yang pemerintahannya dipilih oleh rakyat melalui mekanisme demokrasi, digantikan oleh kekuatan pasar (bisnis). Eksekusi kebijakan negara tidak lagi di tangan negara melainkan pasar, padahal pasar yang memegang kendali kebijakan dalam transaksi social, tidak dipilih oleh rakyat melalui mekanisme demokrasi sebagaimana negara. Di samping belum ada kerangka kelembagaan yang mampu mengelola kekuasaan bisnis terwsebut, juga kebanyakan memang rakyat sama sekali tidak memiliki akses ke kekuasaan bisnis. Pada sisi yang lain, rezim yang dipilih oleh rakyat melalui mekanisme demokrasi melakukan pengkhianatan dengan lebih berpihak pada kapitalisme pasar daripada kepentingan rakyat. Kematian demokrasi secara niscaya akan diikuti lahirnya otoriterisme baru, yang sampai saat ini belum disiapkan jawaban paradigmatic atas semua itu. Analisis kelas marxis ortodoks sudah banyak digugat, neomarxis mampu menghentak kesadaran namun tidak memberi jawaban memuaskan.

Jawaban Paradigma Pergerakan  PMII

Bacaan di atas, terhadap realitas kesejarahan dan realitas pergerakan,  menunjukkan  dua hal sekaligus: ketimpangan structural pada level global, nasional, local, serta kelemahan-kelemahan mendasar pendekatan strukturalisme an sich, di satu sisi, dan di sisi lain keterbatasan-keterbatasan GM sehingga gagal menjadi kekuatan transformatif  revolusioner.
Perspektif paradigma kritis-transformatif  (PKT) menawarkan optik untuk melakukan penafsiran sejarah dan teori perubahan. Secara geneologis, PKT terkait dengan teori kritis sebagai kritik atas masyarakat kapitalis modern.  Dengan perspektif itu bacaan terhadap masyarakat bukan sebatas ekonomi politik marxistik yang reduksionistik, namun juga membaca the dominant ideology, epistemology social masyarakat yang menguasai gagasan masyarakat (proses formatif dan saling ekslusi antar-wacana social), psikososial yang membaca konstruksi  batiniah masyarakat. Berbagai variable di atas tidak dipandang senantiasa ordinat dan subordinat. Berbeda dengan pendekatan marxis, misalnya, yang hanya percaya perubahan politik (revolusi politik) menjadi kata kunci segala perubahan.  Suprastruktur disubordinasikan pada basis struktur berupa corak produksi masyarakat,  atau varian lain dari marxisme/sosialisme yang menggeser determinisme ekonominya.
Paradigma ini menurunkan konsep rekayasa social yang mempercayai perubahan non-determinis. Perubahan bisa dilakukan dalam berbagai pintu, baik itu politik, diseminasi gagasan, penguatan civil society, kebudayaan transformatif, gerakan gender, sampai pada gerakan social keagamaan transformatif yang diperankan oleh agamawan muda liberatif.  Dengan paradigma tersebut, design gerakan PMII menjadi terdiseminasi, namun tetap mengandaikan sinergisitas pergerakan. Ada yang focus pada gerakan massa, ada yang focus pada gerakan social transformatif, ada yang focus pada gender, ada yang focus pada pers, ada yang focus pada kajian dan pengembangan pemikiran social dan keagamaan alternatif, sampai ada yang focus pada dakwah, misalnya. Memang, jika format-format gerakan ini diikuti, maka  GM menjadi mirip atau  semacam LSM-Plus Gerakan massa. Namun di sinilah kelebihan PKT dibanding  dengan, misalnya,  GM  yang menggunakan epistemologi esensialis seperti sayap strukturalis. Tidak akan ditemukan  dalam organ seperti LMND, FMN, atau FPPI, program=program seperti  pelatihan gender, yasin-tahlil, pengajian, pengobatan gratis bagi masyarakat,  atau program lainnya yang dalam kacamata strukturalisme dianggap tidak signifikan. Jika melakukan pengorganisasian  elemen-elemen sektoral atau nonsektoral dalam kerangka  mobilisasi, atau pers yang, kalau dimiliki, lebih berperan sebagai alat propaganda isu. Hanya saja kelebihannya terletak pada gerakan massa yang heroik di jalanan. Pangkal kelebihan ini adalah pilihan paradigma yang tegas yang hanya mempercayai perubahan structural sebagai kata kunci perubahan.   Sedangkan kelemahan-kelemahan PMII terletak pada tidaknya matangnya format-format gerakan di atas.
Betapa dahsxatnya kalau PMII matang dalam semua format gerakan di atas. Matang dalam gerakan massa (tetap mempertahankan kesetiaan pada garis massa rakyat) dalam  mendesakkan desakan demokratik,   yang bisa bertahan berbulan-bulan seperti aksi massa di Venezuela, pada saat yang sama memiliki pers yang secara kelembagaan kuat, kajian filosofis dan keagamaan terus berjalan, pendampingan elemen sektoral dan nonsektoral juga tidak pensiun, dan kaderisasi tetap sustainable. Jangankan istana negara, pentagon pun akan goncang.  Dalam konteks saat ini dan ke depan, bagaimana materialisasinya?  PMII harus memiliki setidaknya empat pilar pergerakan.
Pertama, Gerakan masssa-revolusioner  untuk “merebut negara” sebagai medan makna politik dan meletakkan masyarakat sebagai kekuatan ekonomi politik..
Kedua, Gerakan intelektual untuk merebut alat produksi intelaktual dari the dominant ideology sebagai instrumen mengambil  kepemimpinan gagasan. Gerakan ini harus mampu dan efektif sebagai counter-hegemony terhadap gagasan-gagasan neoliberal.
Ketiga, Gerakan pers untuk merebut kepemimpinan propaganda gerakan dan diseminas serta sirkulasi informasi,
Keempat, System kaderisasi yang mapan sebagai salah satu supporting system mendesak untuk materialisasi format gerakan di atas.



