Sekalipun
peran GM belum menjadi kekuatan transformasional secara komprehensif, lebih
sebagai pendobrak pintu perubahan, lacakan sejarah social di Indonesia menunjukkan bahwa
tidak ada satu perubahan pun yang tidak
melibatkan kekuatan mahasiswa. Mahasiswa
telah menjadi salah satu ikon perubahan penting dalam sejarah social
masyarakat. Bahkan secara heroik mahasiswa disebut sebagai agen perubahan
social (agent of social change). Karenanya mendiskursuskan GM dalam
perubahan selalu relevan. Apalagi dalam konteks transisional saat ini, yang
menyembulkan ketidakpastian arah transisi. Dalam pengertian seperti itu, mafhum
mukholafahnya, dibutuhkan reorientasi bahkan reparadigmatisasi GM ketika
terlihat daya dorong perubahan GM melemah.
Memahami epistemology GM : belajar pada sejarah
GM
merupakan salah satu manifestasi gerakan social baru. Secara histories, mengacu
ke asal usul gerakan antisistem, gerakan social muncul karena kegagalan tiga
bentuk gerakan, yaitu gerakan pembebasan nasional, gerakan revolusi yang
diageni kalangan marxis, serta gerakan reformasi (parlementarian) yang diageni
kalangan sosdem. Ketiga bentuk gerakan ini memusatkan pada gerakan untuk
menguasai negara. Hanya saja dalam sejarah, tidak satupun yang berhasil dengan
sempurna. Walaupun negara telah menjadi medan revolusi (seperti Rusia, Kuba)
kalangan sosdem telah memiliki kekuatan parlementer, atau pola gerakan
ekstraparlemetarian telah meletakkan investasi demokrasi, dan kemerdekaan yang
diraih banyak negara telah tercapai, namun kesemuanya gagal mewujudkan utopia
transformasi masyarakat ideal. Kegagalan inilah yang melahirkan berbagai bentuk
gerakan social baru (new kinds of social movement) baik yang memiliki karakter kelas maupun
bukan.
Dengan
kata lain, GM lahir karena
kebuntuan-kebuntuan structural, cultural, dan konstitusional lembaga-lembaga
politik, social, dan hukum yang ada. Sementara itu, organisasi social non-pemerintah yang ada
terjebak pada konservatisme, tidak cukup responsive terhadap perkembangan
social yang ada, atau bahkan terkooptasi kekuasaan. Pada sisi yang lain, mahasiswa memiliki
peralatan intelektual sehingga mampu membaca kontradiksi social yang ada. Kesadaran kritis dan akses informasi terhadap
perkembangan situasi yang cepat ini, ketemu dengan adanya organ pergerakan yang
fleksibel dan mobile. Walaupun demikian,
sejarah menunjukkan, GM sebagai motor
penggerak perubahan memiliki sekian keterbatasan. Ini terkait dengan ontology
GM yang memang bukan gerakan politik
kekuasaan, namun gerakan moral, yang mau tidak mau, memaksanya memerankan peran
cowboy.
Untuk mengambil i’tibar dari
GM, mari kita baca historiografi GM ‘konvensional,’ yang biasanya dilacak sejak
politik etis, 1908, 1915, 1925, 1926, 1929, 1942, 1945, 1947, 1955, 1960, 1966,
1974, 1978, 1980-an, 1990, 1998, 2001, 2002/3. Dari rentetan panjang tersebut
terlihat orientasi GM sangat strukturalistik. Jika dikategorisasikan, yang
menjadi sasaran strategis GM adalah seputar hal-hal berikut: imperialisme
(pra-kemerdekaan), kapitalisme, rezim dan kebijakan (66, 78, 98, 2001, 2002,
2003), neoimperialisme/globalisasi, kebijakan terutama kebijakan politik dan
ekonomi (70-74, 77/78, 90-an, 2001, 2003), di samping isu-isu pendidikan,
hukum, dan isu-isu sektoral lainnya. Dilihat dari organ yang dipakai, ada yang
menggunakan institusi formal kampus seperti Dema, BEM, organ ekstra (PMII,
dll), dan organ-organ taktis. Sementara dilihat dari aliansi strategis yang
dirangkul, atau konteks format politik dan ekonomi yang ada, juga menunjukkan
spektrum yang beragam.
Namum, jika diperhatikan, semua
gerakan di atas, setelah mencapai targetnya, maka perlahan-lahan GM surut dan
baru bangun kembali seiring menguatnya kontradiksi social akibat ketidakadilan
dan penindasan yang massif dan tak dapat ditolerir lagi. Kecuali 66
di mana tanpa transformasi kelembagaan politik beberapa pelaku GM
mengalami mobilitas vertical ke
posisi-posisi kekuasaan, dengan argumen melanjutkan perjuangan di luar struktur
ke dalam perjuangan dalam struktur. Dengan kata lain, kelemahan gerakan yang
bertumpu pada medan structural, dengan pola student protest, tidak dapat
lebih maju dari kritis-dekonstruktis. Padahal logika structural
mensyaratkan rekonstruksi terhadap basis
material structural kelembagaan ekonomi dan politik nasional (student
movement). Inilah yang mendasari
simpulan GM gagal mewujudkan perubahan yang menyeluruh.
Sampai di titik ini, ada dua jalan yang dapat ditempuh. Pertama,
tetap setia pada gerakan massa seperti ini baik dengan pengembangan kapasitas
kelembagaan sehingga invdstasi demokratik yang dibangun tidak di-ghosob
oleh kekuatan politik oportunis (politik dekonstruksi), atau dalam jangka
panjang memproyeksikan transformasi dari gerakan moral ke gerakan politik
parlementer alias berubah menjadi parpol. Pilihan ini juga telah diambil oleh
beberapa aktifis mahasiswa dan LSM sehingga menjadi gerakan politik, menjadi
partai politik. Sebab dalam system demokrasi modern satu-satunya kendaraan
untuk menjadi bagian masyarakat politik secara formal adalah parpol. Diteorikan
gerakan moral harus menjadi gerakan politik agar dapat menyentuh pusat-pusat
kekuasaan politik.
Kedua, mencoba untuk
membaca ulang paradigma dan konsep pergerakkannya yang tidak hanya terbatas
pada tumpuan filsafat strukturalisme, dengan epistemology yang determinis,
namun lebih berorientasi sebagai bagian
dari pergerakan social, dengan epistemology non-determinis. Menjadi semacam bagian dari rakyat dan
gerakan social, namun masih setia pada ontologi GM sebagai byukan gerakan
kekuasaan.
Lalu, bagaimana sesungguhnya paradigma, format, dan
stratak GM yang kira-kira memiliki daya dorong transformasional? Untuk menjawab
ini, tulisan akan mencoba untuk membaca struktur basis material yang akan menentukan jawaban di atas. Bicara
basis material sama artinya bicara tentang globalisasi dan atau neoliberalisme.
New context, new paradigm
Setiap
gerakan selalu berpijak dalam suatu konstruksi realitas social tertentu. Tidak
ahistoris dan karenanya material. Hukum ini menunjukkan bahwa GM tidak terlepas
dari teks-teks social lain termasuk the dominant ideology yang bekerja, social
forces (motor penggerak), yang kesemuanya dapat disederhanakan dalam
sebutan formasi social masyarakat. Pada sisi lain kita tahu formasi social
selalu mengalami pergeseran, yang berimplikasi pada keharusan melakukan reparadigmatisasi
gerakan. Dengan kacamata ini sekilas saja nampak bahwa sekarang telah terjadi
transformasi besar-besaran peran politik negara. Formasi social era Soeharto
berbeda dengan formasi social sekarang. Karenanya GM era Orba yang target
politiknya mendelegitimasi negara atau mendekonstruksi negara yang
otoritarian-birokratik menjadi kehilangan konteks alias kurang relevan lagi.
Apakah kemudian dibalikkan menjadi memperkuat negara? Inilah satu perdebatan
penting yang harus dielaborasi.
Sebagai pembuka wacana, akan dielaborasi debat
seputar globalisasi dan neoliberalisme.
Globalisasi. Istilah yang memiliki
sekian arti dan makna. Secara paradigmatik, pandangan tentang globalisasi dapat
dibedakan dalam tiga paradigma besar (David Held, et al, 1998). Paradigma
pertama, skeptis, yang dianut kaum kiri, melihat globalisasi hanya akan menuai
kegagalan dalam mewujudkan trasnformasi sosial berkeadilan. Paradigma kedua,
optimistik, yang dianut kaum neolib, hiperglobaliser, atau hiperlib, melihat
globalisasi sebagai jawaban terang benderang atas masa depan ekonomi politik global. Paradigma
ketiga, transformasional, yang masih melihat sekian kemungkinan masa depan
globalisasi, mulai ayunan yang skeptik sampai
ayunan optimistik. Semua kemungkinan tersebut, amat tergantung pada
sekian variabel yang tidak bisa direduksikan begitu saja dalam satu faktor
dominan.
Karena itu, tulisan ini akan melihat
globalisasi secara, katakanlah, akademik,
dengan tidak tergesa-gesa mengambil posisi ideologis sebelum
mengelaborasi secara komprehensif sekian perspektif tentang globalisasi. Sebab,
seperti disebut di atas, globalisasi dimaknai secara berbeda-beda, kadang
pararel, kadang bahkan berbenturan.
Steger (2002: 13) membedakan istilah
globalisasi dan globalisme. Globalisasi adalah proses material dan sosial yang
didefinisikan oleh berbagai kalangan secara berbeda-beda. Sementara globalisme
lebih merupakan ideologi pasar neoliberal yang memberikan norma, nilai dan
makna-makna tertentu terhadap proses globalisasi itu. Sebagai ideologi,
globalisme tidak hanya memberikan deskripsi, tetapi juga preskripsi (Petras
& Veltmeyer, 2001: 11).
