SEBAGAI
MANHAJ AL-FIKR
I.
PENGANTAR
Ahlussunnah
Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian PMII.
Dalam NDP (Nilai
Dasar
Pergerakan) disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan
keyakinan Tauhid.
Lebih
dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari
setiap anggota/kader organisasi
kita.
Akarnya tertananam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita
masing-masing dalam
menjalankan
Islam.
Selama
ini proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan, bahkan masih
berlangsung hingga saat ini.
Tahun
1994, dimotori oleh KH Said Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang
sampai saat itu diperlakukan
sebagai
sebuah madzhab. Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai madzhab, khususnya
dalam bidang fiqh. Selain
itu,
gugatan muncul melihat perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan
respon yang kontekstual
dan
cepat pula. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan
isi Aswaja sebagaimana selama
ini
digunakan, lahirlah gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr
(metode berpikir).
PMII
melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain
karena alasan muatan
doktrinal
Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi
lebih fleksibel dan
memungkinkan
bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan
ikhtiar-ikhtiar baru untuk
menjawab
perkembangan zaman.
Bagi
PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang
sempurna bagi setiap
tempat
dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu.
Kehadirannya dibutuhkan
sepanjang
masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat
tergantung kepada kita,
pemeluk
dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, PMII sekali lagi
melihat bahwa Aswaja
merupakan
pilihan paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang
beragam dalam etnis,
budaya
dan agama.
II.
SKETSA SEJARAH
Ahlussunnah
Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan
sejarah. Di wilayah doktrin,
debat
meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan,
kemudian debat antara Sifat-
Sifat
Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
Di
wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’
ar-rasyidun, yakni dimulai sejak
terjadi
Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah.
Bersama kekalahan
Khalifah
ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh
kubu Muawiyah, ummat Islam
makin
terpecah kedalam berbagai golongan. Dh antara mereka terdapat Syi’ah yang
secara umum dinisbatkan kepada
pengikut
Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang
membelot karena tidak setuju
dengan
tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan
Muawiyah.
Selain
tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala
sesuatu yang terjadi karena
perbuatan
manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan
dengan faham Jabariyah.
Di
antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam
Abu Sa’id Hasan ibn Hasan
Yasar
al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri,
yang cenderung
mengembangkan
aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha
mencari jalan
kebenaran
secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai
faksi politik (firqah) yang
berkembang
ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran
yang sejuk,
moderat
dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah
untuk mengkafirkan
golongan
atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.
Seirama
waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama
setelah beliau, di antaranya
Imam
Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i
(w. 204 H), Ibn Kullab (w.
204
H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asx’ari
(w 324 H) dan Abu Mansur al-
Maturidi
(w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering
dinisbatkan; meskipun bila
ditelusuri
secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia
merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal
Jama’ah terbesar di
dunia.
Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan
sebagian terbesarnya
tergabung
– baik tergabung secara sadar maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama,
yang sejak awal berdiri
menegaskan
sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.
III.
PENGERTIAN
Secara
semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti
pemeluk, jika dikaitkan dengan
aliran
atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab
al-madzhab).
Al-Sunnah
mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan
ahl keduanya bermakna
pengikut
jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang
memiliki tujuan. Bila
dimaknai
secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang
mengikuti jalan Nabi, Para
Shahabat
dan tabi’in.
Nahdlatul
‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham
Aswaja. Dalam
Qanun
Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari
juga tidak disebutkan
definisi
Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah
faham keagamaan
dimana
dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi,
dalam bidang fiqh
menganut
pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam
Malik, Imam Syafi’i
dan
Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi
dan Abu Hamid Al-
Ghazali.
Selama
kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja
tersebut bertahan di tubuh
Nahdlatul
Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang
mempertanyakan,
tepatkah
Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?
Aswaja
sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan
produk hukum atau
pandangan
para Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan lagi
dengan perkembangan
zaman
mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan
membutuhkan inovasi baru untuk
menghadapinya.
Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana
mungkin terdapat
madzhab
di dalam madzhab?
Dua
gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin
maupun metodologi, yang
menghasilkan
kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari
itu, Aswaja harus
diperlakukan
sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.
IV.
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Kurang
lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja
sebagai manhaj al-fikr.
Tahun
1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul
Membaca Ulang Aswaja
(PB
PMII, 1997). Buku tersebut merupakan rangkuman hasil Simposium Aswaja di
Tulungagung. Konsep dasar yang
dibawa
dalam Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH Said
Agil Siraj yang mengundang
kontroversi,
mengenai perlunya Aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi
para intelektual dan
ulama
untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam
pengertian Aswaja.
PMII
memandang bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode
berfikir keagamaan
yang
mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga
keseimbangan dan
toleran.
Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam
menghadapi
persoalan-persoalan
agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai
manhaj al-fikr.
Sebagai
manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun
(netral), ta’adul
(keseimbangan),
dan tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath)
yaitu
memperhatikan
posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang
seimbang antara
rujukan
nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada
debat awal-awal Masehi
antara
golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.
Sikap
netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan
sosial-politik atau
kepemerintahan
dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab
itu, dalam sikap
tawazun,
pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim.
Aswaja, oleh
karena
itu PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan
sebuah pemerintahan
yang
disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa
yang dikandung dalam
sikap
tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik
berjalan, apakah
memenuhi
kaidah atau tidak.
Keseimbangan
(ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara
bergaul dalam kondisi
sosial
budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul PMII
sebagai Muslim dengan
golongan
Muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural,
dalam budaya, etnis,
ideologi
politik dan agama, PMII pandang bukan semata-mata realitas sosiologis,
melainkan juga realitas teologis.
Artinya
bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam
berbagai sisinya. Oleh
sebab
itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.
V.
PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
Berikut
ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip
tersebut meliputi Aqidah,
pengambilan
hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
1.
AQIDAH
Dalam
bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah
wal-Jama’ah diantaranya yang
pertama
adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah
SWT.
Pada
tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat
dan asma Allah SWT. Dimana
terjadi
diskursus terkait masalah apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu
Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H)
secara
filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat
bukanlah yang disifati
(mausuf),
sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi
nama-nama itu bukanlah Allah
dan
bukan pula selain-Nya.
Aswaja
menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan
yang teguh dan murni
yang
ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan
Mematikan kehidupan
semesta
alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar
yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan
wahyu kepada para
Nabi
dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan
juga acuan ummat manusia
dalam
menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan
yang diridhai oleh Allah SWT.
Dalam
doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya b`hwa
Muhammad SAW adalah
utusan
Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul
terakhir, yang harus
diikuti
oleh setiap manusia.
Pilar
yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan
dibangkitkan dari kubur pada
hari
kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul
jaza’). Dan mereka
semua
akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia.
Mereka yang banyak beramal
baik
akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2.
BIDANG SOSIAL POLITIK
Berbeda
dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan
berdirinya negara (imamah),
Ahlussunnah
wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban
fakultatif (fardhu
kifayah).
Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang
membolehkan komunitas berdiri
tanpa
imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi ahlussunnah wal
jama’ah, negara merupakan
alat
untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan
bersama (mashlahah
musytarakah).
Ahlussunnah
wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh
berdiri atas dasar
teokrasi,
aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi
syarat-syarat atau kriteria
yang
harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi maka gugurlah otoritas
(wewenang)
pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
a.
Prinsip Syura (musyawarah)
Negara
harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap
keputusan, kebijakan
dan
peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:
“Maka
sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia;
dan yang ada pada sisi
Allah
lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada
Tuhan mereka, mereka
bertawakkal.
Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan
keji, dan apabila
mereka
marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan
mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka
menafkahkan
sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang
yang apabila mereka
diperlakukan
dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)
b.
Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan
adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an.
Prinsip ini tidak boleh
dilanggar
oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah
salah satu ayat yang
memerintahkan
keadilan.
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu)
apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat.” (QS An-Nisa,
4:
58)
c.
Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara
wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib
hukumnya karena
merupakan
kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal
dengan Al-Ushulul-
Khams
(prinsip yang lima), yaitu:
·
Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara)
untuk menjamin
kehidupan
setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan
berkembang
dalam wilayahnya.
·
Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk
menjamin kebebasan
setiap
orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak
berhak
memaksakan
atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
·
Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk
menjamin keamanan
harta
benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan
keamanan dan
menjamin
rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
·
Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul,
identitas, garis keturunan
setiap
warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh
mangunggulkan dan
memprioritaskan
sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama
setiap
etnis
yang hidup di wilayah negaranya.
·
Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan
ataupun kedudukan setiap
warga
negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan
pekerjaannya.
Negara
justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap
warga negara.
Al-Ushulul
Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia
modern – bahkan
mungkin
di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi
ukuran baku bagi
legitimasi
sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi
pemimpin di kelak
kemudian
hari.
d.
Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa
manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain,
bangsa dengan
bangsa
yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih
tinggi dari yang lain.
Manusia
diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain.
Sehingga tidak
dibenarkan
satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam
surat Al-Hujuraat
disebutkan:
Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan“
menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya
orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang palhng taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya
)Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Al-Hujuraat, 49: 13
Perbedaan
bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari
relasi dan proses sosial.
Perbedaan
merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian
disebutkan dalam
surat
Al-Ma’idah.
Untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu
apa
yang telah kamu perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)
Dalam
sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di
tubuh pemerintahan
memiliki
kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata
adalah untuk
mengayomi,
melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege
(keistimewaan) khususnya
di
mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar
manusia di dalam
wilayahnya,
yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan
jabatan politik.
Dengan
prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi
Syari’at Islam dan Khilafah
Islamiyah
bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam
Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’
dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya
diharuskan untuk menjamin agar
sebuah
pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat)
kriteria di atas.
3.
BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syari’ah)
Hampir
seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
1.
Al-Qur’an
2.
As-Sunnah
3.
Ijma’
4.
Qiyas
Al-Qur’an
sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah
oleh semua
madzhab
fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an merupakan
sumber hukum
tertinggi
dalam Islam.
Sementara
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW,
sebagaimana diriwayatkan
oleh
para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm
tidak ditemukan dalam Al-
Qur’an,
atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan
dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah
sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus
(mutawatir), terkenal
(masyhur)
ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan oleh
Ijma’ Shahabah.
Menurut
Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok
legislatif (ahl al-halli
wa
al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
kasus. Atau kesepakatan orang-orang
mukallaf
dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.
Dalam
Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: 115 “Dan barang siapa
menentang rasul sesudah jelas
kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan
yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.”
Dan
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi
atas
(perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah, 2: 143.
Qiyas,
sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama.
Qiyas yaitu mempertemukan
sesuatu
yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada
persamaan ‘illat
hukum.
Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
4.
TASAWUF
Imam
Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan "Tasawuf artinya Allah
memathkan dirimu dari
dirimu,
dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata
bersama Allah
SWT
tanpa keterikatan apa pun."
Imam
Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari
apa saja selain Allah…
Aku
simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku
mereka adalah perilaku yang
terbaik,
jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup
yang paling tersucikan.
Mereka
telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya
sebagai saluran
tempat
mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.”
“berada
semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid,
lalu “menyucikan hati dari apa
saja
selain Allah.... Mereka (kaum Sufi) telah membersihkan hati mereka dari
berbagai hal selain Allah..,” kata Imam Al-
Ghazali.
Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan
selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan
kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus
dilatih bersama
keterlibatan
kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai
sebagai ikhtiar batin
untuk
melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan
duniawi. Mengapa?
karena
justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan
fungsinya sebagai
Khalifah
harus diwujudkan.
Banyak
contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran
duniawi. Kita lihat saja
Imam
Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai
pengusaha tenun, Umar
Ibn
Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al
Kharraj sukses sebagai
pengusaha
konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar
sukses sebagai
pengusaha
parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan
duniawi tanpa
meninggalkan
urusan duniawi.
Urusan
duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan),
kemudian berbuntut
pada
urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan
dengan soal-soal ekonomi,
politik-kekuasaan,
hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak
harus
ditinggalkan
untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total
sementara
hati/batin
kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud
kita maknai, yakni zuhud
di
dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk
mendarmabaktikan segenap potensi
manusia
bagi terwujudnya masyarakat yang baik.
VI.
PENUTUP
Ahlussunnah
wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi
pembaruan-pembaruan.