Bagaimana program riilnya?
Pertama, memastikan bahwa negara menjadi bagian dari  front-kekuatan rakyat untuk melawan eksploitasi neoliberalisme dan problem-problem internal bangsa, mendorong kembali rekonsolidasi demokrasi yang  telah mengalami involsui dan kehilangan arah.  Mendorong modal sosial yang ada, liberalisasi politik, tertransformasikan menjadi demokratisasi politik. Rekonsolidasi ini mencakup wilayah ekopol, politik, hukum, dan kultur kewargaan rakyat. Secara simultan, diiringi perlawanan terhadap semua kebijakan publik yang merugikan rakyat.  Tugasnya pokoknya adalah bagaimana merebut medan makna politik dan pusat produksi pengetahuan.
Kedua,  bagaimana  menjembatani  kesenjangan kesadaran antara aktifis gerakan mahasiswa dengan rakyat secara umum. Kesenjangan ini nyata adanya. Bahkan, berbagai organ rakyat yang berhasil dibangun oleh mahasiswa dan LSM, tidak juga memerankan peran-peran politik.  Selain itu, bagaimana  mewujudkan semacam front demokrasi yang solid dan punya nafas panjang.
Ketiga,  secara programatik menjawab berbagai kebuntuan dan kelemahan internal PMII.



Pendek kata, jawaban paradigmatik PMII terhadap neoliberalisme “hanya” harus bertumpu pada tiga hal. Pertama, membangun perspektif kritis terhadap realitas kesejarahan dan subyektif PMII. Kedua, membangun supporting system yang memadahi, mulai dari penataan kelembagaan yang di semua level amburadul, networking, sampai pada mekanisme konsolidasi semua level organ PMII. Ketiga, membanguan social trust  sejati (di sinilah posisi Ahlusunnah Waljama'ah).



Untuk mewujudkan hal di atas, persyaratan yang harus dimiliki  diantaranya adalah visi yang jelas, kepemimpinan yang visioner, segera ditemukannya struktur organ yang mampu menjawab kebutuhan, memiliki kolektivitas, militans, memiliki nafas yang panjang, dan programatik. Jika semua itu dipenuhi, maka PMII akan menjadi kekuatan sejarah transformatif pada level global, nasional, dan local. Wallohu a’lam.

         



PUSTAKA

Barber, Benjamin, 1995, Jihad Vs. Mc World, Times Books, Random House

Bhagwati, Jagdish N, “Nation-state in International Framework: An Economist’s Perspective” dalam Alternatives XIV (1989), hh. 231-244
Cable, Vincent,  “The Diminished Nation-state: A Study in the Loss of Economic Power”, dalam Daedalus, Spring (1995), Vol. 124 No.2, hh. 23-53
Calhoun, Craig, “Nationalism and Ethnicity” dalam Annual Review of Sociology, 19 (1993)
Deane, Phyllis, 1987, The State and Economic System: An Introduction th the History of Political Economy, Oxford: Oxford Universuty Press
Falk, Richard, 1995, On Humane Governance; Toward a New Global Politics, The Pennsylvania State University Press, University Park, Pennsylvania
Gamble, Andrew, 1988, The Economy and the Strong State: The Politics of Tatcherism, London Macmillan
Giddens, Anthony, 1985,  The Nation-State and Violence; Volume Two of Contemporary Critique of Historical Materialism, Polity Press
______, 1999, Runaway World; How Globalisation is Reshaping Our Lives, Profile Books
Hirst, Paul & Grahame Thompson, 1996, 1999, Globalization in Question: The International Economy an d the Possibilities of Governance, Polity Press, 2nd edition
Holton, Robert J, 1998, Globalization and Nation-State, Macmillan Press Ltd
Hurrel, Andrew, “Explaining the Resurgence of Regionalism in World Politics”, dalam Review of International Studies (1995), 21, hh. 331-358
Petras, James & Veltmeyer, Henry, Globalization Unmasked, Fernwood Publishing, Zed Book, 2001
Jurnal Wacana, Menuju Gerakan Sosial Baru, edisi  11, Tahun III, 2002.
Mas’oed, Mohtar, 2002, Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional: Analisis Ekonomi-Politik tentang Globalisasi Neo-Liberal, Pidato Pebgukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan
Nye Jr., Jospeh S., 2002, The Paradox of American Power; Why the World’s Only Super Power  Can’t Go it Alone, Oxford University Press
O’Brien, Richard, 1992, Global Financial Integration: The End of Geography, London, Chatham House/Pinter
Ohmae, Kenichi, 1990, The Borderless World; Power and Strategy in the Interlinked Economy, Harper Business
______,1996, The End of the Nation-State; The Rise of Regional Economies, HarperCollins Publisher
Petras, James & Veltmeyer, 2001, Globalization Unmasked, Imperalisme in 21st Century,
Polanyi, Karl, 1944, 1957, 2001, The Great Transformation; The Political and Economic Orogins of Our Time, Beacon Press, Boston, 2nd paperback edition
Schmidth, Vivien A, “The New World Order, Incorporated: The Rise of Business and the Decline of the Nation-state”, dalam Daedalus, Spring (1995), Vol. 124 No.2, hh.75-106
Steger, Manfred B., 2002, Globalism: The New Market Ideology,
Sugiono, Muhadi, 1999, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar
Strange, Susan,1995 “The Defective State”, dalam Daedalus, Spring 1995, Vol. 124 No.2, hh. 55-74.