Globalisme memiliki tiga ciri khas
(Ricoeur, 1986), yakni distorsi, legitimasi, dan integrasi. Globalisme
memberikan gambaran atas realitas sosial yang telah mengalami proses
konstruksi, distorsi dan simplifikasi, sehingga
realitas yang distrukturkan olehnya pada level sosial dapat berkembang
menjadi sebentuk kesadaran palsu.
Melalui sistem legitimasi, globalisme memiliki mekanisme pengabsahan atas berbagai
kerangka pemikiran dan acuan tindakan yang diajukannya. Dan akhirnya,
globalisme memiliki fungsi integratif, yakni menyediakan serangkaian simbol,
norma dan citra yang menghimpun dan merekatkan identitas individu ke dalam
lingkungan kolektif.
Untuk menghantarkan analisis lebih
jauh tentang tendensi-tendensi ideologis globalisme sebagai proses ideasional,
akan dinarasikan terlebih dahulu beberapa persoalan utama dalam diskursus
globalisasi sebagai proses material (Skema dan struktur pemetaan uraian ini
banyak merujuk karya Manfred B. Steger, Globalism: The New Market
Ideology, 2002).
Debat Akademik Globalisasi
Dalam debat yang ada, tidak ada kesepakatan definisi
globalisasi, kecuali gambaran-gambaran
umum seperti “semakin meningkatnya keterkaitan global” (increasing global
interconnectedness), intensifikasi hubungan-hubungan sosial berskala dunia
dalam tempo yang cepat” (the rapid intensification of worldwide social
relation), “pemampatan ruang waktu”
(the compression of time and space), “serangkaian proses-proses kompleks
yang digerakkan oleh perpaduan pengaruh-pengaruh ekonomi dan politik”, (a
complex range of processes driven by mixture of political and economic
influences), dan “arus modal, orang dan gagasan yang bergerak cepat dan
relatif tanpa hambatan yang melintasi batas-batas nasional” (the swift and
relatively unimpeded flow of capital, people, and ideas across national borders)
(Steger, 2002: 17-9).
Untuk memperoleh gambaran kontroversi ini, akan diskemakan
pemetaan atas wilayah isu yang menjadi concern para ahli. Wilayah isu
ini meliputi—meminjam klasifikasi Giddens (1999: 7-8)—teori-teori radikal dan
skeptis globalisasi.
Globalisasi
sebagai Globaloney
Globalisasi oleh kelompok ini dianggap sebagai konsep yang
tidak jelas, kabur dan dilebih-lebihkan. Mereka menganggap bahwa apa yang
digulirkan sebagai diskursus globalisasi tak lebih sebagai isapan jempol.
Istilah globaloney sendiri diciptakan oleh Bob Fitch untuk menggolongkan
argumen-argumen para teoritikus globalisasi yang sifatnya tendensius dan
tautologis (Petras & Peltmeyer, 2001: 44). Argumen yang diajukan oleh
kelompok ini terpilah dalam tiga perspektif besar. Perspektif pertama menampik
kedayagunaan globalisasi sebagai konsep analitis yang tepat dan memadai. Perspektif
kedua menunjuk pada watak terbatas proses-proses globalisasi dan meragukan akan
lahirnya dunia yang terintegrasi seperti diyakini para pendukung globalisasi,
serta tidak memadahi dalam menjelaskan
apa yang sesungguhnya tengah terjadi saat ini. Sedangkan perspektif
ketiga menampik kebaruan fenomena globalisasi seraya mendukung kecenderungan
moderat proses-prosesnya. Mereka yang menyebut globalisasi sebagai proses
kekinian, oleh perspektif ini, dianggap gagal melihat gambaran besar dan
terjatuh dalam kepicikan kerangka sejarah mereka. Argumen lebih detail
masing-masing perspektif akan diuraikan di bawah ini.
Perspektif Pertama
Perspektif ini menolak penggunaan istilah globalisasi
sebagai konsep analitis dan memberikan kritik tajam atas kekaburan istilah yang lazim dipakai dalam wacana akademis.
Istilah lain yang setaraf derajat kekaburannya namun sering disebut-sebut
adalah nasionalisme. Craig Calhoun (1993: 215-6), misalnya, menyatakan bahwa
nasionalisme dan istilah-istilah turunannya telah terbukti sangat sulit
didefinisikan, sebab nasionalisme adalah gejala beragam, sehingga suatu
definisi akan mengabsahkan satu klaim dan menon-absahkan klaim lainnya.
Evaluasi yang sama kritisnya diberikan oleh Susan Strange yang menandaskan
bahwa globalisasi adalah contoh utama kata-kata kosong yang dipakai dalam
wacana akademis untuk menunjuk pada segala sesuatu dari internet hingga hamburger.
Begitu juga Linda Weiss yang berkeberatan atas istilah yang menurutnya
merupakan gagasan besar namun bertumpu pada fondasi yang rapuh (Steger, 2002:
20).
Perspektif Kedua
Perspektif ini
skpetis terhadap proses globalisasi dunia. Mereka menyatakan bahwa globalisasi
sejak dari perwatakannya bersifat terbatas. Mereka mementahkan apa yang
dikemukakan oleh para teoritikus ekstrim globalisasi bahwa dunia akan terlipat
dan menyusut oleh peleburan dunia dalam proses pengintegrasian sejagat.
Pandangan ini nampak jelas dalam karya Paul Hirst dan Grahame Thompson. Dalam Globalization
in Question (1996, 1999: 2), Hirst dan Thompson menyatakan bahwa
globalisasi adalah mitos. Ekonomi dunia saat ini tidak pernah benar-benar
bersifat global, sebab aksis
perdagangan, investasi dan arus finansial tetap lebih banyak terkonsentrasi
pada Tritunggal Eropa, Jepang dan Amerika Utara. Evaluasi yang lebih tajam
diberikan oleh Petras dan Veltmeyer. Kedua eksponen ini menampik penggunaan
istilah globalisasi untuk menunjuk proses pegintegrasian ekonomi dunia saat
ini. Sebab, globalisasi mengandaikan adanya saling
ketergantungan antar negara, watak berbagi dalam sistem ekonominya, kebersamaan
dalam sejumlah kepentingannya dan distribusi maslahat dalam sistem
pertukarannya. Namun, yang terjadi saat ini tidaklah demikian. Apa yang
berlangsung dalam tata ekonomi dunia saat ini adalah ekspolitasi dan dominasi
negara-negara imperialis dan
perusahaan-perusahaan serta perbankan multinasional terhadap negara-negara
miskin dan kelas-kelas buruh. Sehingga, menurut keduanya, istilah yang paling
pas dipakai untuk melukiskan realitas tata ekonomi dunia saat ini bukanlah
globalisasi, melainkan imperialisme (Petras & Veltmeyer, 2001: 29-30).
Perspektif Ketiga
Perspektif ini
menolak anggapan kebaruan gejala globalisasi. Globalisasi sering dianggap proses baru yang tidak memiliki preseden dalam
sejarah. Perkembangan baru ini sering secara umum dianggap muncul setelah
Perang Dunia II, khususnya pada tahun 1960-an (Holton, 1998: 21; Hirst &
Thompson, 1996, 1999: 19). Robert Gilpin dalam studi terbarunya mengakui adanya
kecenderungan pengglobalan dunia saat
ini, namun ia menegaskan bahwa banyak aspek penting dari globalisasi bukanlah perkembangan
baru. Mengutip Krugmann, Gilpin mencatat
bahwa ekonomi dunia pada tahun 1990-an terilihat tidak lebih
terintegrasi dibandingkan masa sebelum pecahnya Perang Dunia I. Gilpin juga
mencatat bahwa globalisasi tenaga kerja jauh lebih besar sebelum PD I dan
migrasi internasional justru mengalami
penurunan cukup tajam setelah tahun 1918. Karenanya Gilpin mengingatkan
pembacanya dalam mengikuti argumen-argumen mereka yang ia sebut sebagai hyper-globalizers
(Steger, 2002: 22-3).
Kesan serupa juga nampak dalam pandangan Hirst dan
Thompson. Kedua tokoh ini menegaskan bahwa tata ekonomi yang sangat mendunia
saat ini bukanlah sesuatu yang tanpa preseden, melainkan suatu konjungtur dari
tata ekonomi internasional yang telah mulai ada sejak ekonomi berbasis teknologi
industri modern mulai merambah ke seluruh dunia sejak tahun 1860-an. Dalam
beberapa hal, menurut Hirst dan Thompson (1996, 1999: 2), ekonomi internasional
saat ini lebih tidak terbuka dan terintegrasi dibandingkan dengan
ekonomi yang ada pada tahun 1870 hingga 1914. Ekonomi internasional, dilihat
dari berbagai segi, lebih terbuka pada masa sebelum tahun 1914 dari pada masa
sesudahnya, termasuk masa akhir tahun 1970-an dan seterusnya. Arus perdagangan
dan arus modal internasion`l, baik antara sesama negara-negara industri atau
negara industri dengan koloni-koloninya
sebelum PD I, jauh lebih menonjol dibandingkan terhadap PDB sekarang.
Dan jika pada semua ini ditambahkan migrasi internasional, maka jelaslah bahwa
pada awal abad ini ekonomi internasional sudah sangat berkembang, terrbuka dan
terintegrasi. Karena itu, ekonomi internasional zaman sekarang bukanlah sesuatu
yang tanpa preseden (ibid., hal. 32).