Sebagai
sebuah metode pemahaman dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat
disamakan dengan
metode
akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas
pendekatan diatur sedemikian rupa
sehingga
menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang
akademis pembaharuan
atau
perubahan sangat mungkin terjadi.
Sebagai
metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar
teknikalitas sama tinggi dengan
metode
ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan
mendalam terhadap
Aswaja
perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang
telah kami sajikan di sini,
yang
sangat butuh banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis
untuk memandu langkah per
langkah
tindakan dan pandangan gerakan, akan muncul kemudian apabila kenyataan lapangan
sungguh-sungguh
menuntut
dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang kebutuhan primer kolektif kita masih
terletak pada
memahami,
hal semacam itu kami pandang belum menjadi kebutuhan obyektif.
Tashwir:
MEMBINCANG
MANHAJ FIKR NU
Ahmad
Fawaid Sjadzili
Alumnus
Pondok Pesantren Annuqayah. Kini sedang menyelesaikan pendidikannya di Program
Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta. Redaktur Pelaksana Jurnal Tashwirul Afkar
Ketika
Kang Said Aqil Siradj mengatakan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) bukan
madzhab melainkan manhaj, shlang
pendapat
di lingkungan nahdliyin tidak terbendung. Bagi Kang Said, alasannya sangat
sederhana: bagaimana mungkin di
dalam
madzhab ada ‘sekoci’ madzhab lagi? Namun bukan tempatnya mengulang kembali
debat klasik ini dalam tulisan
berikut.
Yang patut ditegaskan di sini adalah bagaimana menjadikan Aswaja sebagai
manhaj, gugusan paradigmatikkonseptual
yang
memungkinkannya menjadi alat dan perangkat (tool) baik dalam berpikir maupun
bertindak di kalangan
nahdliyin.
Sebagaimana
mafhum, terma Aswaja merupakan istilah paska kenabian. Ia lahir paska era
kenabian yang ditandai dengan
tercerai-berainya
komunitas Islam menjadi skisma aliran (scism) yang tidak tunggal. Masing-masing
mengidentifikasi diri
sebagai
pengikut Nabi yang paling ‘tepat’ dibandingkan dengan lainnya. Sungguhpun
istilah ini lahir paska era kenabian,
namun
istilah tersebut selalu saja dipautkan pada sebuah tradisi dalam momen sejarah
Islam paling awal, yaitu generasi
Nabi
Muhammad Saw. dan para sahabatnya yang terpercaya. Atas dasar inilah, definisi
Aswaja mengacu dan diacukan
pada
“apa yang saya (Nabi) dan para sahabatku lakukan” (ma ana ‘alayhi wa ashabi).
Ini artinya, Aswaja diukur dengan
sejauh
mana tradisi dan kebiasaan Nabi dan para sahabat terpercaya mewarsi dan
mewarnai kerangka berpikir dan
bertindak
sehingga tindakan dan pemikiran itu ada pada jalur yang tepat (on the right
track).
Dalam
perkembangannya, identifikasi identitas itu pun mengkristal pada dua ujung yang
ekstrem: ‘kelompok yang
selamat’
(al-firqah an-najiyah) dan ‘kelompok yang sesat’ (al-firqah al-dlallah). Dengan
berlandaskan pada hadis tentang
perpecahan
umat, maka Ahlussunnah mendakwa diri sebagai firqah yang tepat dan selamat.
Dalam bingkai semacam ini,
‘yang
lain’ akan dengan mudah dituduh dan distigma sesat oleh otoritas yang berkuasa.
Dan label ini pun bisa terjadi
secara
bergantian. Dalam sejarah Islam, contoh pertarungan antara Mu’tazilah dan
Ahlussunnah pada era Al- Ma’mun
dilanjutkan
Al-Mu’tashim dan berpuncak pada al-Wasiq dengan era Al- Mutawakkil menjadi
contoh betapa label selamat
dan
sesat dengan mudah dialihkan, tergantung ‘selera’ rezim yang berkuasa. Apa yang
dikenal dengan ‘tragedi mihnah’
ini
menjadi contoh tak terbantahkan dari goyang pendulum yang labil antara keselamatan
dan kesesatan yang semata
dipagari
dengan apa yang disebut kekuasaan. Pada masa Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan
Al-Wasiq, kelompok yang
dianggap
sesat adalah ahlul hadis dengan ikon intelektualnya Ahmad ibn Hanbal.
Sebaliknya pada masa AlMutawakkil,
kelompok
yang dianggap sesat adalah ahlu ar-ra’yi atau lebih populer disebut mu’tazilah.
Imaginasi
tentang firqah najiyah yang oleh sebagian kalangan disematkan pada kelompok
Ahlussunnah Waljama’ah ini
terus
berkembang. Tidak saja dikontestasikan dengan Mu’tazilah, Ahlussunnah
belakangan lebih diposisikan secara
berhadapan
dengan Syi’ah. Dalam konteks Syi’ah pun, label Aswaja masih menjadi identitas
yang diperebutkan (contested
identity).
Buku yang ditulis Muhammad At-Tijani As-Samawi, doktor filsafat Universitas
Sorbone, yang berjudul Asy-
Syi’ah
Hum Ahlu as-Sunnah [1993] menjadi contoh dari perebutan ini. Buku itu hendak
menegaskan bahwa Syiah adalah
Ahlussunnah,
bahkan dinilai lebih Ahlussunnah ketimbang kelompok yang selama ini mendakwa
dirinya Ahlussunnah.
Perebutan
serupa tampaknya juga terjadi di Nahdlatul Ulama. Untuk mengidentifikasi
identitasnya dengan ‘yang lain’,
NU
menjadikan Islam dengan faham Aswaja sebagai asas dan aqidah organisasinya.
Berbeda dengan bingkai besar
Aswaja
dalam sejarah teologi Islam, NU melakukan modifikasi dengan menyumbangkan
pemaknaan konsep Aswaja.
Lahirlah
kategorisasi yang mengacukan paradigma bermadzhab dengan mengikuti salah satu
dari empat madzhab yang
populer,
mengikuti paradigma berteologi Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dan paradigma
bertasawuf Al-Ghazali dan Al-
Junaid
al-Baghdadi sebagai paradigma Aswaja versi NU. Modifikasi pemaknaan ini
diyakini sebagai ‘ijtihad’ yang
mencoba
mendudukkan beragam aliran dan firqah pada tempatnya, sambil mencari celah
untuk menemukan ‘jalur
tengah’
yang tidak memihak pada ekstremitas yang ada. Jalur tengah itu akhirnya
dijumpai dalam paradigma berpikir
yang
dibangun empat ulama madzhab dalam fiqih, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam
teologi, serta Al-Ghazali dan Al-
Junaid
Al-Baghdadi dalam tasawuf. Dengan koridor yang dirumuskan pada ulama itulah, NU
hadir menjadi sebuah
organisasi
dengan paradigma berpikir yang lepas dari aspeks ekstrem dengan Aswaja sebagai
paradigma dan kekuatan
doktrinalnya.
Aswaja diyakini membiaskan nilai-nilai yang mencoba menjembatani kesenjangan
antara dua ekstremitas.
Apa
yang disebut dengan tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan al-‘adalah
menjadi prinsip dalam mengemas
gagasan
dan melakoni tindakannya. Sayangnya, prinsip moderatisme kerap menjadi dalih
untuk menghakimi ‘yang lain’
sebagai
melampaui batas. Batas-batas moderatisme pun menjadi kabur, sebagaimana
kaburnya aliran dan firqah yang
dituding
sebagai ekstrem.
Rekomendasi
muktamar NU ke-31 di Solo menunjukkan kekaburan itu. Dalam butir rekomendasi
itu tertuang pernyataan
bahwa
Aswaja menolak segala bentuk fundamentalisme, ekstremisme, liberalisme, dan
aliran-aliran yang menyimpang.
Tidak
ada penjelasan apa, bagaimana, dan batas-batas fundamentalisme, liberalisme,
ekstremisme, dan aliran-aliran yang
menyimpang.
Kenyataan ini mengukuhkan penulis bahwa muktamar ke 31 seolah menjadi saksi
betapa fragementasi
ideologis
di kalangan warga nahdliyin begitu telanjang dan manifes. Liberalisme, fundamentalisme,
ekstremisme, dan
aliran
menyimpang di kalangan nahdliyin menjadi isu yang mengemuka, dan tidak jarang
diperhadapkan secara vis a vis
dengan
apa yang didakwa Aswaja yang diyakini membiaskan nilai-nilai moderat. Belum
lagi labelisasi liberal yang kerap
disematkan
pada anak muda, sementara di sisi yang lain fundamentalisme lebih dikaitkan
dengan alam pikir generasi tua.
Praktis,
ketegangan paradigmatis antara generasi tua dan muda kian tak terjembatani.
Sementara generasi tua a priori
menyikapi
kiprah anak muda, sebaliknya anak muda apatis dengan apa yang dilakoni generasi
tua. Ruang dialog
tersumbat,
dan yang terjadi adalah penghakiman.
Ketegangan
paradigmatik ini ujungnya membuahkan raibnya saling percaya antar generasi yang
berbeda. Kenyataan ini
tentu
saja kontra produktif dengan kenyataan betapa warna-warninya gagasan yang
bersemai di lingkungan NU tidak
serta-merta
tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai dinamika yang niscaya
terjadi. Tapi sayangnya, variasi
gagasan
sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab karya ulama salaf seolah kurang tampak
dalam konteks dinamika berpikir
di
lingkungan NU. Perdebatan yang produktif disertai argumentasi yang memadai
sebagaimana didedahkan dalam kitabkitab
otoiritatif
(al-kutub al-mu’tabarah) di lingkungan pesantren itu tidak membias dalam
tradisi berpikir kalangan
nahdliyin.
Malah yang terjadi kemudian adalah penunggalan cara berpijir dan bertindak atas
nama manhaj fikr NU.
Dirunut
dari sejarahnya, berdirinya NU sebagai sebuah institusi sosial keagamaan
merupakan produk alam pikir lain di
tengah
main stream alam pikir yang berkembang saat itu. Pertarungan pemahaman dan
perbedaan paradigma berpikir
yang
dikembangkan gerakan Wahabi yang diimpor ke tanah air bisa dijadikan titik
pijak benih-benih lahirnya NU.
Problem
khilafiyah yang bersumber dari perbedaan metode berpikir itu kemudian menjadi
landasan mendesaknya
terbentuknya
NU sebagai organisasi sosial keagamaan.
Atas
argumen untuk ‘menyelamatkan’ masyarakat dari sesat pikir yang ditudingkan
sebagian kelompok pada lainnya,
NU
hadir untuk mensinergikan ramuan Islam Timur Tengah yang dibawa para funding
fathers yang ngelmu ke sana
dengan
khazanah dan tradisi lokal (baca; tradisi nusantara) yang berkembang di tanah
air. Atas dasar ini pula, kehadiran
NU
merupakan institusionalisasi ‘metode berpikir’ yang dirumuskan para funding
fathers NU. Dan metode berpikir itu
tidak
pernah tunggal, melainkan beragam, sebagaimana beragamnya acuan kalangan
nahdliyin dalam bermadzhab,
berteologi,
dan bertasawuf.
Tentu
saja, ini bukanlah satu-satunya argumentasi yang mendasari lahirnya NU. Hal
lain, yang bisa jadi lebih penting,
juga
turut dalam mendesakkan perlunya sebuah organisasi sosial keagamaan yang
berbasis pada ulama: sebuah
komunitas
yang mewarisi kenabian (al-‘ulama warastatul anbiya’) adalah komitmen
pemberdayaan umat yang terpuruk
baik
secara ekonomi, pendidikan, dan moral. Nahdlatut Tujjar, Tashwirul Afkar, dan
Nahdlatul Wathon yang merupakan
unsur
‘pra organisasi’— meminjam istilah MM Billah—menjadi cikal bakal NU menjadi
organisasi. Meskipun, kata Billah,
unsur
nahdlatut tujjar yang memberikan perhatian pada peningkatan ekonomi warga NU
‘patah sebelum menjadi tunas
yang
subur di dalam struktur organisasi (Billah: 1998). Karena alasan ini pula,
Billah menengarai raibnya perhatian NU
terhadap
ekonomi warga.
Aswaja
sebagai manhaj fikr masih berupa rumusan-rumusan abstrak, dan sebagaimana
dinyatakan para petinggi NU,
rumusan
itu masih tersebar dalam kitab-kitab rujukan yang masih diwarisi kalangan
pesantren hingga kini. Memang ada
upaya
untuk merumuskan secara tertulis metode berpikir yang abstrak itu. Ini misalnya
dilakukan oleh KH. Ahmad
Shiddiq
yang saat itu menjadi Ketua Wilayah Partai NU Jawa Timur, pada tahun 1969 menyusun
konsep tentang Metode
Berpikir
Nahdlatul Ulama. Bisa jadi, ini adalah rumusan standar tentang “koridor
berpikir” warga Nahdliyin. Namun
juga
tidak menutup kemungkinan bahwa itu hanyalah “ijtihad” KH. Ahmad Shiddiq dalam
membaca dan menafsirkan
realitas
yang berkembang di NU. Lepas dari apakah Metode Berpikir NU yang dirumuskan KH.
Ahmad Shiddiq hanyalah
interpretasi
personal atau rumusan organisasional, yang jelas rumusan itu diproduksi ketika
NU berkiprah sebagai partai
politik.
Dalam perjalanan waktu, perubahan yang luar biasa dinamisnya terjadi tidak saja
di lingkungan NU, tapi di
kawasan
tanah air secara umum. Bagaimanapun, teks rumusan metode berpikir itu tidak
hadir dalam ruang hampa. Ia
hadir
dalam ruang dan waktu yang melingkupinya.
Jadi,
sangatlah tidak adil jika teks tersebut dimonumenkan dan lepas dari sentuhan
kekinian. Sebagai teks yang terbuka,
rumusan
metode berpikir itu terbuka untuk ditafsir. Dari tafsir itulah, generasi
selanjutnya membaca sekaligus
menerjemahkan
dalam wujud yang beragam. Ragam interpretasi itulah kemudian melahirkan ragam
kecenderungan di
internal
organisasi itu. Sungguhpun demikian, tidak semua bersepakat dengan tingkah
polah generasi ’penerjemah’ itu.
Tidak
sedikit yang keberatan, bahkan melabelinya sebagai tindakan liar yang lepas
dari koridor ke-NUan. Seiring dengan
perkembangan
NU dengan segala dinamikanya, ketegangan antara generasi tua dan generasi muda
semakin sulit
dipertemukan.
Munculnya ikon baru dalam pemikiran keislaman belakangan ini kian meruncingkan
kesenjangan antara
generasi
tua dan muda. Seolah liberalisme berpikir menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari generasi muda. Sungguhpun
demikian,
respons generasi tua tidak selalu tunggal. Terdapat beberapa kiai NU yang
mengecam keras para kader muda
NU
yang ditengarai berpaham liberal, namun ada pula para kiai yang
"memahami" hal itu dan menilainya sebagai
"kewajaran".
Seiring
dengan menguatnya arus radikalisme Islam di tanah air akhir-akhir ini, para
kiai NU juga semakin keras
mengecam
liberalisme Islam yang diusung generasi muda NU. Pasalnya, liberalisme Islam
didakwa tidak sesuai dengan
faham
NU. Mereka pun mendakwakan untuk "tazkiyah" (menyucikan) dari
unsur-unsur luar yang dipaksamasukkan (addakhil)
ke
dalam NU, semisal apa yang dilakukan oleh eksponen liberalisme Islam ini.
Propaganda anti liberalisme Islam
pun
disebar tidak saja ditujukan kepada para pengurus NU di forum-forum resmi,
tetapi juga di pengajianpengajian
umum.
Sayangnya,
kampanye anti liberalisme Islam ini tidak dilandasi dan dipayungi oleh
kejelasan yang terang benderang
tentang
koridor dan manhaj fikr NU. Dengan kata lain, batas-batas pemikiran yang
menandai seseorang masih NU atau
keluar
dari NU belum sepenuhnya dipancangkan. Hal ini menyebabkan munculnya generalisasi
terhadap anak-anak
muda
NU yang dikategorikan kemajon.(terlalu maju). Padahal bagi kaum muda,
mengembangkan pemikiran-pemikiran
baru
melalui ijtihad atau inovasi baru merupakan keharusan yang tidak bisa
dipungkiri. Tanpa upaya itu, maka akan
terjadi
kemandegan berpikir di lingkungan NU. Pada saat yang sama, generasi tua
diharapkan menjadi ’pemandu’ yang
bijak
dalam menyikapi kreasi yang beragam di kalangan anak mudanya. Bukan malah
mematahkan upaya inovatif yang
niscaya
dibebabkan pada anak mudanya. Dengan demikian, komunikasi timbalbalik harus
menjadi forum yang
memungkinkan
untuk bisa saling mengkomunikasikan peran dan tanggung jawabnya.[]
Prospektif
Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam NU 12/12/2007
Oleh
: Ahmad Damanhuri Tuanku Mudo
Nahdlatul
Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan
pada tanggal 16 Rajab 1344
H
(31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan
adalah pemimpin/pengasuh
pesantren.
Tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah
(Aswaja) dan menganut salah
satu
mazhab empat. Ini berarti NU adalah organisasi keagamaan yang secara
konstitusional membela dan
mempertahankan
Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel.
Sebagai
organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah wal Ijtima’iyah), NU merupakan
bagian integral dari wacana
pemikiran
suni. Terlebih lagi, jika kita telusuri lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya
NU memiliki pertautan sangat erat
dengan
para ulama “Haramain” (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki
Usmani yang ketika itu
berhaluan
Aswaja.
Selama
ini image masyarakat terhadap NU terlanjur miring dengan jargon sebagai kaum
tradisionalis, kolot, irasional dan
jumud
(stagnan) dalam pemikiran. Tentu saja image tersebut tidak berdasar. Jika NU
statis, bagaimana mungkin memiliki
umat
35 juta yang tersebar di seluruh tanah air dan memiliki kredo (kaidah hukum)
Al-Mukhafatdlatu ‘Ala Qadimish Shalih
Wal
Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan nilai dan tradisi lama yang dianggap
baik dan relevan, dan akomodatif
terhadap
nilai dan tradisi baru yang lebih baik). Bahkan seorang Ben Anderson (pakar
studi tentang Indonesia dari
Amerika)
mengeluhkan sedikitnya perhatian ilmiah yang diberikan pada NU. Padahal NU yang
dianggap sebagai simbol
Islam
tradisionalis, menurutnya, memainkan peran signifikan dalam berbagai perubahan
sosial dan politik di Indonesia.
Lebih
keras lagi Ben menuduh adanya prasangka ilmiah (scholarly prejudices) dalam
studi-studi Indonesia yang membuat
NU
terabaikan dan terisolasi.
Keadaan
agak tertolong, setelah NU secara yuridis menjustifikasikan satu keputusan
monumental bagi reformasi secara
kritis
dan analitis dalam institusi tertinggi dibawah Muktamar yaitu Musyawarah
Nasional Alim Ulama di Bandar
Lampung
pada tahun 1992. Dalam keputusan tersebut disepakati bahwa sistem pengambilan
keputusan hukum dalam
Bahsul
Masail Diniyah (pembahasan masalah-masalah agama) bisa dilaksanakan dengan pola
bermazhab secara qauli
(tekstual)
maupun manhaj (kontekstual). Hal ini memberikan kemungkinan untuk mengikuti
manhaj, jalan pikiran dan
kaidah
hukum yang telah disusun oleh para Imam mazhab. Begitupun dalam bidang akidah,
tidak mustahil terjadi
pembaharuan
pemikiran sepanjang sejalan dengan manhaj Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam
Abu Mansur Al-
Maturidi.
Pola berpikir semacam ini dapat diketahui pada pemikiran Al-Baqillani,
Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali,
Al-Syahrastani
dan Al-Razi.
Reinterpretasi
Aswaja NU
Secara
kebahasaan, Ahlussunnah Wal Jamaah dapat dikonsepsikan : Ahlun berarti pemeluk
aliran atau pengikut mazhab. Al-
Sunnah
berarti thariqat (jalan), sedangkan Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang
memiliki tujuan. Secara terminologi
dapat
didefenisikan bahwa Aswaja adalah orang yang memiliki metode berpikir keagamaan
yang mencakup semua aspek
kehidupan
yang berlandasan atas dasar-dasar moderasi, menjaga kesinambungan dan toleran,
dan shalat tarawih 23
rakaat.
Pandangan seperti itu pas betul dengan anggapan sementara orang luar NU
terhadap perilaku warga NU sendiri.
Prospektif
Aswaja NU
Diskursus
Aswaja dalam NU kurun 1994-sekarang ini terbilang cukup mengagetkan kalangan
ulama tua. Doktrin Aswaja
NU
selama ini dinilai sebagai sesuatu yang final dan haram hukumnya diperdebatkan
eksistensinya. Secara mengejutkan,
muncul
pemikiran baru tdntang perlunya rekonstruksi rumusan Aswaja NU untuk
mengantisipasi perkembangan
pemikiran
dalam bidang keagamaan yang melaju dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman.
Alasannya, konstruksi
fiqhiyyah
Aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive dalam menghadapi perubahan
sosial. Akan tetapi lain
halnya,
bila menelusuri doktrin Aswaja NU dalam bidang teologis, yang di dalamnya tidak
luntur sebagaimana
konstruksi
fiqh.
Pemikiran
nyeleneh yang disebut terakhir ini, sebenarnya akibat langsung dari pemikiran
KH. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur)
yang tradisionalis radikal (meminjam istilah Mitsuo Nakamura). Ia
mengkombinasikan sintesis yang canggih dari
apa
yang terbaik di dalam nilai-nilai modernitas dan komitmen terhadap rasionalitas
dan keulamaan maupun
kebudayaan
tradisional. Pemikiran radikal gaya Gus Dur kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh
NU diantaranya Prof. Dr.
KH.
Said Agil Siradj, MA, Masdar F Mas’udi dan Fajrul Falakh.
Salah
satu rekonstruksi Aswaja adalah pandangan bahwa doktrin Aswaja harus dipahami
sebagai Manhaj Al-Fikr atau
sebagai
metotologi berfikir, bukan Aswaja sebagai mazhab apalagi produk Mazhab. Ini
artinya, berpaham Aswaja berarti
bersikap
dengan menggunakan Manhaj Tawasuth, yaitu bersikap ditengah-tengah antara
pemahaman tektual dengan
rasionalisme,
bersikap dengan Manhaj Tawazun, berarti berpandangan keagamaan yang berusaha
mengembangkan, sikap
moderat
Aswaja tercermin pada metode pengambilan hukum (istimbat) yang tidak
semata-mata menggunakan nash,
namun
juga memperhatikan posisi akal. Dalam wacana berpikir selalu menjembatani
antara wahyu (nash) dan rasio (alra’yu).
Metode
seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat serta generasi
berikutnya dalam
menelurkan
hukum-hukum pranata sosial.
Sikap
lain yang ditunjukjan adalah tawazun atau sikap netral yang dalam berpolitik
yaitu tidak membenarkan kelompok
bergaris
keras (tatharruf), tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang lalim mereka
tidak segan-segan mengambil jarak
dan
mengadakan aliansi. Sedangkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, Aswaja
mempunyai sikap toleran (tasamuh)
yang
tampak dalam pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan
dan terhadap umat lain saling
menghargai.
Lebih
menarik, bila mengamati Aswaja dalam NU. Terminologi Aswaja masih memungkinkan
memerlukan reinterpretasi
(penafsiran
ulang). Hal ini karena rumusan baku Aswaja NU belum terlalu tegas. Dalam qanun
asasi (UUD) NU pun belum
ada
penjelasan yang mendasar mengenai rumusan Aswaja. Di dalamnya, KH. Hasyim
Asy’ari (Rais Akbar) menyebutkan
Madzahibul
Arba’ah (bukan salah satu dari empat mazhab). Penyebutan itu bertujuan agar
warga NU yang heterogen
wacana
pemikirannya tidak ta’asub. Ini artinya doktrin itu bukan kebenaran absolut,
yang tidak bisa menerima tawaran
pemikiran
baru. Landasan pikirnya, tentu karena hal itu masih merupakan wilayah
ijtihadiyah, sehingga mungkin saja
dibenarkan
jika kalangan NU itu sendiri melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks Aswaja
yang ada. Selama ini orang
NU
berpendapat bahwa berhaluan Aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar,
mendirikan madrasah, mengelola
ziarah
kemakam para ulama terdahulu, seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan Padang
Pariaman dan wali songo di pulau
Jawa,
tahlilan, manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan dalam menjalin
hubungan antara manusia dengan
tuhannya,
manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya. Hal inilah
yang menunjukkan bahwa
Aswaja
sangat prospektif, tidak mati karena perkembangan zaman.