Senafas dengan argumen ini, Petras dan Veltmeyer (2001:
35) mengargumentasikan watak siklis globalisasi. Globalisasi adalah proses yang
berkembang secara siklikal dalam sejarah. Tahap awal globalisasi muncul
didorong oleh penaklukan penjajahan negara-negara kapitalis merkantilis pada
abad ke-15 hingga 18. Namun, berkembangnya
proteksionisme dan industri nasional (pada akhir abad ke-18 dan
pertengahan abad ke-19) yang merangsang mekarnya industri-industri domestik
telah mendorong penurunan relatif arus global sebagai sentral akumulasi. Pada
akhir abad ke-19, dorongan terakhir ke arah perkembangan berbasis eksternal
mulai bangkit kembali, terkecuali Jerman dan AS. Dua negara yang disebut
terakhir memadukan proteksi ketat atas munculnya industri dan ekspansi selektif
imperialisme. Globalisasi yang melibatkan doktrin laissez-faire berakhir
seiring dengan—dan yang mendorong—terjadinya PD I. Terdapat masa singkat
kebangkitan proses ini antara tahun 1920-an hingga terjadinya depresi
dunia pada tahun 1929. Bangkitnya
kembali globalisasi atau arus kapital internasional dan perdagangan barang antara tahun 1945 hingga 1979 (?) terjadi secara bertahap dan
hanya mengalami akselerasi pada
penghujung tahun 1980-an. Hingga saat ini, menurut Petras dan Veltmeyer,
perdagangan global tidak bertanggung jawab atas sebagian besar barang dan jasa
yang menyumbang GNP, bahkan pada masa pertulbuhan cepatnya pada tahun-tahun
terakahir ini.
Globalisasi
sebagai Proses Ekonomi
Globalisasi dari perspektif ekonomi digambarkan sebagai
“semakin meningkatnya pertautan ekonomi nasional melalui perdangan, arus
finansial dan investasi asing (FDI) oleh perusahaan-perusahaan multinasional”
(Gilpin, dikutip dari Steger, 2002: 24).
Karena itu, meluasnya aktivitas-aktivitas ekonomi dipandang sebagai
aspek utama globalisasi dan merupakan mesin pendorong di balik laju
perkembangannya.
Para sarjana yang menggunakan perspektif ekonomi ini
memandang globalisasi sebagai gejala nyata yang menandai transformasi dalam
hubungan-hubungan dunia. Penegasan mereka memuncak pada anggapan bahwa
perubahan quantum dalam hubungan-hubungan manusia mengambil tempat
tatkala arus sejumlah besar perdagangan, investasi dan teknologi melintasi
batas nasional telah berkembang dari setetes menjadi luapan banjir. Mereka
mengusulkan studi globalisasi digeser ke pusat riset sosial ilmiah. Menurut
pandangan ini, tugas utama riset ilmiah adalah menyingkap secara lebih dekat
perkembangan struktur pasar ekonomi global dan institusi-institusi utamanya.
Studi globalisasi ekonomi biasanya berjangkar di tengah
narasi sejarah yang melacak kemunculan gradual ekonomi baru pasca perang hingga
ke konferensi Bretton Woods tahun 1944. Di bawah kepemimpinan AS dan Inggris,
kekuatan-kekuatan utama ekonomi Barat memutuskan untuk membalik kebijakan
proteksionis pada masa perang
(1914-1939) menuju perluasan perdagangan internasional. Capaian utama
sistem Bretton Woods mencakup liberalisasi terbatas perdagangan dan pembentukan
aturan-aturan yang mengikat aktivitas-aktivitas ekonomi internasioanal. Bretton
Woods sepakat menciptakan sistem pertukaran mata uang stabil di mana nilai mata
uang masing-masing negara ditetapkan berdasar nilai emas tetap dalam dollar AS.
Dalam batas-batas yang dibentangkan ini, setiap negara bebas mengontrol
agenda-agenda ekonomi mereka sendiri, termasuk implementasi ekstensif kebijakan
kesejahteraan sosial (social welfare). Bretton Woods juga menciptakan
fondasi institusional dibentuknya tiga organisasi ekonomi internasional baru.
IMF dibentuk untuk mengatur sistem moneter internasional. World Bank pada
awalnya dirancang untuk memberi pinjaman pembangunan kembali negara-negara
Eropa pasca perang. Mulai tahun 1950-an, tujuannya diperluas untuk
mendanai proyek-proyek industrialisasi
di berbagai negara dunia ketiga. Pada tahun 1947, GATT menjadi organisasi
perdagangan global yang diberi tanggung jawab membuat dan menyokong perjanjian-perjanjian
dagang multilateral. Pada tahun 1994,
WTO dibentuk sebagai pengganti GATT. Sebagaimana akan ditunjukkan pada uraian
berikutnya, baik skema filosofis maupun kebijakan neoliberal dalam badan-badan baru
internasional ini menjadi pangkal tolak sengitnya kontroversi ideologis seputar
efek globalisasi ekonomi pada akhir tahun 1890-an.
Semasa beroperasinya selama tiga dekade, sistem Bretton
Woods menaruh saham besar terhadap terbentuknya apa yang oleh sebagian pengamat
disebut sebagai “masa emas kapitalisme terkendali” (golden age of controlled
capitalism). Menurut skema sistem ini, mekanisme kontrol negara atas
pergerakan kapital internasional memungkinkan terpenuhinya padat kerja (full
employment) dan meluasnya kesejahteraan. Meningkatnya upah dan layanan
sosial memungkinkan dilestarikannya knmpromi tentatif klas di negara-negara
kaya di belahan bumi Utara.
Kebanyakan yang menekankan aspek ekonomi globalisasi melacak percepatan kecenderungan integrasi
dunia dalam ekonomi global pada saat tumbangnya sistem Bretton Woods di awal
tahun 1970-an. Dalam merespon perubahan-perubahan besar dalam ekonomi dunia
yang meruntuhkan daya saing industri berbasis AS, Presiden Richard Nixon pada
tahun 1971 memutuskan untuk melepas sistem nilai tukar tetap berdasar emas.
Perpaduan antara ide-ide politik baru dan perkembangan-perkembangan
ekonomi—membumbungnya inflasi, merosotnya pertumbuhan ekonomi, membengkaknya
pengangguran, defisit sektor publik, dua kali krisis minyak dalam satu
dekade—mendorong kemenangan spektakuler partai-partai konservatif dalam pemilu
di AS dan Inggris. Partai-partai ini mendesakkan gerak neoliberal menuju
ekspansi pasar internasional, dinamika yang didukung oleh deregulasi sistem
finansial domestik, pelepasan bertahap kontrol kapital dan meningkat tajamnya
transaksi-transaksi finansial global.
Selama tahun 1980 dan 1990-an, upaya Inggris-Amerika
membangun pasar global tunggal lebih jauh disokong oleh perjanjian menyeluruh
liberalisasi perdagangan yang mendongkrak arus sumber-sumber daya ekonomi yang
menerjang batas-batas nasional. Terbitnya paradigma neoliberal mendapatkan
legitimasinya lebih jauh oleh tumbangnya sistem ekonomi komando di Eropa Timur
pada tahun 1989-1991. Membuyarkan konsensus prinsip-prinsip ekonomi Keynesian
pasca perang, teori-teori pasar bebas yang dipelopori oleh Friedrich Hayek dan
Milton Friedman tampil memimpin, yang menelanjangi welfare-state, pemangkasan peran-peran pemerintah dan
deregulasi ekonomi. Penekanan kuat pada langkah-langkah monetaris untuk menekan
laju inflasi mendorong penghapusan skema pada kerja ekonomi Keynesian dalam
rangka membangun pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel. Pergeseran dramatis
dari ekonomi yang dikuasai negara ke ekonomi yang dikendalikan pasar berbareng
dengan penemuan-penemuan teknologi. Nilai perdangan dunia meningkat tajam dari
57 juta dollar AS pada tahun 1947 ke level menakjubkan yakni 6 triliun dollar AS pada tahun 1990
(Steger, 2000: 24-7).
Paling tidak, terdapat dua aspek penting globalisasi
ekonomi, yakni perubahan watak proses produksi dan internasionalisasi transaksi
finansial. Sebagian analis menganggap
adalah munculnya sistem finansial transnasional yang merupakan ciri
utama ekonomi dunia dewasa ini. Proses globalisasi finansial ini mengalami
percepatan secara dramatis pada akhir tahun 1980-an ketika pasar modal dan
sekuritas di Eropa dan AS dideregulasikan. Liberalisasi perdagangan finansial
ini memungkinkan pesatnya mobilitas di antara segmen-segmen industri finansial,
dengan restriksi yang lebih sedikit dan tatapan peluang investasi dalam skala
global. Lebih jauh, kemajuan dalam pemrosesan data dan teknologi informasi
menyumbang pada ledakan pertumbuhan nilai-nilai finansial yang diperdagangkan.
Ditopang oleh teknologi komunikasi, para pemburu laba dan spekulan global
menangguk hasil spektakuler dengan cara mengambil keuntungan dari lemahnya
sistem regulasi perbankan dan keuangan di pasar-pasar negara berkembang. Pada akhir tahun 1990-an,
jumlah yang berkisar hampir dua triliun dollar AS diperdagangkan di pasar mata
uang global (ibid., hal. 27).
Sementara penciptaan pasar finansial mewakili aspek
krusial globalisasi ekonomi, perkembangan penting lainnya pada tiga dekade
terakhir meliputi perubahan watak dalam produksi global. Perusahaan-perusahaan
transnasional (TNCs) mengonsolidasikan operasi globalnya dalam pasar kerja
dunia yang semakin dideregulasikan. Ketersediaan buruh murah, sumber-sumber
daya dan syarat-syarat produksi menguntungkan yang ada di dunia ketiga
mempertinggi mobilitas dan keuntungan TNCs.
Meliputi 70 persen perdagangan dunia, badan-badan usaha raksasa ini
memperluas jangkauan globalnya ketika
investasi asing mereka meningkat kurang lebih 15 persen setahun selama
periode 1990-an. Kemampuan perusahaan-perusahaan ini untuk menyebar proses manufacturing
di berbagai lokasi bumi yang berbeda-beda sering dicatat sebagai tonggak
globalisasi ekonomi. Mata rantai komoditas global seperti ini memungkinkan
perusahaan-perusahaan besar seperti Nike dan General Motors untuk
memproduksi, mendistribusikan dan menjual produk-produk mereka dalam skala
global. Nike, misalnya, mensub-kontrakkan 100 persen produksi barangnya kepada
75.000 pekerja di Cina, Korsel, Malaysia dan Thailand.