Pemikir-pemikir
liberal yang disebut sebelumnya juga berimplikasi terhadap perkembangan
pemikiran NU di daerah
yang
tidak saja di dominasi oleh pemikiran kiai-ulama sepuh, tetapi gerak langkah
tokoh muda NU menghiasi wacana
baru
yang lebih progresif.
Menanggapi
fenomena di atas, sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era mendatang dan
kiranya perlu kesiapan
mental
menguasai elite NU agar dinamika pemikiran mereka tidak dipasung, dan atau
dibiarkan berkelana hingga sudut
langit
di awang-awang, tanpa bisa dibumikan dilingkungan jam’iyah NU yang selalu
berpegang kuat pada senjata
akomodatif
terhadap perkembangan baru yang lebih baik.
Pengurus
Departemen Agama dan Idiologi PW. GP. Ansor Sumbar
KONTEKSTUALISASI
ASWAJA
(dari
Doktrin ke Manhaj al Fikr )?
Oleh:
Abu Hafsin
Pendahuluan
Ahli
Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja) selama ini difahami sebagai sebagai suatu sekte
keagamaan terbesar dalam Islam
dan
diklaim sebagai aliran yang paling benar. Itulah karenanya pengikut Aswaja, yang
lebih sering disebut sebagai
kelompok
Sunny, sering dipandang oleh outsiders (para Islamolog yang bukan Islam)
sebagai orthodoxy (orthos
berarti
“benar” dan doxa berarti “pendapat”). Islam. Sedangkan kelompok di luar itu
diangap sebagai heterodox
(hetero
berarti “lain”). Jadi heterodoxy merupakan suatu aliran keagamaan yang diangap
berbeda dengan keyakinan
kebanyakan
orang. Dalam manifestasi kehidupan sosial, heterodoxy sering muncul dalam wujud
gerakan-gerakan
sempalan
yang berada di luar mainstream. Karenanya, dari sudut pandang ethimologis ini,
kelompok Syi’ah bisa
dikategorikan
sebagai kelompok heterodox. Namun bagaimanakah dengan kelompok sempalan, yang
gerakan
keagamaannya
berada di luar mainstream tetapi mengaku pengikut Aswaja? Bagaimana kalau
mereka yang
jumlahnya
tidak banyak itu justeru menuduh mayoritas Muslim sebagai kelompok yang tidak
mengikuti Aswaja?
Untuk
menjawab persoalan ini sudah selayaknya jika GP Ansor, sebagai komponen
generasi muda NU, mencoba
berpikir
serious mengenai perkembangan pemikiran keagamaan. Kesan selama ini bahwa Ansor
hanya sebagai batu
loncatan
untuk menaiki tangga politik, memang terrasa begitu kental. Kegiatan
intellectual nyaris terabaikan, dan
kalaupun
ada sepi dari peminat. Tulisan berikut ini tidak akan mencoba menjelaskan
mengapa kegiatan-kegiatan
Ansar
menjadi sangat pragmatic, tetapi hanya akan memberikan gambaran ilmiyah bahwa
Aswaja yang selama ini di
klaim
oleh NU dan seluruh badan otonomnya sebagai ruh pergerakan itu dapat dibenarkan
secara historis dan
ilmiyah.
Aswaja
yang Historis
Pendapat
bahwa Aswaja bukan sebagai doktrin merupakan pengingkaran terhadap kenyataan.
Pemahaman
keagamaan
yang tersebar dalam berbagai bidang ilmu-ilmu ke-Islam-an, seperti Fiqh
Theologi dan Sufisme, yang
sekarang
dianut oleh kebanyakan umat Islam merupakan doktrin Aswaja. Dengan demikian
jika Aswaja hanya diakui
sebagai
manhaj atau metoda pemahaman Islam, pendapat ini merupakan pengingkaran
terhadap kenyataan. Jadi
permasalahan
yang penting untuk dikembangkan bukan apajah Aswaja sebagai doktrin itu ada
atau tidak, tetapi
apakah
pembahasan Aswaja itu cukup mendasarkan pada wilayah doktrinal ataukah harus
pula membahas Aswaja
sebagai
sebuah metoda pemahaman keagamaan. Permasalahan lain yang tidak kalah
pentingnya adalah apakah
pembenaran
(justification) terhadap Aswaja itu cukup dengan pendekatan normatif?
Tradisi
pemikiran Islam yang ada sekarang (Fiqh, theologi, Sufisme dan lainya) tidak
lahir dari ruang hampa. Ia lahir
dari
suatu proses pergumulan yang panjang, yang sudah barang pasti terkait erat
dengan aspek-aspek sosio-kultural
serta
sosio-politik yang melingkupinya. Itulah karenanya untuk mendapatkan gambaran
utuh, pengkajian Aswaja
tidak
cukup hanya mengandalkan pada kajian-kajian doktrinal dengan pendekatan
normatif, tetapi harus melibatkan
kajian
kesejarahan. Kajian kesejarahan ini penting dilakukan untuk meluruskan
pola-pola pemahaman keagamaan
mana
yang historis dan mana yang ahistoris.
Ada
beberapa alasan mengapa kajian kesejarahan ini sangat penting. Pertama, banyak
umat Islam yang melihat
Aswaja
dengan berbagai variasinya hanya sebagai ideologi yang baku, seolah infallible
dan immune terhadap
perubahan
zaman. Dalam konteks ini Aswaja seringkali diartikan secara sederhana yakni
sebagai antitesa dari faham
Syi’ah,
orthodoxy dari heterodoxy atau sunnah dari bid’ah. Khusus di Indonesia, Aswaja
ini bahkan telah diklaim
sebagai
ideologi dari berbagai organisasi keagamaan. Meskipun diantara Ormas Islam yang
ada, NU dan badan
otonomnya
yang paling rajin mengkampanyekan dirinya sebagai penerus dan pemelihara faham
Aswaja, Ormasormas
Islam
lainnya juga telah mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja, baik secara
implisit maupun eksplisit.
Salah
satu keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa keputusan tentang
“iman merupakan akidah
ahlul
haqq wa al-sunnah”.Persis juga mengklalim dirinya lebih berhak menyandang
predikat Aswaja dengan alasan
bahwa
ia tidak bermadzhab (Said, 1999: 114). Dengan demikian klalim “ahlusunnah”
sebenarnya lebih pantas
disandang
mereka. Bahkan baru beberapa tahun yang lalu muncul fenomena baru yang sangat
menarik karena
kelompok
Muslim garis keras telah mengklaim dirinya secara eksplisit sebagai “kelompok
Jihad Aswaja”.
Di
tengah munculnya klaim Aswaja yang dilakukan berbagai organisasi kegamaan di
Indonesia saat ini, sudah
selayaknya
jika Ansor sebagai komponen generasi muda NU, memberikan pemaknaan yang benar
dari konteks
manhaji
(metodologis). Mengapa tidak dari sudut pandang doktrinal? Karena upaya
pemaknaan dan pendefinisian
kembali
(redefinisi) Aswaja secara doktrinal terkadang menimbulkan hal-hal yang
paradoksal. Doktrin merupakan
hasil
pemikiran seseorang yang kemudian terlembaga menjadi ajaran baku. Sudah barang
pasti dalam proses
pembakuan
ini terkait dan terpengaruh oleh kondisi waktu dan tempat. Doktrin yang
dihasilkan oleh para ulama
terdahulu
belum tentu tepat dengan kondisi sekarang. Justeru kalau kita memaknai Aswaja
dari sisi doktrinal, kita
akan
terjebak sendiri. Boleh jadi kita tidak lagi bisa dikatakan sebagai bagian dari
penganut Aswaja yang hakiki karena
telah
melakukan pemutlakan pembenaran doktrinal.
Alasan
kedua mengapa Aswaja tidak harus difahami dari sisi doktrinal ini didasarkan
atas suatu kenyataan bahwa
banyak
pendapat para Imam yang kita anggap sebagai rujukan tetapi berbeda tajam antara
satu sama lainnya.
Misalnya
al-Junaidi menyatakan bahwa peniadaan sifat-sifat Allah merupakan awal dari
sikap tawhid . Ini jelas akan
bertentangan
dengan faham Imam al-Asy’ari yang menyatakan bahwa Allah memiliki sifat. Inilah
yang menyulitkan
kita
untuk bisa memberikan pembenaran jika Aswaja difahami dalam konteks doktrinal.
Oleh karena itu, untuk
memberikan
pembenaran, perlu kiranya melihat Aswaja dalam konteks manhaj atau metodologi
pemahaman
keagamaan.
Ketiga,
dasar pembenaran Aswaja selama ini seringkali bersifat teologis normatif. Ada
dua Hadits riwayat Imam
Turmudzi
dan satu Hadits riwayat Imam Tabrani yang sering digunakan untuk membenarkan
Aswaja. Hadits-hadits
tersebut
menceritakan tentang akan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam sampai
73 kelompok sebagaimana
telah
terjadi di kalangan Yahudi dan Kristen. Dintara ke 73 kelompok itu semuanya
akan masuk Neraka kecuali satu
kelompok,
yakni kelompok pengikut Sunnah Nabi dan para Sahabatnya. Dalam Hadits yang
diriwayatkan oleh
Tabrani
bahkan disebutkan secara eksplisit bahwa yang satu kelompok itu adalah Ahlu
Sunah Wa al-Jama’ah.
Pembenaran
secara teologis-normatif tidak ada salahnya. Pendekatan normatif tidak harus
dihadapkan secara
diametrical
dengan pendekatan ilmiyah. Dalam banyak hal, keyakinan keagamaan juga perlu
mendapatkan
pembenaran
normatif. Dengan demikian persoalannya bukan tidak boleh menggunakan pendekatan
normatif untuk
mendukung
Aswaja tetapi sejauh mana pendekatan normatif itu berwatak coherent dan tidak
paradoxical.
Jika
diteliti secara mendalam, ketiga hadits pembenar Aswaja itu berwatak
paradoxical dan mungkin sekali lahir saat
umat
Islam dilanda perpecahan. Hadits-hadits itu muncul untuk tujuan penyatuan Umat
Islam yang sudah tercerai
berai
akibat perang saudara. Bahwa dalam Hadits-hadits tersebut terkandung tujuan
yang sangat mulia, memang
tidak
diragukan lagi. Namun dalam memenuhi tujuan yang mulia tersebut ada satu
prinsip yang terkorbankan, yakni
prinsip
kesucian Muhammad sebagai Rasulullah.
Kehadiran
Nabi Muhammad saw. di tengah masyarakat “Jahiliyah” sudah barang pasti tidak
bisa dipisahkan dari misi
kerasulan,
baik dalam wujud al-Qur’an maupun dalam bentuk prilaku pribadinya. Namun misi
kerasulan yang
dibawanya
itu seringkali berhadapan dengan kecenderungan umum masyarakat Jahiliyah yang
menganggap orang
sehebat
Nabi sejajar dengan para Kahin (tukang ramal). Itulah karenanya al-Qur’an
sangat berkepentingan untuk
membentengi
Nabi dari tuduhan sebagai Kahin dengan pernyataan yang tegas bahwa apa yang
dibawa Nabi benarbenar
merupakan
wahyu Allah. Kalau al-Qur’an mencoba meyakinkan masyarakat Arab pra-Islam bahwa
apa yang
dibawa
oleh Nabi itu benar-benar wahyu serta mencoba menjaga Nabi agar terhindar dari
tuduhan sebagai peramal,
pertanyaannya
apakah logis jika Nabi kemudian banyak menyatakan hal-hal yang prediktif?
Bukankah hal demikian
ini
bertentangan dengan logika umum yang tersimpul dari al-Qur’an itu sendiri?
Sudah barang tentu hal ini tidak
mungkin
dilakukan Rasulullah. Itulah karenanya hadits-hadits yang bersifat prediktif
ini sulit untuk bisa diterima
sebagai
landasan normatif untuk membenarkan Aswaja.
Dengan
bersandar pada ketiga alasan di atas, pembenaran atas Aswaja harus dilihat dari
aspek kesejarahan. Dari hasil
pendekatan
kesejarahan ini kemudian Aswaja di rekonstruksi menjadi konsep-konsep yang
abstrak. Konsep-konsep
abstrak
inilah yang akan kita jadikan sebagai pola atau model pemahaman keagamaan.
Inilah yang kami maksudkan
Aswaja
sebagai metoda pemahaman keagamaan Islam.
Pemahaman
Aswaja Sebagai Manhaj al Fikr
Dalam
tradisi umat Islam di Indonesia, khususnya NU, penganut Aswaja biasanya
didefinisikan sebagai orang yang
mengikuti
salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam bidang
Fiqh, mengikuti Imam al-
Asy’ari
dan Maturidi dalam bidang akidah dan mengikuti al-Junaydi dan al-Ghazali dalam
bidang tasawwuf. Sejauh
pengetahuan
penulis, definisi ini pertama kali dirumuskan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari sebagaimana
tertuang
dalam Qonun Asasi NU.
Secara
doktrinal, pengertian Aswaja di atas sama sekali tidak salah. Pengertian ini
merupakan definisi operasional
yang
ditujukan untuk memudahkan pemahaman Aswaja. Definisi ini memang diperuntukkan
bagi mereka yang,
karena
profesi dan tingkat keilmuan yang dimiliknya, tidak mungkin melakukan penelitian
kesejarahan terhadap
Aswaja.
Jadi untuk memudahkan pemahaman, maka disediakanlah jawaban yang praktis
operasional. Ini seperti Nabi
yang
ditanya Malaikat Jibril tentang pengertian Iman, Islam dan Ihsan. Jawaban yang
diberikan Nabi merupakan
jawaban
praktis operasional. Meskipun Nabi yakin persoalan iman tidaklah sesederhana
seperti yang
digambarkannya,
Nabi tidak memberikan pengertian yang njlimet, abstract dan filosofis.
Pengertian yang demikian ini
bukan
merupakan konsumsi masyarakat awam. Jadi kalau Nabi memberikan definisi yang
susah difahami awam,
malah
justeru dapat mengkaburkan misi dakwah Islamiyahnya. Dengan demikian apa yang
telah dilakukan oleh
Hadratus
Syaikh Hasyim Asy’ari dengan pemberian definisi operasional Aswaja di atas
sebenarnya merupakan sikap
yang
sangat bijak, yang didasarkan atas kenyataan bahwa kebanyakan umat Islam di
Indonesia saat itu belum
memungkinkan
untuk bisa dibawa ke alam pemikiran Aswaja sebagai sebuah manhaj al fikr.
Pola
pendekatan Aswaja sebagai manhaj bisa dilakukan dengan cara melihat setting
sosio-politik dan kultural saat
doktrin
itu lahir. Dengan demikian, dalam konteks Fiqh, misalnya, yang harus dijadikan
dasar pertimbangan bukanlah
produknya
melainkan bagaimana kondisi sosial politik dan budaya ketika Imam Hanafi, Imam
Malik, Imam Syafi’i
dan
Imam Hanbali melahirkan pemikiran Fiqhnya. Dalam bidang teologi maupun Tasawwuf
juga harus dilakukan hal
yang
sama. Bukan apa doktrin yang ditawarkan oleh al-Asy’ari dan al-Maturudi,
al-Junaidi dan al-Ghazali, tetapi
pertanyaannya
bagaimana kondisi sosial politik maupun budaya yang telah melahirkan doktrin
tersebut. Jika kita
sepakat
dengan proses kontekstualisasi ini, maka pemaknaan Aswaja jelas menghendaki
kemampuan untuk
melakukan
pemaknaan kembali terhadap fakta-fakta sejarah yang melatar-belakangi lahirnya
doktrin Aswaja.
Berangkat
dari pola pendekatan di atas, yang paling penting dalam memahami Aswaja sebagai
manhaj adalah
menagkap
makna dari latar belakang kesejarahan untuk kemudian disarikan menjadi sebuah
karakter yang mendasari
tingkah
laku dalam ber-Islam, dalam bernegara dan berbangsa. Atas dasar inilah KH.
Ahmad Siddiq (al-maghfur lah)
benar
sekali ketika merumuskan karakter Aswaja kedalam tiga sikap, yakni; tawasuth,
i’tidal dan tawazun
(pertengahan,
tegak lurus dan keseimbangan). Ketiga karakter inilah yang menjadi kerangka
acuan Aswaja baik dalam
mensikapi
permasalahan-permasalahan keagamaan maupun politik. Dan inilah yang sebenarnya
menjadi inti dari cara
memahami
Aswaja sebagai rebuah manhaj al fikr.
Selain
ketiga karakter di atas, sebenarnya terdapat satu karakter lainya yang jarang
diungkap yakni watak Aswaja
yang
cenderung mementingkan stabilitas sosial. Watak ini sepintas memang dipandang
kurang progresif dan bahkan
terkesan
stagnan. Ini sudah menjadi konsekuensi dari kelompok besar. Karena besarnya
itulah gerakan Aswaja
menjadi
tidak lincah sebagaimana gerakan rasionalis Mu’tazilah atau gerakan ekstrimis
Khawarij. Jadi persoalan yang
selalu
dihadapi kelompok pengikut Aswaja itu memang sangat kompleks, yakni bagaimana
menciptakan stabilitas
untuk
kelompok masyarakat yang memiliki tingkat heterogenitas tinggi.
Kesimpulan
bahwa Aswaja memiliki karakter tawasuth, i’tidal, tawazun dan mementingkan
stabilitas ini bukan tanpa
bukti
kesejarahan. Semuanya dapat dilacak melalui sejarah kemunculannya. Pertengahan
abad kedua Hijriayah
mungkin
menjadi waktu yang tepat sebagai starting point pelacakan lahirnya Aswaja.
Dianggap tepat karena
masyarakat
Islam saat itu terpecah menjadi beberapa faksi akibat perang Siffin, perang
antara Imam Ali dan
Mu’awiyah
b. Abi Sufyan yang terjadi pada bulan Mei tahun 657.
Perang
Sifin telah membuat mamsyarakat Muslim terpecah paling tidak menjadi empat
kelompok, yakni kelompok Ali
kw,
kelompok Mu’awiyah, kelompok khawarij dan kelompok Murjiah. Kelompok Murji’ah
inilah yang sering disebut
sebagai
proto sunny atau cikal bakal Sunny. Ia merupakan kelompok mayoritas yang tidak
mau terlibat dalam urusan
politik
praktis. Fungsi sosial mereka adalah penyeimbang diantara berbagai faksi yang
bertikai. Mereka lebih
menyibukkan
pada gerakan moral dan kultural serta pengembangan ilmu pengetahuan. Diantara
tokoh Sahabat Nabi
yang
menempatkan dirinya pada posisi netral adalah Abdullah b. Umar, Abi Bakrah,
Imran b. Husein Muhammad b.
Shalah,
Sa’ad b. Abi Waqas dan lainnya yang pada saat terbunuhnya Usman b. Affan mulai
menjauhkan diri dari
urusan
politik.
Pada
masa Tabi’in, kelompok netralis ini masih tetap konsisten dengan
gerakan-gerakan kulturalnya. Meskipun
diantara
mereka ada beberapa yang terjebak dalam watak ekstrim “ke-murjiahan-nya”,
secara komunal mereka masih
menjadi
bagian dari kelompok mayoritas netralis. Imam Abu Hanifah (w. 150/767) saat
menentang pendapat ekstim
kelompok
Khawarij memberikan simpati terhadap kalangan murjiah tersebut. Ia mengaku
bahwa pendapatnya itu
sama
seperti pendapat Ahlul ‘Adli was Sunnah. Labih jauh Abu Hanifah mengatakan
“Berkenaan dengan julukan
Murjit
yang engkau berikan (sehubungan dengan pendapatku) maka apakah dosa dari
orang-orang yang berbicara
dengan
adil (‘adil) dan yang oleh orang-orang yang menyimpang, sekalipun dijuluki
demikian (‘adl)? Sebaliknya
mereka
ini (bukan Murjit-Murjit tetapi) adalah orang-orang penengah (‘adl) yang berada
di jalan tengah” (Rahman,
1984:5).
Karena inilah al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyin (1980:138) memasukkan Abu
Hanifah sebagai kelompok
Murjiah.
Watak
Aswaja yang sangat menekankan pada pentingnya arti keseimbangan serta
stabilitas sosial bahkan lebih terlihat
lagi
dari suatu konsepsi keagamaan yang sangat mengedepankan makna konsensus
(ijma’). Dari kata-kata Ahli
Sunnah
waljama’ah itu sendiri secara eksplisit menunjukkan bahwa kesepakatan sosial
merupakan hal yang sangat
penting
dalam memahami Islam. Dengan penelitian sepintas terhadap al-Muwatha karya Imam
Malik b. Anas
misalnya,
kita dapat langsung faham bahwa kesepakatan sosial mendapatkan ruang yang cukup
leluasa. Setelah
mengutip
hadith Nabi, Imam Malik sering memberikan komentar yang merujuk pada praktek
masyarakat Madinah.
Komentar-komentar
itu biasanya diiucapkan dalam rangkaian kata-kata “qad madlat al-sunnah,
al-sunnah ‘indana, alsunnah
allati
la ikhtilafa ‘indana, al-amru almujtama ‘alaih indana, al-amru alladhi la
ikhtilafa fihi ‘indana”. Ini
menunjukkan
bahwa Imam Malik memandang kesepakatan sosial menjadi bagian dari mekanisme
pemahaman
keagamaan.
Proses
pembentukan kesepakatan sosial yang terjadi secara alami ini kemudian disanggah
oleh Imam al-Syafi’i. Ia
tidak
mau menggunakan tradisi yang hidup (kesepakatan sosial) sebagai sandaran untuk
membangun hukum Islam.
Ia
kemudian mengambil langkah dengan cara melakukan formalisasi kesepakatan sosial
kedalam bentuk Ijma’.
Kesepakatan
sosial yang pada masa Imam Malik berorientasi ke depan dan terjadi secara
informal (sukuti), menjadi
ijma
yang berorientasi ke belakang dan berwatak formal.
Bukan
saat yang tepat untuk membicarakan secara detail pola-pola pendekatan Ushuli
baik yang dilakukan oleh Imam
Malik
maupun al-Syafi’i. Dengan gambaran singkat di atas, kami hanya ingin
menunjukkan bahwa baik Imam Malik
maupun
al-Syafi’i, meskipun berbeda secara mendasar, tatapi memiliki concern yang sama
dalam mensikapi arti
pentingnya
sebuah jama’ah. Jadi meskipun Imam al-Syafi’i lah yang memotong proses
pembentukan sunnah dalam
pengertian
tradisi yang hidup (living radition) dan telah menghentikan aktivitas ro’y
sebagai alat untuk menafsirkan
Sunnah
Nabi menjadi Sunnah yang hidup, motivasinya jelas untuk tujuan stabilitas
jama’ah (social stability). Bisa
dibayangkan,
betapa kacaunya pemahaman keagamaan jika Imam al-Syafi’i tidak melakukan hal
demikian. Jadi
konsep
stabilitas jama’ah inilah yang menjadi watak Aswaja, dan inilah inti Aswaja
sebagai sebuah metoda
pemahaman
keagamaan.
Penutup
Pemahaman
Aswaja di kalangan warga NU sudah saatnya dilakukan perubahan orientasi dari
Aswaja sebagai doktrin
menjadi
Aswaja sebagai metoda pemahaman keagamaan. Hal ini penting dilakukan guna
memberikan pemaknaan
konteks
kesejarahan yang benar terhadap Aswaja. Karakter Aswaja yang tawasut, i’tidal,
tawazun dan penekanannya
pada
stabilitas jama’ah itu secara historis ilmiyah dapat dipertanggung-jawabkan.
Karena ekstrimitas (tatharruf) tidak
dikenal
dalam sejarah Aswaja, maka aliran Islam keras yang mengklaim dirinya selaku
penganut Aswaja bukan hanya
paradoksal
tetapi ahistoris.
Melakukan
kajian kesejarahan terhadap Aswaja dengan bantuan ilmu-ilmu sosial sebagai
pisau analisanya sangat
perlu
dilakukan. Dengan demikian, saat kita harus melakukan pembenaran doktrinal,
pembenaran itu tidak terkesan
normatif,
apologetik dan emosional tetapi benar-benar suatu pembenaran yang didasarkan
pada cara-cara ilmiyah.