Sistem produksi transnasional memperbesar daya kapitalisme
global untuk meningkatkan kemampuan TNCs dalam menepis pengaruh politis
unit-unit perdagangan berbasis nasional dan serikat-serikat pekerja dalam
proses bargaining perupahan
kolektif.
Globalisasi
sebagai Proses Politik
Sebagaimana ditunjukkan kasus TNCs, perspektif ekonomi
dalam globalisasi hampir tidak bisa didiskusikan lepas dari analisis
proses-proses politik. Perdebatan terbesar dalam globalisasi politik adalah
berkenaan dengan nasib negara-bangsa modern. Beberapa pertanyaan awal yang
perlu diajukan adalah; pertama, sebab-sebab politik apakah ayang mendorong arus
massif kapital, uang dan teknologi melintasi batas-batas teritorial? Kedua,
apakah arus ini merupakan tantangan serius terhadap keberdayaan nation-state?
Dan ketiga, bagaimanakah dampak munculnya organisasi-organisasi intergovernmental
terhadap konsep kedaulatan negara dan bagaimana prospek global
governance? Dalam merumuskan jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas,
beberapa sarjana terbagai dalam empat kelompok pandangan.
Pertama, mereka yang menganggap bahwa
globalisasi merupakan proses yang secara intrinsik berkaitan dengan ekspansi
pasar. Secara lebih khusus, kemajuan pesat dalam teknologi komputer dan sistem
komunikasi seperti jaringan lintas dunia (world wide web; www)
dipandang sebagai kekuatan utama yang bertanggung jawab atas terciptanya pasar
global tunggal. Menurut pandangan ini, politik nyaris tanpa daya di hadapan
truk besar teknoekonomi yang tak bisa dihalau dan dilawan yang akan melabrak
upaya pemerintah mengintroduksi kembali kebijakan dan aturan-aturan yang
restriktif. Ekonomi di angggap memiliki logika dalam (inner logic) yang terpisah dan superior terhadap politik.
Menurut pandangan ini, kombinasi kepentingan diri ekonomi (economic
self-interest) dan inovasi teknologis inilah yang bertanggung jawab
menghantarkan fase baru dalam sejarah dunia di mana peran pemerintah tereduksi
di hadapan kekuatan pasar bebas. Negara, menurut eksponen pandangan ini, akan
direduksi menjadi “superkonduktor kapitalisme global” (Steger, 2002: 29).
Salah satu representasi kalangan ini adalah Kenichi Ohmae.
Perancang strategi bisnis Jepang ini menyatakan bahwa nation-state menjadi
tak lagi relevan dalam perkembangan glnbal. Ohmae memproyeksikan keniscayaan
munculnya “dunia tanpa tapal batas” (the borderless world) berkat daya
dorong kapitalisme. Dari perspektif ekonomi, Ohmae (1996: 42) menandaskan bahwa
nation-state telah kehilangan perannya sebagai unit partispasi yang
berarti dalam perekonomian global. Sebagaimana pembagian wilayah tak lagi
relevan bagi masyarakat manusia, negara tak lagi mampu mendeterminasi arah
kehidupan sosial dalam batas-batas wilayah mereka. Negara, oleh pendisiplinan
pasar global, semakin kerdil kemampuannya dalam mengontrol nilai tukar dan
memproteksi mata uangnya. Dalam jangka panjang, proses-proses globalisasi
politik akan mendorong hancurnya teritori sebagai kerangka yang memiliki makna
untuk memahami perubahan-perubahan sosial dan politik. Tertib politik masa
depan, menurut Ohmae (1990: xi-ii), akan menjadi suatu ekonomi regional yang
saling terhubung (interlinked) dengan hampir semua jaringan global yang
bekerja menurut prinsip pasar bebas.
Kelompok sarjana kedua menampik anggapan bahwa
perubaha-perubahan ekonomi skala besar semata terjadi dalam masyarakat sebagai
sesuatu yang alamiah seperti, misalnya, gempa bumi atau angin topan. Melainkan,
mereka menyoroti peran sentral politik—khususnya mobilisasi kekuasaan politik
yang sukses—dalam menebarkan jaring-jaring diseminasi globalisasi. Pandangan ini berpijak dari filosofi yang menekankan watak keagenan aktif
manusia. Jika bentuk globalisasi ekonomi ditentukan oleh politik, maka
preferensi politik yang berbeda akan menghasilkan kondisi sosial yang berbeda.
Menurut eksponen kelompok ini, akar-akar ekspansi massif ekonomi global tidak
terletak baik pada “hukum alamiah pasar” maupun perkembangan teknologi
komputer, melainkan pada keputusan politik yang dibuat pemerintah untuk
mengangkat restriksi internasional terhadap kapital. Begitu keputusan politik
diimplementasikan pada tahun 1980-an, inovasi-inovasi teknologi hadir secara
otomatis. Negara dan teritori, menurut pandangan ini, tetap sesuatu yang
penting—bahkan dalam konteks global (Steger, 2002: 30).
Perspektif ketiga memandang globalisasi sebagai sintesa
perpaduan faktor-faktor politik dan teknologi. Globalisasi adalah hasil dari
kemajuan teknologis dan kebijakan pemerintah dalam meredukasi limitas-limitasi
dalam sistem pertukaran internasional. “Globalization’, kata salah seorang
penganut paham ini, is the child of both technology and policy” (Nye
Jr., 2002: 91). Sementara itu Jhon Gray,
sebagaimana dikutip Steger (2002: 31), mengemukakan bahwa globalisasi adalah
proses panjang yang dikendalikan oleh teknologi, yang bentuk kontemporernya
ditentukan secara politik oleh negara-negara yang paling kuat di dunia.
Perspektif
keempat menghampiri globalisasi politik terutama dari perspektif global
governance. Representasi kelompok ini menganalisis berbagai peran
respon-respon nasional dan multilateral terhadap fragmentasi sistem
ekonomi-politik dan arus transnasional yang menerjang melintasi batas-batas
nasional. Ilmuwan politik seperti David Held dan Richard Falk dalam
tulisan-tulisan mereka mengartikulasikan perlunya global governance
sebagai konsekuensi logis proses globalisasi. Keduanya menggambarkan
globalisasi sebagai telah mengikis pemerintahan nasional, karena itu juga
mereduksi relevansi nation-state. Menurut Held, baik sistem lama
kedaulatan nation-state Westphalia maupun sistem global pasca perang
yang berpusat pada PBB tidak menawarkan solusi yang memuaskan terhadap
berjibunnya tantangan globalisasi politik. Alih-alih, Held menawarkan munculnya
bentuk penadbiran demokratis multilapis (a multilayered form of democratic
governance) yang berpijak pada cita-cita kosmopolitan Barat, pengaturan
hukum internasional dan jaringan luas yang menghubungkan antara berbagai
institusi kepemerintahan dan non-kepemerintahan. Held menyebut adanya
kecenderungan inheren dalam proses globalisasi yang akan memperkuat
lembaga-lembaga supra nasional dan munculnya masyarakat sipil internasional.
Dia meramalkan bahwa hak-hak demokratis pada akhirnya akan dilepaskan dari
kaitan sempitnya dengan unit-unit teritorial tertentu (Steger, 200: 32-3).
Senafas dengan
Held, Falk (1995: 36) juga mengargumentasikan bahwa globalisasi politik akan
mendorong kemunculan kekuatan sosial demokratis transnasional yang berjangkar
dalam civil society. Falk membedakan “globalisasi dari bawah” (globalization-from
below) yang dipimpin rakyat demokratis dari “globalisasi dari atas” (globalization-from
above) yang dikendalikan oleh pasar dan perusahaan-perusahaan besar. Falk
menganalisis kapasitas aktor-aktor politik dalam menentang dominasi globalisasi
neoliberal dalam serangkaian wilayah-wilayah kunci yang mencakup; peran
institusi dan rezim internasional, pengaruh media, perubahan watak kewargaan,
dan reorientasi aktivitas negara. Falk memberikan tekanan kuat terhadap
kapasitas negara dalam mengimplementasikan agenda-agenda kosmopolitan. Sejumlah
kritikus penghampiran kedua tokoh ini memustahilkan ide bahwa globalisasi politik akan memicu ke arah
perkembangan demokrasi kosmopolitan.
Globalisasi sebagai Proses Kultural
Telaah tentang
globalisasi kultural meliputi wilayah isu; akahkah globalisasi akan mendorong
keseragaman budaya atau malah justru membiakkan keragaman dan diversitas?
Apakah globalisasi akan membuat orang menjadi semakin sama atau tambah berbeda?
Kebanyakan pengakaji mendahului jawaban mereka atas pertanyaan ini dengan
analisis umum mengenai relasi globalisasi dan perubahan kebudayaan kontemporer.
Tomlinson (dalam Steger, 2002: 34) misalnya mendefinisikan globalisasi kultural
sebagai “memadatnya jaringan kompleks interkoneksi kultural dan
kesalingtergantungan yang menjadi ciri kehidupan sosial modern”. Menurut
Tomlinson, arus kultural global dipandu oleh perusahaan-perusahaan media
internasional yang menggunakan teknologi komunikasi baru untuk membentuk
masyarakat dan identitas. Sebagaimana citra dan gagasan dapat dengan mudah dan
cepat tersebar dari satu tempat ke tempat lain, teknologi ini akan berdampak pada cara orang mengalami
peristiwa keseharian mereka. Budaya tak lagi terikat pada lokalitas yang tetap
seperti kota atau negara, melainkan menyebar dalam jaringan-jaringan global.
Interkonektivitas ini didesakkan oleh globalisasi kultural yang menabrak
nilai-nilai dan identitas parokial, sebab ia akan menumbangkan pertauatan yang
menghubungkan antara kebudayaan dan kepastian lokasi (fixity of location).
Pendek kata, globalisasi akan mendorong
munculnya kebudayaan global yang dipimpin oleh sistem nilai Anglo-Amerika. Atas dasar ini, beberapa orang memandang
globalisasi sebagai proyek Amerikanisasi, yakni terjadinya proses imperialisme
kebudayaan Amerika. : Ohmae
(1996: 15) menyebutnya sebagai California-ization of taste, sementara
sosiolog Amerika, George Ritzer (1993), mengistilahkannya dengan McDonaldization of Society.
Benjamin Barber menunjuk McWorld sebagai kapitalisme konsumen tanpa sukma (a
soulless consumer capitalism) yang secara cepat merombak penduduk sejagat
dalam gemulai tradisi pasar yang seragam.
Sementara, itu kalangan lain mendgaskan bahwa globalisasi
tidaklah berarti homogenisasi, tetapi munculnya satu bentuk baru keragaman
kultural. Roland Robertson misalnya, membuktikan bahwa arus kultural global
seringkali justru memunculkan kembali kantung-kantung kebudayaan lokal.
Hasilnya bukanlah homogenisasi melainkan glokalisasi, yakni kompleks interaksi
global-lokal yang dicirikan oleh saling pinjam kebudayaan. Interaksi ini akan
berujung pada perpaduan kompleks antara dorongan-dorongan ke arah homogenisasi
dan heterogenisasi. Momentum ini sering juga disebut sebagai hibridisasi atau
kreolisasi yang tercermin dalam musik, film, fashion, bahasa dan ekspresi-ekspresi
simbolik lainnya. Bukannya terbenam ke dalam pusaran konsumerisme Barat,
keragaman dan partikularitas lokal berevolusi ke dalam konstelasi dan wacana
kebudayaan baru (Steger, 2002: 36-7; Holton, 1998: 187-195).
Perdebatan tentang globalisasi kultural ini pada akhirnya
akan berujung kepada kontroversi panjang seputar apakah abad kita sekarang ini
harus dipahami dalam kerangka perluasan modernitas ataukah ia merupakan kondisi
baru postmodern yang dicirikan oleh tanggalnya asumsi-asumsi mapan tentang
identitas dan pengetahuan? Inilah pertanyaan besar yang melahirkan banyak
madzhab dalam ilmu sosial.
Arsitektur
Ideologi Neoliberalisme
Neoliberalisme
yang mulai dilaunching decade 70-an dirumuskan dan dipropagandakan sejak
dekade 1940-an oleh Friedrich Von Hayek dan muridnya Milton Friedman dari
Universitas Chicago. Tesis-tesis neoliberalisme mencakup: keutamaan pembangunan
ekonomi; pentingnya perdagangan bebas untuk merangsang pertumbuhan; pasar bebas
tanpa restriksi; pilihan individual; pemangkasan regulasi pemerintah; dan
pembelaan atas model pembangunan sosial evolusioner yang berjangkar dari
pengalaman Barat yang dapat diterapkan ke seluruh dunia (Steger, 2002: 9). Dalam
sejarah pemikiran ekonomi, neoliberalisme berakar pada ekonomi klasik yang
dikonseptualisasikan oleh Adam Smith (1723-1790), David Ricardo (1772-1823) dan
Herbert Spencer (1820-1903). Merekalah yang kemudian mendapat laqob
intelektual “Kanan Baru” (New Right) yang, meminjam istilah Steger, pouring
old philosophical wine into new ideological bottles (menuang anggur
filsafat lama dalam botol ideologis baru).
Artinya, neoliberalisme merupakan sintesa lanjut dari konstruksi ekonomi
garis liberal yang merupakan sintesa ekonomi klasik dan Keynesian (neoklasik).
Rezim
yang pertama kali melaunching neoliberalisme dalam praksis kebijakan publik
Margareth Tatcher (PM Inggris/1979) dan
Ronald Reagan (AS), Helmut Kohl (Jerman). Dengan dukungan dari ketiga negara
yang berpengaruh besar ini, neoliberalisme menyebar ke seluruh dunia melalui
berbagai lembaga internasional, terutama yang bobot pengaruh keanggotaannya
ditentukan oleh besarnya sumbangan pendanaannya, seperti IMF dan World Bank
(Mas’oed, 2002: 6).
Sebagaimana
telah dilansir, penyangga utama ajaran neoliberal adalah Anglo-Amerika. Dua
negara ini telah mengambil prakarsa penting dalam menguniversalkan
doktrin-doktrin neoliberalisme ke seluruh dunia. Atas dasar asumsi bahwa proses
globalisasi terjadi tidak semata berkat perkembangan teknologi maupun dorongan
intrinsik pasar melainkan lebih karena faktor politik, maka dorongan politik
apakah yang menyebabkan kedua negara ini mengambil kebijakan hiper-liberalisasi
dan mencampakkan paradigma ekonomi Keyneysian? Sekali lagi, dengan merujuk
Mas’oed (2002: 19), akan diketahui bahwa liberalisasi pasar finansial yang
digalakkan besar-besar sejak tahun 1970-an dapat berlangsung sebab ia sesuai
dengan kepentingan AS sebagai pemain utama dalam sistem kapitalis dunia. Sejarahnya
adalah demikian. Bahwa pada akhir 1960-an, AS mengalami peningkatan yang luar
biasa dalam defisit anggaran belanja maupun neraca pembayarannya. Hal ini
berdampak pada merosotnya status hegemonik AS dalam banyak bidang hubungan
internasional. Untuk merebut kembali hegemoninya, AS pada masa Presiden Nixon
melakukan berbagai tindakan. Salah satunya adalah memperluas pasar finansial
dengan cara penghapusan kendali atas transaksi devisa.
Mengingat
bahwa sejak lama pasar finansial AS jauh lebih menggiurkan para pedagang
uang dibanding bursa pasar di Eropa
maupun Jepang yang penuh regulasi, maka bisa dimengerti kalau kebijakan baru AS
ini mengundang banyak investor asing masuk ke bursa pasar mereka. Dengan latar
seperti ini, akan mudah disimpulkan bahwa
undangan AS kepada para investor asing
itu sebenarnya dalam rangka membiaxai defisit anggaran belanja dan
neraca pembayarannya. Karena sistem Bretton Woods tidak memungkinkan pelonggaran kendali atas
transaksi devisa, maka bisa dimengerti kalau AS pada tahun 1971 segera
mencampakkan komitmen Bretton Woods yang
ia buat sendiri seperempat abad sebelumnya. Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange
rate) produk Konferensi Bretton Woods yang berlaku sejak 1944 mulai
terdesak mundur pada tahun 1971,
terlebih ketika pada tahun 1973 banyak negara maju secara gencar mulai mengadopsi sistem nilai
tukar mengambang (floating exchange rate).
Salah
satu serangan intelektual Kanan Baru terhadap fondasi manajemen makroekonomi
Keyneysian adalah bahwa sistem ini dianggap telah mendistorsi mekanisme
bekerjanya pasar secara alamiah. Sistem yang mengundang banyak campur tangan
negara dalam ekonomi ini dituduh telah menghasilkan membumbungnya angka inflasi
di seluruh dunia pada tahun 1970-an. Bagi para intelektual Kanan Baru, adalah
inflasi, bukan pengangguran, yang merupakan problem ekonomi kontemporer yang
paling mendesak dan mengkhawatirkan (Deane, 1987: 187). Di samping adanya
faktor-faktor objektif ekonomi yakni,
membumbungnya inflasi, merosotnya pertumbuhan ekonomi, membengkaknya
pengangguran, defisit sektor publik dan terjadinya krisis minyak—kemenangan
ide-ide neoliberal terutama dimungkinkan berkat adanya dukungan politik negara
Anglo-Amerika. Dari perspektif ini, ide-ide neoliberal yang lebih mengagungkan
pasar dari negara mengidap semacam
paradoks, problem yang telah lama ditengarai Karl Polanyi. Di satu sisi mereka
sangat mempercayai keunggulan pasar dari negara, namun di sisi lain, untuk
menghidupkan kembali ide dan implementasi gagasan laissez faire, mereka
sangat membutuhkan peranan aktif negara.
Artinya,
neoliberalisme yang menggempur manajemen demand Keyneysian, pada sisi lainnya juga membutuhkan negara
seperti dalam kebijakan moneter dan suku bunga sebagai respon terhadap
fluktuasi nilai tukar dan untuk menarik lebih banyak investasi. Ada dua gejala
yang bisa dijadikan bukti betapa besarnya peranan negara dalam mendorong proses
liberalisasi ini (Mas’oed, 2002: 21-3).
Pertama
adalah pembentukan pasar mata uang dollar di Eropa. Pada
tahun 1960-an, Inggris dan AS mendukung munculnya pasar Eurodollar di
London. Pasar ini memberikan lingkungan offshore yang bebas dari ikatan
pemerintah nasional bagi pertukaran aset finansial yang didenominasi dalam mata
uang asing, terutama dollar. Di masa ketika sebagian besar negara di dunia
masih menerapkan pengendalian ketat terhadap arus perpindahan kapital,
penciptaan pasar finansial Eurodollar merupakan pasar bebas bagi para
bankir swasta. Dan pasar ini jelas bertentangan dengan ciri pokok
ekonomi-politik dunia sejak berakhirnya Perang Dunia II, yaitu sistem hubungan
finansial yang terkendali ketat. Dukungan pemerintah Inggris terhadap pasar Eurodollar
sangat penting karena ia memberikan basis fisik bagi pasar itu. Salah satu
alasan Inggris mengijinkan beroperasinya pasar bebas dari regulasi adalah
keinginan otoritas perbankan negara itu untuk mempertahankan peran London
sebagai pusat finansial internasional walaupun ekonomi negara itu tidak lagi
mendominasi dunia.