Untuk
tujuan ini, sudah selayaknya jika GP Ansar sebagai angkatan muda NU memiliki
keperdulian untuk
mengususng
gerakan akademik ilmiyah yang selama ini terrasa sudah mati. Munculnya berbagai
macam kelompok
yang
mengatas-namakan pengikut Aswaja, tidak hanya cukup disikapi secara bijaksana
tetapi juga harus disertai
dengan
argumen-argumen ilmiyah.
Jum`at,
18 Mei 2007 00:00:00
Oleh
: Ust. A. Zainul Hakim,SEI.
I.
PENGERTIAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
ASWAJA
sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa
Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh
Rasululloh
SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Abu Dawud bahwa :"Bani
Israil
terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah menjadi 73
golongan, kesemuanya masuk
nereka
kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah
mereka itu wahai rasululloh?", lalu
Rosululloh
menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka
yang mengikuti apa saja yang aku
lakukan
dan juga dilakukan oleh para sahabatku.
Dalam
hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah
golongan yang mengikuti apa
yang
dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak
sekedar kita maknai secara tekstual,
tetapi
karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka
"Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau
Ahli
Sunnah Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin
Nushus Wa Tafsiriha" ( metode atau
cara
memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).
Dari
pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak
zaman Rasululloh SAW. Jadi
bukanlah
sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang
dikaitkan dengan lahirnya kosep
Aqidah
Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari
(Wafat : 935 M) dan Imam
Abu
Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang
pemahamannya dibidang
aqidah
sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat,
dan bahkan banyak dipengaruhi
oleh
kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
II.
RUANG LINGKUP KERANGKA BERFIKIR ASWAJA
Ahli
Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang
Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Ketiganya
merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun Hadist dan
kemudian menjadi satu
kesatuan
konsep ajaran ASWAJA.
Dilingkunagn
ASWAJA sendiri terdapat kesepakatan dan perbedaan. Namun perbedaan itu sebatas
pada penerapan dari
prinsip-prinsip
yang disepakati karena adanya perbedaan dalam penafsiran sebagaimana dijelaskan
dalam kitab Ushulul
Fiqh
dan Tafsirun Nushus. Perbedaan yang terjadi diantara kelompok Ahli Sunnah Wal
Jama'ah tidaklah mengakibatkan
keluar
dari golongan ASWAJA sepanjang masih menggunakan metode yang disepakati sebagai
Manhajul Jami' . Hal ini di
dasarkan
pada Sabda Rosululloh SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim :
"Apabila seorang hakim
berijtihad
kemudian ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila dia
salah maka ia hanya
mendapatkan
satu pahala". Oleh sebab itu antara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah
walaupun terjadi perbedaan
diantara
mereka, tidak boleh saling mengkafirkan, memfasikkan atau membid'ahkan.
Adapun
kelompok yang keluar dari garis yang disepakati dalam menggunakan Manhajul
jami' yaitu metode yang
diwariskan
oleh oleh para sahabat dan tabi'in juga tidak boleh secara serta merta
mengkafirkan mereka sepanjang mereka
masih
mengakui pokok-pokok ajaran Islam, tetapi sebagian ulama menempatkan kelompok
ini sebagai Ahlil Bid'ah atau
Ahlil
Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari sebagaimana
pernyataan beliau yang
memasukkan
Syi'ah Imamiah dan Zaidiyyah termasuk kedalam kelompok Ahlul Bid'ah.
III.
KERANGKA PENILAIAN ASWAJA
Ditinjau
dari pemahaman diatas bahwa didalam konsep ajaran Ahli Sunnah Wal Jama'ah
terdapat hal-hal yang disepakati
dan
yang diperselisihkan. Dari hal-hal yang disepakati terdiri dari disepakati
kebenarannya dan disepakati
penyimpangannya.
Beberapa
hal yang disepakati kebenarannya itu antara lain bahwa;
1.
Ajaran Islam diambil dari Al-Qur'an, Hadist Nabi serta ijma' (kesepakatan para
sahabat/Ulama)
2.
Sifat-sifat Allah seperti Sama', Bashar dan Kalam merupakan sifat-sifat Allah
yang Qodim.
3.
Tidak ada yang menyerupai Allah baik dzat, sifat maupun 'Af'alnya.
4.
Alloh adalah dzat yang menjadikan segala sesuatu kebaikan dan keburukan
termasuk segala perbuatan manusia
adalah
kewhendak Allah, dan segala sesuatu yang terjadi rebab Qodlo' dan Qodharnya
Allah.
5.
Perbuatan dosa baik kecil maupun besar tidaklah menyebabkan orang muslim
menjadi kafir sepanjang tidak
mengingkari
apa yang telah diwajibkan oleh Allah atau menghalalkan apa saja yang
diharamkan-Nya.
6.
Mencintai para sahabat Rasulillahmerupakan sebuah kewajiban, termasuk juga
meyakini bahwa kekhalifahan
setelah
Rasulillah secara berturut-turut yakni sahabat Abu Bakar Assiddiq, Umar Bin
Khattab, Ustman Bin "Affan
dan
Sayyidina "Ali Bin Abi Thalib.
7.
Bahwa Amar ma'ruf dan Nahi mungkar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh setiap muslim
termasuk
kepada para penguasa.
Hal-hal
yang disepakati kesesatan dan penyimpangannya antara lain :
1.
Mengingkari kekhalifahan Abu Bakar Assiddiq dan Umar Bin Khattab kemudian
menyatakan bahwa Sayyidina
Ali
Bin Abi Thalib memperoleh "Shifatin Nubuwwah" (sifat-sifat kenabian)
seperti wahyu, 'ismah dan lain-lain.
2.
Menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan keluar dari
Islam seperti yang dianut
oleh
kalangan Khawarij, bahkan mereka mengkafirkan Sayyidina Ali karena berdamai
dengan Mu'awiyah.
3.
Perbuatan dosa betapapun besarnya tidaklah menjadi masalah serta tidak menodai
iman. Pendapat ini
merupakan
pendapat kaum murji'ah dan Abahiyyun.
4.
Melakukan penta'wilan terhadap Nash Al-Qur'an maupun Hadist yang tidak
bersumber pada kaidah-kaidah
Bahasa
Arab yang benar. Seperti menghilangkan sifat-sifat ilahiyyah (Ta'thil) antara
lain menghilangkan Al-Yad,
Al-Istiwa',
Al-Maji' padahal disebut secara sarih (jelas) dalah ayat suci Al-Qur'an, hanya
dengan dalih untuk
mensucikan
Allah dari segala bentuk penyerupaan (tasybih).
IV.
PERKEMBANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Pada
periode pertama, yakni periode para sahabat dan tabi'in pada dasarnya memiliki
dua kecenderungan dalam
menyikapi
berbagai perkembangan pemikiran dalam merumuskan konsep-konsep keagamaan,
terutama yang
menyangkut
masalah Aqidah. Kelompok pertama senantiasa berpegang teguh kepada nash Qur'an
dan Hadist dan tidak
mau
mendiskusikannya. Kelompok ini dipelopori oleh antara lain; Umar Bin Khottob,
'Abdulloh Bin 'Umar, Zaid Bin
Tsabit
Dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan tabi'in tercatat antara lain Sofyan
Tsauri, Auza'I, Malik Bin Anas, dan
Ahmad
Bin Hambal. Jika mereka menyaksiksn sekelompok orang yang berani mendiskusikan
atau memperdebatkan
masalah-masalah
aqidah, mereka marah dan menyebutnya sebagai melakukan "Bid'ah
Mungkarah" .
Adapun
kelompok yang kedua adalah kelompok yang memilih untuk melakukan pembahasan dan
berdiskusi untuk
menghilangkan
kerancuan pemahaman serta memelihara Aqidah Islamiyah dari berbagai
penyimpangan. Diantara yang
termasuk
dalam kelompok ini adalah antara lain ; Ali Bin Abi Thalib, 'Abdulloh Bin
'Abbas dan lain-lain. Sedangkan dari
kalangan
tabi'in tercatat antara lain Hasan Bashri, Abu Hanifah, Harish Al-Muhasibi dan
Abu Tsaur.
Kelompok
kedua ini juga merasa terpanggil untuk menanggapi berbagai keadaan yang
dihadapi baik yaang menyangkut
masalah
Aqidah, Fiqh maupun Tasawuf karena adanya kekhawatiran terhadap munculnya dua
sikap yang ekstrim.
Pertama
adalah kelompok yang terlampau sangat hati-hati yang kemudian disebut sebagai
"Kelompok Tafrith" Kelompok
ini
memahami agama murni mengikuti Rasulillah dan para sahabatnya secara tekstual.
Mereka tidak mau memberikan
ta'wil
atau tafsir karena kuawatir melampaui batas-batas yang diperbolehkan. Sedangkan
yang kedua yaitu kelompok
yang
menggunakan kemaslahatan dan menuruti kebutuhan perkembangan secara berlebihan
dan kelompok ini disebut
dengan
"kelompok Ifrath"
Dalam
berbagai diskusi dan perdebatan, kelompok kedua ini tidak jarang menggunakan
dalil-dalil manthiqi (deplomasi)
dan
ta'wil majazi. Pendekatan ini terpaksa dilakukan dalam rangka memelihara Aqidah
dari penyimpangan dengan
menggunakan
cara-cara yang dapat difahami oleh masyarakat banyak ketika itu, namun tetap
berjalan diatas manhaj
sahaby
sesuai dengan anjuran Nabi dalam sebuah sabdanya : "Kallimunnas Bima
Ya'rifuhu Wada'u Yunkiruna.
Aturiiduna
ayyukadzibuhumuLlahu wa rasuluh" (Bicaralah kamu dengan manusia dengan apa
saja yang mereka mampu
memahaminya,
dan tinggalkanlah apa yang mereka ingkari. Apakah kalian mau kalau Allah dan
Rasul-Nya itu
dibohongkan?.
Sebuah hadis marfu' yang diriwayatkan oleh Abu Mansur Al-Dailami, atau menurut
Imam Bukhari
dimauqufkan
kepada Sayyidina Ali RA.
Strategi
dan cara yang begitu adaptif inilah yang terus dikembangkan oleh para pemikir
Ahli Sunnah Wal Jama'ah dalam
merespon
berbagai perkembangan sosial, agar dapat menghindari berbagai benturan antara
teks-teks agama dengan
kondisi
sosial masyarakat yang berubah-rubah.
Sehubungan
dengan strategi ini, mengikuti sahabat bukanlah dalam arti mengikuti secara
tekstual melainkan mengikuti
Manhaj
atau metode berfikirnya para sahabat. Bahkan menurut Imam Al-Qorofi, kaku
terhadap teks-teks manqulat (yang
langsung
dinuqil dari para sahabat) merupakan satu bentuk kesesatan tersendiri, karena
ia tidak akan mampu memahami
apa
yang dikehendaki oleh Ulama-ulama Salaf.. (Al-jumud 'Alal mankulat Abadab
dhalaalun Fiddiin wa Jahlun
Bimaqooshidi
Ulamaa'il Muslimin wa Salafil Maadhin).
V.
KEBANGKITAN (AN-NAHDHAH) AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Sebagaimana
dinyatakan dimuka, bahwa ASWAJA sebenarnya bukanlah madzhab tetapi hanyalah
Manhajul Fikr
(metodologi
berfikir) atau faham saja yang didalamnya masih memuat banyak alaiaran dan
madzhab. Faham tersebut
sangat
lentur, fleksibel, tawassuth, I'tidal, tasamuh dan tawazun. Hal ini tercermin
dari sikap Ahli Sunnah Wal Jama'ah
yang
mendahulukan Nash namun juga memberikan porsi yang longgar terhadap akal, tidak
mengenal tatharruf (ekstrim),
tidak
kaku, tidak jumud (mandeg), tidak eksklusif, tidak elitis, tidak gampang
mengkafirkan ahlul qiblat, tidak gampang
membid'ahkan
berbagai tradisi dan perkara baru yang muncul dalam semua aspek kehidupan, baik
aqidah, muamalah,
akhlaq,
sosial, politik, budaya dan lain-lain. Kelenturan ASWAJA inilah barangkali yang
bisa menghantarkan faham ini
diterima
oleh mayoritas umat Islam khususnya di Indonesia baik mereka itu orng yang ber
ORMASkan NU,
Muhammadiah,
SI, Sarekat Islam maupun yang lainnya.
Wal
hasil salah satu karakter ASWAJA yang sangat dominan adalah "Selalu bisa
beradaptasi dengan situasi dan kondisi".
Langkah
Al-Asy'ari dalam mengemas ASWAJA pada masa paska pemerintahan Al-Mutawakkil
setelah puluhan tahun
mengikuti
Mu'tazilah merupakan pemikiran cemerlang Al-As'ari dalam menyelamatkan umat
Islam ketika itu. Kemudian
disusul
oleh Al-Maturidi, Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid Al-Asyari
merumuskan kembali ajaran
ASWAJA
yang lebih condong pada rasional juga merupakan usaha adaptasi Ahli Sunnah Wal
Jama'ah. Begitu pula usaha
Al-Ghazali
yang menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang tasawwuf juga merupakan
bukti kedinamisan dan
kondusifnya
Ajaran ASWAJA. Hatta Hadratus Syaikh KH. Hasim Asy'ari yang memberikan batasa
ASWAJA
sebagaimana
yang dipegangi oleh NU saat ini sebenarnya juga merupakan pemikiran cemerlang
yang sangat kondusif.
Bagaimana
pilar-pilar pemikiran KH. Hasyim Asy'ari tentang Ahli Sunnah Wal Jama'ah? Bisa
dilihat pada : kitab
karangan
KH. Hasyim Asy'ari yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penulis
(Ust. A. Zainul Hakim,SEI
12
Juni 2007
Ikhtiar
Pemahaman Epistemologis
(Kajian
Aswaja) Oleh: Ach Syaiful A’la
Secara
terminologis, Aswaja merujuk terhadap suatu kelompok yang selalu berpegang
teguh terhadap Al-Quran dan
Sunnah
serta tradisi sahabat. Penyebutan bagi tiap kelompok tersebut berbeda-beda.
Ahmad Amin misalnya, dalam
“Dluha
al-Islam” menyebut kelompok tersebut dengan ahlul haq (kelompok yang benar).
Sedangkan Imam Hasan al-
Asy’ari
dalam “Maqalatul Islamiyyin” menyebut kelompok tersebut dengan “as-Sawad
al-A’dzam” (kelompok
mayoritas),
mengutip sebuah Hadits yang berbunyi “Ittabi’u al-Sawadal A’dzam” (Ikutilah
kelmpok yang terbesar).
Ahlts
sunnah wal jama’ah sendiri dimunculkan KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya
“Al-Qanun al-Asasi li Nahdlati
al-Ulama”,
sebagai penggambaran dari keberpihakan Nahdlatul Ulama terhadap faham
keislamanan yang digariskan
oleh
Nabi Muhammad dan Sahabatnya.
Ada
dua prinsip ajaran Ahlussunnah wal jama’ah. Yaitu: pertama penerimaan terhadap
Al-Quran dan al-Hadits secara
taken
for quaranted dengan cara melestarikan tradisi (sunnah) yang kembangkan oleh
Nabi. Kedua penghargaan
terhadap
tradisi (al-turats) yang berkembang pada masa sahabat, tabi’in dan seterusnya.
kedua ajaran tersebut
merupakan
al-Tsaurah al-Ta’limiyah (kekayaan ajaran) bagi Nahdlatul Ulama sebagaimana
yang digariskan KH
Hasyim
Asy’ari.
Di
NU, terdapat penghargaan yang luar biasa terhadap ulama salaf karena mereka
dianggap sebagai penerus tradisi
Nabi.
Penerimaan mereka terhadap mazhab merupakan satu indikasi bahwa dalam hal
pemikiran mereka mengikuti
ulama
(mujtahid) yang telah diyakini memiliki kualifikasi keilmuan yang sangat
tinggi. Inilah yang membedakan NU
dengan
Muhammadiyah.
Muhammadiyah
dalam Majmu’ah Majlis Tarjih Muhammadiyah, menganggap mazhab tidak lebih
sebagai rujukan
sekunder
dalam pemikiran hukum Islam. Dengan kata lain, Muhammadiyah menganggap bahwa
setiap orang dapat
memiliki
kualifikasi keilmuan tersendiri tanpa harus berpijak pada mazhab, dengan
doktrin “al-Ruju’ ila al-Kitab wa
al-Sunnah”.
Namun begitu Muhammadiyah menyebut kelompoknya dengan ahlul haq, sebuah
kelompok yang
konsisten
melestarikan ajaran Nabi Muhammad. Maka apakah Ahlussunnah wal Jama’ah itu?.
Lalu, siapakah yang
tergolong
ke dalam ahlussunnah wal-jama’ah?
Membongkar
Ambigu
Dalam
Ensiklopedi Arab (al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah), didefinisikan bahwa
ahlussunnah wal jamaah itu
sebagai:
“al-Sunnah secara etimologis bermakna al-tariqah (jalan atau aliran). Dan
secara terminologis semua yang
datang
dari Nabi SAW. Baik dalam bentuk sabda, perbuatan maupun pengakuan. Ahlussunnah
wal Jamaah adalah
mereka
yang berpegang teguh pada ajaran tersebut, sekaligus membela dan
mempertahankannya.
Dr.
Jalal M Abdul Hamid Musa, mengemukakan ciri wawasan ahlussunnah wal jamaah
dengan: “mengikuti jalan atau
aliran
para Sahabat dan Tabi’ien dalam berserah diri dalam menghadapi masalah-masalah
mutasyabihat yang terdapat
di
dalam Al-Quran, dan menyerahkan hakikat artinya kepada Allah sendiri, tidak
suka mengembangkan pengertian
metaforis
(ta’wil) seperti kebiasaan Mu’tazilah”. Kata al-Jama’ah dalam konteks ini
diartikan sebagai pencirian bahwa
mereka
menggunakan dalil-dalil syar’iyah berupa kitabullah, sunnah rasul, ijma’ dan
qiyas, mereka memandangnya
sebagai
hal yang prinsip.
Penggambaran
di atas merupakan metode pendekatan terhadap pemahaman yang berkembang di
kalangan
Ahlussunnah
wal jama’ah yang dinisbatkan kepada Hasan al-Asy’ari. Dengan demikian berarti
sebenarnya
merupakan
aliran pemikiran (the school of thought) yang memiliki kerangka tersendiri
dengan tetap mengacu kepada
Al-Quran
dan al-Sunnah. Dengan sendirinya Ahlussunah wal-jama’ah bukanlah mazhab,
sebagaimana polemik yang
terjadi
belakanan ini. Dr. Sa’id Aqil berargumentasi bahwa kalau ahlussunnah wal
jama’ah itu adalah mazhab, maka
ada
mazhab di dalam mazhab dan ini tidak dibenarkan. Selanjutnya dia mengemukakan
bahwa Ahlussunnah wal
jama’ah
adalah manhaj al-fikr (kerangka berfikir) dengan metodologi konsistensti
terhadap akar tradisi Nabi dan
Sahabatnya.
Rasulullah
sendiri tidak pernah merujuk secara spesifik terhadap firqah yang dimaksudkan
sebagai al-firqah alnajiyah
(kelompok
yang selamat. Beliau hanya menggambarkan bahwa pada saatnya umat Islam akan
terpecah
menjadi
73 golongan; satu golongan selamat sementara yang lain tidak, yang kelompok
tersebut adalah ahlussunnah
wal
jama’ah. Ketika Sahabat bertanya siapa ahlussunnah wal jama’ah itu? Rasulullah
menjawab mereka adalah
kelompok
yang berpedoman kepada saya (Al-Quran dan al-sunnah) dan sahabat saya (ijma’).
Maka dari sini dipahami
bahwa
ahlussunnah wal jama’ah tidak hanya merujuk pada satu kelompok tertentu,
melainkan pada kelompok apa
saja
yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan al-Hadits.
Aswaja
ala NU
Pemikiran
ahlussunnah yang berkembang di kalangan Nahdlatul Ulama adalah pemikiran KH.
Hasyim Asy’ari yang
dikutip
dari kitabnya “al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nahdlati al-Ulama”, yaitu :
kelompok yang dalam hal aqidah
merujuk
pada Imam Hasan al-Asy’ari dan Abbu Mansur al-Maturidi; dalam hal fiqh
mengikuti pendapat salah satu
imam
mazhab yang empat (al-a’immah al-arba’ah), sedangkan dalam hal tasawwuf
berafiliasi kepada Abu Hamid,
Ahmad
Al-Ghazali, dan Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi.
Dalam
konteks Indonesia, pemikiran ini menjadi grand thougt yang diterima dan
diyakini final oleh mayoritas warga
Nahdliyyin.
Sehingga tidaklah heran kalau Dr. Sa’id Aqil Siraj ketika mengatakan bahwa
definisi ini tidak sempurnya
(jami’
dan mani’). Menuruntya, definisi ini akan mengkaburkan pemahaman tentang Aswaja
yang sebenarnya.
Ketika
pemikiran ini digulirkan, berbagai macam respon bermunculan, baik yang bersifat
memuji ataupun memaki.
Bahkan
beliau oleh beberapa kiai sepuh dituduh menyebarkan paham Syi’ah. Sa’id Aqil
menjelaskan bahwa
ahlussunnah
bukanlah mazhab, melainkan manhaj al-fikr. Karena definisi yang dirumuskan oleh
KH. Hasyim As’ari
lebih
menggambarkan bahwa ia adalah mazhab qauli. Sehingga definisi tersebut perlu
diredifinisikan kembali.
Pemikiran
seperti ini terus mengalir bak bola salju yang semakin lama semakin besar dan
menjadi diskursus yang
tidak
melelahkan di kalangan warga Nahdliyin, terutama di kalangan muda NU. Hingga
pada akhirnya pemikiran
Sa’id
Aqil menempati porsi tersendiri pada halaqah-halaqah Aswaja yang diadakan oleh
PBNU, untuk
mengklarifikasikan
pemikiran yang ditawarkan beliau di hadapan kiai sepuh.
Setidaknya,
pada bagian tertentu merupakan upaya reposisi pemikiran tentang ahlussunnah wal
jama’ah, untuk
mencairkan
kebekuan yang selama ini terjadi akibat klaim kebenaran (the truth claim) dan
upaya apologetik warga
Nahdliyin
terhadap pemahaman ahlussunah wal jama’ah. Namun begitu, saya tidak ingin
membuka kembali ruang
polemik
seputar ahlussunah wal jama’ah, karena proses pemikiran, menurut Michael
Faucoult dalam bukunya The
Archaeology
of Knowledge menempati ruang yang terpisah dari teks (objek), sehingga setiap
orang memiliki otoritas
tersendiri
untuk mengamati dan menilai sebuah teks. []
*)
Penulis, Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) IAIN Sunan Ampel
Surabaya.
ASWAJA
Sebagai Manhajul Harakah
Oleh
: Adien Jauharudin*
Pendahuluan
Sebelum
panjang lebar menjelaskan soal ASWAJA dan problem kekiniannya, ada baiknya bagi
kalangan nahdliyyin
untuk
mengirimkan al-fatihah untuk para pendiri NU, para pejuang NU; Mbah Kholil
Bangkalan, Mbah Hasyim, Mbah
Wahab,
Mbah Ahmad Siddiq, dll.......bagaimanapun tanpa mereka NU tidak akan hadir,
Islam Indonesia tidak akan
seperti
ini. Mereka semua adalah panutan dan panduan yang selalu hidup. Mbah Kholil
Bangkalan adalah gurunya para
guru,
tanpa restunya tidak mungkin NU akan muncul sebagai organisasi, Mbah Hasyim
adalah rois akbar NU pertama,
sebagai
pahlawan nasional juga sebagai sentrum ulama se-Jawa. Mbah Wahab adalah seorang
organisator, dinamisator,
motivator
dan inisiator ulung, ditangannya sebuah organisasi yang kecil dapat menjadi
organisasi yang besar, kuat dan
rapih
dan Mbah Ahmad Siddiq adalah konseptor ulung NU, ditangannya telah lahir
torehan-torehan sejarah; Deklarasi
Hubungan
Pancasila dan Islam, Pedoman Berfirkir Nahdlatul Ulama, Khittah
Nahdliyyah.....semoga mereka akan selalu
menyertai
derap langkah, gerak dan dakwah kita.....dan mereka ditempatkan disisi-Nya
secara mulia. Amien.