Mengapa
Inggris membiarkan pasar itu menggunakan mata uang asing dan bukannya
poundsterling? Kemungkinan adalah karena Inggris ingin tetap mengendalikannya
dalam transaksi internasional demi mempertahankan neraca pembayarannya yang
melemah pada masa 1950 dan 1960-an. Dengan mengijinkan para bankir beroperasi
dalam mata uang asing, terutama dollar, internasionalisme London bisa
dipertahankan tanpa menganggu neraca pembayaran Inggris. Dukungan AS juga
penting, sebab bank-bank dan perusahaan-perusahaan AS masih dominan dalam pasar finansial itu.
Walaupun cukup punya kekuasaan, pemerintah AS tidak mencegah berbagai bank dan
perusahaan itu untuk beroperasi dalam pasar Eurodollar. Mengapa? Ada dua
alasan. Pertama, sebagai kompensasi dari ketatnya pengendalian dalam
negeri di tahun 1960-an dan kendala akibat undang-undang perbankan yang
diciptakan tahun 1930-an, bank-bank dan perusahaan multinasional (PMN) AS
menuntut kebebasan untuk beroperasi di luar negeri. Kedua, para pembuat
kebijakan AS menyadari bahwa pasar Eurodollar yang bebas dari regulasi
bisa meningkatkan daya tarik dollar bagi investor swasta dan bank-bank sentral
luar negeri pada saat AS mengalami masalah neraca pembayaran. Dengan kata lain,
dukungan terhadap Eurodollar merupakan pengakuan atas kenyataan bahwa
tatanan internasional yang lebih liberal bisa membantu pembiayaan defisit AS
yang semakin meningkat dan
mempertahankan posisi sentralnya dalam sektor finansial di dunia.
Gejala
kedua adalah demam liberalisasi yang melanda Eropa dan AS yang semakin
mencampakkan sistem Bretton Woods. AS dan Inggris seolah saling berlomba dalam
menerapkan kebijakan liberalisasi. AS menghapuskan kendali atas perpindahan
kapital pada tahun 1974, sedangkan Inggris tahun 1979. AS menderegulasi New
York Stock Exchange tahun 1975
sementara Inggris melakukan liberalisasi
dan deregulasi London Stock Exchange
pada tahun 1986. Tujuan Inggris adalah meningkatkan daya tarik London sebagai
pusat finansial internasional sehingga tidak kalah saing dari New York. Tahun
1980-an, tindakan AS dan Inggris ini diikuti oleh liberalisasi yang dilakukan
oleh semua negara industri maju. Akibatnya, sistem Bretton Woods tergeletak
kehabisan tenaga karena ditinggalkan oleh negara-negara yang telah sekian tahun menjadi pendukung
setianya. Negara-negara itu beralasan bahwa, kalau tidak terlibat aktif dalam trend
liberalisasi, mereka khawatir banyak kapital yang footloose akan
hengkang lari ke New York atau London yang telah menjadi pusat finansial yang
sepenuhnya liberal.
Dua
gejala ini telah menjadi cukup bukti bahwa betapa faktor politik, yakni
keterlibatan aktif dua negara kunci Anglo-Amerika, menjadi determinan yang
mempengaruhi perubahan-perubahan besar dalam tata ekonomi-politik dunia. Faktor
politik ini semakin jelas terlihat ketika negara-negara besar memanipulasi
lembaga-lembaga internasional produk Konferensi Bretton Woods dan memberi
mereka fungsi dan peranan baru. Yang diubah bukan hanya susunan personalia
lembaga-lembaga itu, melainkan juga ideologi, misi dan mandatnya. Misalnya, IMF
yang semula hanya berfungsi sebag`i clearing house bagi bank-bank
sentral nasional dan penjaga stabilitas moneter negara-negara anggotanya, sejak
saat itu diberi mandat baru xang lebih luas dengan sarana yang lebih efektif
sehingga bisa bertindak sebagai polisi, akuntan, selain sebagai bankir untuk
negara-negara anggotanya.
Paparan
di atas semakin meneguhkan inti argumen yang ingin ditegaskan skripsi ini,
yakni bahwa upaya untuk menyimak doktrin-doktrin neoliberal tidak bisa
diletakkan semata dari perspektif
analitis, tetapi lebih harus dalam kerangka ideologis. Apakah inti
ideologi neoliberalisme? Susan George (2000, dikutip dari Mas’oed, 2002: 5)
merumuskan butir-butir doktrin neoliberal yang harus diadopsi sebagai kebijakan
negara-negara (berkembang) sebagai berikut:
1.
Pasar harus diberi kebebasan untuk
membuat keputusan sosial dan politik yang
penting.
2.
Negara harus secara sukarela
mengurangi peranannya dalam ekonomi
3. Perusahaan harus diberi kebebasan total
4.
Serikat buruh harus diberangus
5.
Proteksi sosial bagi warga negara
harus dikurangi.
Sementara pada level internasional,
neoliberalisme mengutamakan tiga pendekatan pokok:
1.
perdagangan bebas untuk barang dan
jasa.
2.
kebebasan sirkulasi kapital.
3.
kebebasan investasi.
Pada tingkat operasional, skema
ideologis ini dijabarkan dalam sperangkat paket kebijakan ekonomi yang harus
diterapkan khususnya oleh negara-negara berkembang. Butir-butir kebijakan
neoliberal ini dicetuskan sejak tahun 1990-an dan sering disebut sebagai “Washington
Consensus”. Ia terdiri dari sepuluh poin program yang pada mulanya
dirancang dan disusun oleh Jhon Williamson, bekas penasehat IMF tahun 1970-an.
Sepuluh program ini menjadi paket kebijakan yang harus dilaksanakan oleh
negara-negara Dunia Ketiga dalam program reformasi ekonominya (Steger, 2002:
63-4):
1. Jaminan pendisiplinan fiskal dan
pengekangan defisit anggaran.
2.
Pengurangan belanja-belanja publik,
khususnya militer dan administrasi publik
3.
Reformasi pajak, untuk menciptakan
sistem dengan basis luas dan pelaksanaan efektif.
4.
Liberalisasi finansial, dengan
tingkat suku bunga yang ditentukan pasar
5.
Nilai tukar bersaing, untuk menyokong
pertumbuhan berbasis ekspor
6.
Liberalisasi perdagangan beserta
penghapusan ijin impor dan penurunan tarif.
7.
Mendorong investasi asing
8.
Privatisasi badan-badan usaha milik
negara demi efektivitas manajemen dan perbaikan performa
9.
Deregulasi ekonomi
10. Perlindungan terhadap hak-hak milik.
Dengan landasan normatif ini, dunia didorong menuju proses
pengintegrasian global. Mekanisme apa yang dipakai menuju proses ini dan
bagaimana nasib negara-bangsa dalam konstelasi wacana demikian? Paparan berikut
akan mencoba menjawab pertanyaan itu.
Dalam risalah yang berjudul The Diminished Nation-State:
A Study in the Loss of Economic Power, Vincent Cable melukiskan gencarnya
arus mondial yang mendesakkan terbentuknya proses pengintegrasian global. Proses ini digambarkan Cable semakin
menyusutkan peran nation-state sebagai kekuatan ekonomi yang signifikan.
Cable merumuskan enam mekanisme yang
mendesakkan proses pengintegrasian internasional saat ini. Enam hal itu adalah mekanisme teknologi;
kapital finansial; investasi asing dan perusahaan-perusah`an multinasional;
perdagangan barang dan jasa, arus migrasi manusia, dan rezim kebijakan global.
Neoliberalisme versus nation-state?
Fenomena di atas memiliki dampak signifikan dalam konteks nation-state.
Dampak neoliberalisme terhadap
kedaulatan nation-state dii kalangan para analis, seperti ditulis Mas’oed (2002: 8-14),
melahirkan dua pandangan. Pertama menganggap bahwa dampak itu lebih
bersifat kendala (constraints), sedangkan yang kedua beranggapan
bahwa proses internasionalisasi dan globalisasi ini benar-benar telah mendorong
terjadinya transformasi politik.
Bagi
yang pertama, peningkatan transaksi barang, jasa dan modal secara internasional
membuat pemerintah nasional terkendala dalam menentukan dan menjalankan
preferensi kebijakannya. Proses internasionalisasi ini sering memaksa
pemerint`h untuk menarik diri dari kegiatan ekonomi pasar. Begitu juga konsep welfare
state yang menempatkan negara sebagai agen pelindung dan penyejahtera
warganya—oleh skema neoliberal—harus ditinggalkan. Singjat kata, oleh berbagai
aturan dalam transaksi global, negara mengalami
restriksi keleluasaan untuk memilih dan menjalankan kebijaknnya. Negara,
sebagaimana dicatat Bhagwati (1989: 239),
tidak lagi mudah menjalankan kebijakan-kebijajan nasional yang sifatnya
autarkis. Namun, aliran ini tidak sampai beranggapan bahwa proses
internasionalisasi dan globalisasi akan mendorong tamatnya riwayat nation-state.
Negara-bangsa masih bertahan, namun ia mengalami pengerucutan peran.
Pandangan kedua menyatakan bahwa proses globalisasi
ini sesungguhnya tidak semata berdampak pada keterhambatan perilaku pemerintah,
tetapi terjadinya transformasi dan perombakan tata politik di berbagai negara
secara lebih menyeluruh. Hal ini terjadi melalui empat mekanisme. Pertama,
internasionalisasi akan mendorong pergeseran fungsionalitas, kekuasaan dan
kompetensi negara. Kedua, proses ini juga akan mendorong terjadinya
perubahan identitas ekonomi politik suatu bangsa, yang pada gilirannya
melahirkan transformasi politik. Ketiga, internasionalisasi mendorong
penyebaran kekuasaan negara kepada aktor non-negara. Dan keempat, proses
ini juga akan menghasilkan reorganisasi wewenang negara.
Dengan demikian, nampak jelas bahwa nation-state berada
dalam tikungan kekuasaan global yang tengah mengancam kedaulatannya. Tetapi,
menyatakan bahwa dampak arus globalisasi adalah s`ma pada setiap
negara—mengutip Holton (1998: 81)—adalah asumsi yang menyesatkan. Sebab, dampak
globalisasi tidak seragam. Globalisasi tidak selalu memperlemah negara-bangsa.
Italia dan Jepang, seperti dicatat Schmidth (1995: 77), adalah di antara contoh
dua negara yang justru diperkuat oleh proses globalisasi. Negara-negara bangsa memiliki variasi dalam
kapasitas dan kemampuannya menghadapi globalisasi. Dampak globalisasi jelas akan
berbeda pada negara kuat—yang menjadi aktor utama dalam panggung ekonomi
politik dunia seperti AS atau negara-negara G-7 seperti Jerman dan Jepang—dengan negara-negara
terbelakang seperti Indonesia. Jika negara-negara kelompok pertama memiliki
kapasitas untuk mempengaruhi keputusan organisasi regulator transnasional
seperti World Bank dan WTO, yang diistilahkan Andrew Gamble (1988) sebagai:
ekonomi bebas dan negara kuat, maka negara-negara kelompok kedua nyaris tidak
punya daya tawar dalam setiap proses
transaksi global.
Neoliberalisme
dan Kebijakan Ekonomi: Indonesia
Diakui atau tidak, krisis ekonomi
yang melanda Indonesia merupakan pintu masuk bagi sejumlah agenda neo liberal
di Republik ini. Kilas balik peristiwa menyorongkan fakta kesejarahan dimana
krisis ekonomi-politik sebenarnya dipicu oleh kelemahan struktur fundamental
ekonomi Indonesia. Hembusan angin krisis, dalam fase awal pertumbuhannya,
dimulai dari pasar uang. Manakala pasar uang tidak mampu membendung serbuan
spekulan, fluktuasi mata uang rupiah merupakan stimulan bagi masyarakat untuk
memindahkan investasinya dari bentuk tabungan menjadi investasi di pasar uang.
Sebagian besar dari mereka mengharap keuntungan dari selisih antara nilai tukar
mata uang rupiah dengan nilai tukar mata uang dollar Amerika. Akibatnya,
lembaga perbankan di tanah air mengalami penarikan dana-rush-secara besar-besaran hingga
menggerus rasio kecukupan modal dari bank yang bersangkutan. Dunia perbankan
kemudian berada dalam ancaman kebangkrutan.
Guna menyelamatkan eksistensi lembaga
perbankan, negara turun tangan dengan menjamin semua dana masyarakat yang
tersimpan di lembaga tersebut. Sebagai imbalan atas jaminan negara, sebagian
saham di lembaga perbankan diubah menjadi penyertaan modal negara. Problema
yang lebih besar baru muncul manakala proses penjaminan dana masyarakat itu
diambilkan dari cadangan devisa negara, sehingga kondisi balance of payment berada dalam kisaran negatif. Dengan demikian,
negara berada di ambang kebangkrutan serta terancam inflasi berkepanjangan.
Pada titik ini,
intervensi IMF memperoleh justifikasi ekonomi. Dengan dalih menyelamatkan
perekonomian Indonesia, IMF mengusung segerobak agenda neo liberal ke dalam
urat nadi perekonomian Indonesia. Ekspresi kongkret dari agenda neo liberal
yang dicangkokan IMF terpetakan melalui sejumlah kebijakan antara lain :
Pertama, implementasi desentralisasi
penyelenggaraan manajemen pemerintahan. Meski desentralisasi secara resesif mengandung
benih demokratisasi dan memungkinkan terjadinya partisipasi politik, namun
desentralisasi sebenarnya juga membawa potensi destruktif. Sebab, disadari atau
tidak desentralisasi sebagai konsep penyelenggaraan pemerintahan sedikit demi
sedikit menggerogoti kewenangan di pusat kekuasaan. Lebih dari itu,
desentralisasi juga memaksa segenap daerah di wilayah Republik ini untuk
berintegrasi dengan pasar yang lebih luas, yaitu pasar global. Melalui
desentralisasi agenda pembukaan lokal sebagai pasar tidak memperoleh kendala
yang berarti dari pusat pemerintahan karena desentralisasi telah membentuk open
society pada level lokal.
Kedua, penghapusan subsidi di segenap
lapangan ekonomi. Konsepsi neo liberal memandang subsidi merupakan bentuk
ketidakadilan. Melalui subsidi, negara secara tidak langsung dianggap
menstimulasi karakter masyarakat yang tidak produktif. Oleh karena itu, subsidi
idealnya dihapus sehingga potensi kompetisi masyarakat dapat ditumbuhkan.
Penghapusan subsidi semakin mendapatkan momentum tatkala negara sedang berada
dalam kisaran kebangkrutan. Subsidi, dalam konteks ini, dianggap terlalu
membebani anggaran negara. Dengan demikian argumen penghapusan subsidi
memperoleh tambahan justifikasi.
Ketiga, implementasi konsep privatisasi di
lapangan ekonomi. Paruh terakhir dari tahun 2002 menyorongkan realitas dimana
negara dipaksa untuk bersegera membatasi perannya dalam ranah ekonomi. Salah
satu instrumen yang membatasi peran negara di ranah ekonomi adalah agenda
privatisasi sejumlah BUMN. Negara, pada titik ini, dianggap membahayakan pasar
jika tetap memegang kendali BUMN secara utuh. Mengingat penguasaan BUMN setali
tiga uang dengan praktek monopoli yang bisa mendatangkan distorsi pasar.
Implementasi berbagai konsepsi neo liberal di Indonesia, diakui
atau tidak, semakin memangkas peran negara di lapangan ekonomi. Peran negara
sedikit demi sedikit dinegasikan. Potensi intervensi negara ditekan sampai pada
titik nadir, sehingga negara tidak lagi punya kekuatan untuk sekedar melindungi
masyarakatnya dari serbuan agenda neo liberalisme. Implikasi krusial yang
kemudian cukup dirasakan adalah kemungkinan hilangnya peranan negara untuk
mendistribusikan keadilan ekonomi. Mengingat, wilayah eksistensi negara
hanya dibatasi pada peran-peran fasilitator dan regulator. Dengan demikian,
ancaman kesenjangan keadilan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak tertolak lagi
dan telah berada di ujung hidung setiap individu di Republik ini. Meminjam optik Andrew Gamble, Indonesia bukannya ekonomi bebas negara kuat, namun
ekonomi lumpuh negara impoten.
Inilah
formasi sosial yang harus dijawab kaum pergerakan. Secara ringkas dapat
dikatakan, sekali lagi, pasar hendak diletakkan kembali sabagai satu-satunya
aktor penting dalam akumulasi modal. Negara, karena rivalitas antarkekuatan
kapitalis kian kuat, tidak lagi diikutsertakan sebagai aktor akumulasi modal
tersebut. Manifestasi konkret dari epistemology ini adalah didorongnya negara
untuk melakukan kebijakan privatisasi, swastanisasi, penghentian subsidi
besar-besaran, sampai pada pengetatan APBN. Artinya, pada dasarnya, neolibaral
tetap membutuhkan negara. Kebutuhan
neoliberal atas negara terletak dalam fungsi negara yang meletakkkan basis
legal formal bagi operasi neoliberalisme, sekaligus sebagai anjing penjaga dari
gangguan keamanan dan politik domestik. Untuk mengamankan perlawanan masyarakat
Aceh atau Papua, misalnya, hanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk operasi
militer. Inilah barangkali yang secara tajam dikatakan, Mcdonal tidak dapat
beroperasi tanpa mcdouglas, invisible hand smithian akan lumpuh tanpa tangan
terkepal yang tersembunyi. Pendek kata kdterlibatan negara dalam akumulasi laba
dipotong sebab dalam kalkulasi mikro ekonomi hanya akan menciptakan
inefisiensi. Dalam optik akademik, teori negara selama ini yang berputar-putar pada negara organis, pluralis,
dan instrumentalis, kehilangan kapasitas konseptual sebagai penjelas realitas
negara.
Peran-peran
negara tersebut kemudian digantikan dengan lembaga-lembaga supranegara seperti
IMF, WB, WTO, dan TNC/MNC. Lonceng
kematian negara pun berdentang. Ohmae dengan 4 “I” nya dengan lantang meneriakkan kematian tersebut.
Jika terjadi sengketa ekonomi antara TNC dengan negara atau dengan pengusaha
nasional, misalnya, yang akan menjadi kata putus bukan lagi kedaulatan hokum
nasional, melainkan badan arbitrase yang
dimiliki WTO. Sodokan yang lebih tajam datang dari mereka yang memproklamirkan the
death of democracy (beck, Noreena Heertz). Kematian demokrasi
terjadi karena (misalnya, menurut Beck) peran negara, yang pemerintahannya
dipilih oleh rakyat melalui mekanisme demokrasi, digantikan oleh kekuatan pasar
(bisnis). Eksekusi kebijakan negara tidak lagi di tangan negara melainkan
pasar, padahal pasar yang memegang kendali kebijakan dalam transaksi social,
tidak dipilih oleh rakyat melalui mekanisme demokrasi sebagaimana negara. Di
samping belum ada kerangka kelembagaan yang mampu mengelola kekuasaan bisnis
terwsebut, juga kebanyakan memang rakyat sama sekali tidak memiliki akses ke
kekuasaan bisnis. Pada sisi yang lain, rezim yang dipilih oleh rakyat melalui
mekanisme demokrasi melakukan pengkhianatan dengan lebih berpihak pada
kapitalisme pasar daripada kepentingan rakyat. Kematian demokrasi secara
niscaya akan diikuti lahirnya otoriterisme baru, yang sampai saat ini belum
disiapkan jawaban paradigmatic atas semua itu. Analisis kelas marxis ortodoks
sudah banyak digugat, neomarxis mampu menghentak kesadaran namun tidak memberi
jawaban memuaskan.
Jawaban Paradigma Pergerakan PMII
Bacaan
di atas, terhadap realitas kesejarahan dan realitas pergerakan, menunjukkan
dua hal sekaligus: ketimpangan structural pada level global, nasional,
local, serta kelemahan-kelemahan mendasar pendekatan strukturalisme an sich,
di satu sisi, dan di sisi lain keterbatasan-keterbatasan GM sehingga gagal
menjadi kekuatan transformatif
revolusioner.
Perspektif
paradigma kritis-transformatif (PKT)
menawarkan optik untuk melakukan penafsiran sejarah dan teori perubahan. Secara
geneologis, PKT terkait dengan teori kritis sebagai kritik atas masyarakat
kapitalis modern. Dengan perspektif itu
bacaan terhadap masyarakat bukan sebatas ekonomi politik marxistik yang reduksionistik,
namun juga membaca the dominant ideology, epistemology social masyarakat
yang menguasai gagasan masyarakat (proses formatif dan saling ekslusi
antar-wacana social), psikososial yang membaca konstruksi batiniah masyarakat. Berbagai variable di
atas tidak dipandang senantiasa ordinat dan subordinat. Berbeda dengan
pendekatan marxis, misalnya, yang hanya percaya perubahan politik (revolusi
politik) menjadi kata kunci segala perubahan.
Suprastruktur disubordinasikan pada basis struktur berupa corak produksi
masyarakat, atau varian lain dari
marxisme/sosialisme yang menggeser determinisme ekonominya.
Paradigma
ini menurunkan konsep rekayasa social yang mempercayai perubahan
non-determinis. Perubahan bisa dilakukan dalam berbagai pintu, baik itu
politik, diseminasi gagasan, penguatan civil society, kebudayaan
transformatif, gerakan gender, sampai pada gerakan social keagamaan
transformatif yang diperankan oleh agamawan muda liberatif. Dengan paradigma tersebut, design gerakan
PMII menjadi terdiseminasi, namun tetap mengandaikan sinergisitas pergerakan.
Ada yang focus pada gerakan massa, ada yang focus pada gerakan social
transformatif, ada yang focus pada gender, ada yang focus pada pers, ada yang
focus pada kajian dan pengembangan pemikiran social dan keagamaan alternatif,
sampai ada yang focus pada dakwah, misalnya. Memang, jika format-format gerakan
ini diikuti, maka GM menjadi mirip
atau semacam LSM-Plus Gerakan massa.
Namun di sinilah kelebihan PKT dibanding
dengan, misalnya, GM yang menggunakan epistemologi esensialis
seperti sayap strukturalis. Tidak akan ditemukan dalam organ seperti LMND, FMN, atau FPPI,
program=program seperti pelatihan
gender, yasin-tahlil, pengajian, pengobatan gratis bagi masyarakat, atau program lainnya yang dalam kacamata
strukturalisme dianggap tidak signifikan. Jika melakukan pengorganisasian elemen-elemen sektoral atau nonsektoral dalam
kerangka mobilisasi, atau pers yang,
kalau dimiliki, lebih berperan sebagai alat propaganda isu. Hanya saja
kelebihannya terletak pada gerakan massa yang heroik di jalanan. Pangkal
kelebihan ini adalah pilihan paradigma yang tegas yang hanya mempercayai
perubahan structural sebagai kata kunci perubahan. Sedangkan kelemahan-kelemahan PMII terletak
pada tidaknya matangnya format-format gerakan di atas.
Pertama,
Gerakan masssa-revolusioner untuk “merebut negara” sebagai medan makna
politik dan meletakkan masyarakat sebagai kekuatan ekonomi politik..
Kedua,
Gerakan intelektual untuk merebut alat produksi
intelaktual dari the dominant ideology sebagai instrumen mengambil kepemimpinan gagasan. Gerakan ini harus mampu
dan efektif sebagai counter-hegemony terhadap gagasan-gagasan neoliberal.
Ketiga,
Gerakan pers untuk merebut kepemimpinan propaganda gerakan
dan diseminas serta sirkulasi informasi,
Keempat,
System kaderisasi yang mapan sebagai salah satu supporting
system mendesak untuk materialisasi format gerakan di atas.
Bagaimana
program riilnya?
Pertama,
memastikan bahwa negara menjadi bagian dari
front-kekuatan rakyat untuk melawan eksploitasi neoliberalisme dan
problem-problem internal bangsa, mendorong kembali rekonsolidasi demokrasi yang telah mengalami involsui dan kehilangan
arah. Mendorong modal sosial yang ada,
liberalisasi politik, tertransformasikan menjadi demokratisasi politik.
Rekonsolidasi ini mencakup wilayah ekopol, politik, hukum, dan kultur kewargaan
rakyat. Secara simultan, diiringi perlawanan terhadap semua kebijakan publik
yang merugikan rakyat. Tugasnya pokoknya
adalah bagaimana merebut medan makna politik dan pusat produksi pengetahuan.
Kedua,
bagaimana menjembatani
kesenjangan kesadaran antara aktifis gerakan mahasiswa dengan rakyat
secara umum. Kesenjangan ini nyata adanya. Bahkan, berbagai organ rakyat yang
berhasil dibangun oleh mahasiswa dan LSM, tidak juga memerankan peran-peran
politik. Selain itu, bagaimana mewujudkan semacam front demokrasi yang solid
dan punya nafas panjang.
Ketiga,
secara programatik
menjawab berbagai kebuntuan dan kelemahan internal PMII.
Pendek kata, jawaban paradigmatik
PMII terhadap neoliberalisme “hanya” harus bertumpu pada tiga hal. Pertama,
membangun perspektif kritis terhadap realitas kesejarahan dan subyektif PMII. Kedua,
membangun supporting system yang memadahi, mulai dari penataan kelembagaan yang
di semua level amburadul, networking, sampai pada mekanisme konsolidasi semua
level organ PMII. Ketiga, membanguan social trust sejati (di sinilah posisi Ahlusunnah
Waljama'ah).
Untuk mewujudkan hal di atas,
persyaratan yang harus dimiliki
diantaranya adalah visi yang jelas, kepemimpinan yang visioner, segera
ditemukannya struktur organ yang mampu menjawab kebutuhan, memiliki
kolektivitas, militans, memiliki nafas yang panjang, dan programatik. Jika
semua itu dipenuhi, maka PMII akan menjadi kekuatan sejarah transformatif pada
level global, nasional, dan local. Wallohu a’lam.
PUSTAKA
Barber, Benjamin, 1995, Jihad Vs. Mc World, Times Books, Random House
Bhagwati, Jagdish N, “Nation-state in International
Framework: An Economist’s Perspective” dalam Alternatives XIV (1989), hh.
231-244
Cable, Vincent,
“The Diminished Nation-state: A Study in the Loss of Economic Power”,
dalam Daedalus, Spring (1995), Vol. 124 No.2, hh. 23-53
Calhoun, Craig, “Nationalism and
Ethnicity” dalam Annual Review of Sociology, 19 (1993)
Deane, Phyllis, 1987, The State and Economic System: An
Introduction th the History of Political Economy, Oxford: Oxford Universuty
Press
Falk, Richard, 1995, On Humane Governance; Toward a New
Global Politics, The Pennsylvania State University Press, University Park,
Pennsylvania
Gamble, Andrew, 1988, The Economy and the Strong State:
The Politics of Tatcherism, London Macmillan
Giddens, Anthony, 1985,
The Nation-State and Violence; Volume Two of Contemporary
Critique of Historical Materialism, Polity Press
______, 1999, Runaway World; How Globalisation is
Reshaping Our Lives, Profile Books
Hirst, Paul & Grahame Thompson, 1996, 1999, Globalization
in Question: The International Economy an d the Possibilities of Governance,
Polity Press, 2nd edition
Holton, Robert J, 1998, Globalization and Nation-State,
Macmillan Press Ltd
Hurrel, Andrew, “Explaining the Resurgence of Regionalism
in World Politics”, dalam Review of International Studies (1995), 21,
hh. 331-358
Petras, James & Veltmeyer, Henry, Globalization
Unmasked, Fernwood Publishing, Zed Book, 2001
Jurnal Wacana, Menuju Gerakan Sosial Baru, edisi 11, Tahun III, 2002.
Mas’oed, Mohtar, 2002, Tantangan Internasional dan
Keterbatasan Nasional: Analisis Ekonomi-Politik tentang Globalisasi Neo-Liberal,
Pidato Pebgukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan
Nye Jr., Jospeh S., 2002, The Paradox of American
Power; Why the World’s Only Super Power
Can’t Go it Alone, Oxford University Press
O’Brien, Richard, 1992, Global Financial Integration:
The End of Geography, London, Chatham House/Pinter
Ohmae, Kenichi, 1990, The Borderless World; Power and
Strategy in the Interlinked Economy, Harper Business
______,1996, The End of the Nation-State; The Rise of
Regional Economies, HarperCollins Publisher
Petras, James & Veltmeyer, 2001, Globalization
Unmasked, Imperalisme in 21st Century,
Polanyi, Karl, 1944, 1957, 2001, The Great
Transformation; The Political and Economic Orogins of Our Time, Beacon
Press, Boston, 2nd paperback edition
Schmidth, Vivien A, “The New World Order, Incorporated:
The Rise of Business and the Decline of the Nation-state”, dalam Daedalus,
Spring (1995), Vol. 124 No.2, hh.75-106
Steger, Manfred B., 2002, Globalism: The New Market Ideology,
Sugiono, Muhadi, 1999, Kritik
Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar
Strange, Susan,1995 “The Defective State”, dalam Daedalus,
Spring 1995, Vol. 124 No.2, hh. 55-74.