Ahlussunnah
wal Jama’ah (ASWAJA) pada awalnya adalah sebuah gambaran simple tentang Islam,
dimana ada beberapa
hadits
nabi yang menjelaskan tentang kata-kata “Ahlussunnah wal Jama’ah, kalau mau
selamat harus mengikuti pola
keagamaan
seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW, dengan berpegangan teguh terhadap
al-Qur’an, As-sunnah,
mengikuti
jejak sunnah beliau, dan para sahabat khulafaurrosyidin. ASWAJA menjadi rumit
adalah pada tahap
berikutnya
ketika masalah-masalah ummat Islam mulai bermunculan dan tidak ada model
pemecahannya pada zaman
Rasul;
dari mulai masalah politik kenegaraan, pemberontakan, munculnya ilmu kalam,
mantiq, motodologi hukum Islam,
dan
problem-problem lainnya. Disinilah arus baru dimulai, yaitu sebuah arus dimana
perpecahan antar kelompok ummat
Islam
tidak bisa dihindari, terlebih lagi ketika pandangan, pemahaman, dan ajaran
sudah menjadi ideologi, maka
konsekuensinya
adalah membuat seperangkat aturan, kode etik, pedoman berfikir, teori
pengetahuan yang akan
difungsikan
untuk mengawal, mengamalkan dan menyebarkan ideologi tersebut hingga akhir
hayat.
Apabila
kita cermati akan tahapan-tahapan sejarah perkembangan ummat Islam, maka akan
terlihat terbagi dalam Lima
(5)
tahapan, Pertama, Masa awal Islam, pada masa ini teks keagamaan masih hidup,
dimana ada Rasulullah yang masih
bisa
menjadi pusat ummat Islam, ada para sahabat yang senantiasa menjaga dan
mengamalkan sunnah-sunnah rasul.
Semua
persoalan ummat dapat ditanyakan secara langsung kepada sumbernya. Tetapi pada
masa ini hasil ijtihad sahabat
sudah
diakui dan direstui oleh Rasul sebagai produk hukum, hal ini pernah terjadi
pada sahabat Mu’adz bin Jabal. Kedua,
Munculnya
perpecahan ummat Islam, ini terjadi setelah kematian khalifah Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Tholib dan
pengangkatan
Muawiyah sebagai Khalifah. Disini sudah mulai terjadi pertanyaan-pertanyaan,
soal dosa besar; bagaimana
hukumnya
orang mukmin membunuh orang mukmin, pakah termasuk dosa besar. Dari sini pula
mulai muncul firqahfirqah;
Khawarij,
Murji’ah, Syi’ah. Ketiga, Masa munculnya ilmu-ilmu kalam, ini terjadi pada
abad.....ketika ilmu kalam
dan
filsafat bercampur dengan persoalan ketauhidan, pada masa ini muncullah aliran
Mu’tazilah yang merupakan arus
dominan
bahkan menjadi madzhab resmi negara pada waktu itu, setelah itu perbedaan
pendapat pun tidak bisa
dihindari,
munculah Asy’ariyah dan Maturidiyah. keempat, runtuhnya khilafah Utsmani di
Turki. Keruntuhan khilafah
ini
membawa dampak luar biasa, baik itu pada soal sikap keagamaan, pemerintahan.
Pada masa ini terjadi dua persoalan
besar
apakah perlu mendirikan kehilafahan yang baru atau negara-negara muslim
menentukan sendiri jalan hidupnya,
dari
sinilah lahir kongres ummat Islam di Arab Saudi dan Mesir dan memunculkan
aliran Wahabi penganut Abdul
Wahab,
di Indonesia berdirinya “Nahdlatul Ulama” sebagai benteng kaum tradisional,
Kelima, mencuatnya gerakan–
gerakan
Islam kontemporer. Tema sentral dari munculnya gerakan-gerakan Islam ini adalah
persoalan “pemurnian ajaran
Islam
dari unsur Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat, dan sistem politik Islam”. Terhadap
sistem politik Islam terbagi dua,
mereka
yang memaksakan Islam harus menjadi negara dan sebagian lagi Islam cukup menjadi
syariah, ibadah dan etika
sosial.
Dari
lima tahapan sejarah perkembangan gerakan Islam ini telah memunculkan
pertanyaan-pertanyaan, kenapa selalu
terjadi
perpecahan dalam diri ummat Islam?, kenapa kebesaran sejarah ummat islam selalu
lahir dari benturan politik?
Kenapa
sejarah kejayaan ummat Islam selalu terputus?, adakalanya sejarah kekuatan
politik yang muncul, sejarah
pergulatan
pengetahuan yang muncul, tetapi habis itu hilang tanpa ada jejaknya!
Bangunan
sejarah ummat Islam selalu menampakan sisi sejarah yang timpang, kini tidak ada
bangunan sejarah yang terus
“menjadi”,
yang ada adalah sejarah yang selalu terputus, bahkan mengulang
perdebatan-perdebatan yang pernah ada
sebelumnya;
seputar bagaimana hukumnya bid’ah, takhayul dan khurafat, bagaimana
mendialogkan agama dan negara.
Dalam
sejarah gerakan ummat Islam dunia yang terjadi adalah tragedi-tragedi
konspirasi, saling bunuh-membunuh,
eksploitasi,
ekspansi, dan terlibat perselingkuhan dan persekongkolan yang besar antara
kekuatan gerakan Islam dengan
negara-negara
barat.
Apa
yang terjadi pada perkembangan ummat islam di dunia, Indonesia pun mengalami
sejarah yang serupa. Sejarah
perkembangan
ummat Islam di Indonesia mengalami beberapa tahapan, pertama, terjadinya proses
penyebaran Islam
oleh
walisongo, pada fase ini terjadinya proses dialog antara kebudayaan lokal dan
Islama, proses ini terus “menjadi”
yang
akhirnya menjadi wajah Islam Indonesia. Kedua, pada awal abad 20, munculnya
organisasi-organisasi massa islam,
Sarekat
Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam, Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, Al-Irsyad, baik
yang
berbasis keagamaan maupun politik. Kemunculan organisasi ini adalah sebagai
bagain dari upaya membebaskan
bangsa
Indonesia dari cengkraman kolonial dan menyebarkan faham keagamaan menurut
pemahaman organisasinya
masing-masing.
Ketiga, Fase perumusan konstitusi dasar bangsa Indonesia dan mulai munculnya
perdebatan ideologi
tentang
perlu tidaknya piagam Jakarta menjadi salah satu butir dalam pancasila.
Keempat, munculnya Islam politik.
Kelima,
mencuatnya gerakan-gerakan Islam, baik karena perbedaan pemahaman keagamaan,
faktor kepentingan politik,
maupun
karena motif ekonomi, seperti; Daarul Arqom, LDII, Islam Jama’ah, dll. Keenam,
pada fase ini, umat Islam
dihadapkan
pada berbagai gagasan-gagasan yang bersumber dari barat, seperti; modernisasi,
pembangunan,
demokratisasi,
keadilan, gender, Hak Asasi Manusia, multikulturalisme. Disamping dihadapkan
pada isu, muncul pula
gerakan-gerakan
Islam puritan yang mengetengahkan isu politik Islam dan “pemurnian ajaran
Islam”, seperti ; Majelis
Mujahidin
Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Komunikasi Ahlussunnah
wal Jama’ah (FKAWJ). Pada
saat
ini varian isu dan gerakannnya lebih luas.
Dari
perkembangan sejarah ummat Islam ini, dimanakah posisi Nahdlatul Ulama?
Nahdlatul Ulama dalam sejarahnya
telah
membuktikan diri sebagai kekuatan bangsa Indonesia yang sangat diperhitungkan,
nasionalismenya bisa menjadi
titik
temu antara Islam dan nasionalis, agama dan negara. Pola keagamaannya dapat
menjadi titik temu antara
kebudayaan
lokal dan Islam. fikroh Nahdliyahnya bisa menjadi titik temu antara kepentingan
agama, masyarakat, negara
dan
pasar. Dengan jaringan modal sosial, politiknya yang kuat, NU menjadi kekuatan
bangsa yang diperhitungkan dan
menjadi
mediator kepentingan kelompok-kelompok Islam dunia.
ASWAJA
menjadi kata kunci dalam membangun NU dan Indonesia ke depan, sejauhmana
nilai-nilai ASWAJA bisa
ditransformasikan
keluar dan diinternasilasikan kedalam NU sendiri dan ASWAJA menjadi ruh dari
Islam Indonesia itu
sendiri.
Kiranya perlu untuk mengkaji beberapa pemikiran tokoh-tokoh NU, agar ASWAJA
dapat diformulasikan menjai
manhajul
harakah, mereka antara lain; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Syamsuri, KH. Achmad
Siddiq, KH. Bisri Musthofa,
KH.
Dawam Anwar, KH. Muchit Muzadi, KH. Wahid Zaini, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Sahal
Mahfudz, KH. Tolchah
Hasan
dan Kh. Said Aqil Siradj
Aswaja
dalam Ruang Lingkup dan Tradisi NU
Setting
sosial, politik, ekonomi yang melandasi lahirnya NU
Kelahiran
Nahdlatul Ulama (NU) adalah hasil dari proses sejarah yang sangat panjang, yang
sebelumnya sudah ada
berbagai
embrio menjelang kelahirannya. Embrio-embrio tersebut adalah:
1.
Pada bidang ekonomi, kalangan ulama-ulama NU sudah memikirkan jauh sebelum
lahirnya bayi Nahdlatul Ulama
dengan
membentuk mata rantai, jaringan saudagar santri yang disebut dengan “Nahdlatut
Tujjar” pada tahun 1918.
Kelahirannya
sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda dan para pengusaha Cina.
2.
Pada bidang politik adalah dengan menggalang tokoh-tokoh nasional dan lokal
pada waktu itu untuk turut serta
membangun
kesadaran kebangsaan melalui pendidikan, maka muncullah “Nahdlatul Wathan” pada
tahun 1916 yang
dalam
perjalanannya mengalami perkembangan yang sangat pesat.
3.
Pada bidang intelektual dan diskusi pemikiran telah lahir “Taswirul Afkar” pada
tahun 1922, meskipun Taswirul
Afkar
ini pada pase selanjutnya melebur menjadi lembaga pendidikan bergabung bersama
Nahdlatul Wathan, tetapi
dari
hasil diskusi gagasan dan pemikirannya cukup mempengaruhi dalam membangkitkan
kesadaran nasionalisme
rakyat.
4.
Lahirnya Nahdlatul Ulama adalah mata rantai dari perjuangan panjang Wali Songo,
dimana Wali Songo menyebarkan
Islam
melalui cara-cara persuasif melalui pendekatan kebudayaan (asimilasi budaya)
bukan dengan kekerasan seperti
penyebaran
Islam di berbagai belahan dunia lainnya. Nahdlatul Ulama menjadi besar karena
kemampuannya dalam
mengakomodir
dan mengapresiasi kebudayaan lokal dan menjadikannya sebagai basis kekuatan
kebudayaan dan
tradisi
bangsa.
5.
Lahirnya Nahdlatul Ulama adalah sebagai bentuk “perlawanan” terhadap ideologi
trans-nasional “Wahabi” yang
hendak
menyeragamkan ideologi tersebut ke seluruh penjuru dunia dan menjadikan Saudi
Arabia sebagai satusatunya
pusat
kekhalifahan Islam.
Secara
bahasa, ada tiga kata yang membentuk istilah Ahlussunnah wal Jama’ah;
1.
Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2.
Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Maksudnya, semua yang datang dari Nabi,
berupa
perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi Muhammad SAW (Fath al-Bari, juz XII, hal.
245)
3.
Al-Jama’ah, yakni apa yang disepakati oleh oleh para sahabat Rasulullah SAW
pada masa Khulafaur Rasyidin
(Khalifah
Abu Bakr, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Kata
al-Jama’ah ini diambil dari
sabda
Rasulullah SAW “Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di
surga, maka hendaklah ia mengikuti aljama’ah
(kelompok
yang menjaga kebersamaan)”. (HR. Al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78)
yang nilainya shahih
dan
disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi).
Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani (471-561 H /1077-1166 M) juga menjelaskan:
“Al-Sunnah
adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku
serta ketetapan beliau). Sedangkan al-
Jama’ah
adalah sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi pada masa
Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi
hidayah
(mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua)”. (Al-Ghunyah li
Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 800).
Lebih
jelas lagi, Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari (1287-1336 H/ 1871-1947)
menyebutkan dalam kitabnya Ziyadah at-
Ta’liqat
(hal. 23-24) sebagai berikut:
“Adapun
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli
fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang
teguh
dengan sunnah Nabi Muhamad SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka
adalah kelompok yang selamat (alfirqah
al-najiyah).
Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab
yang empat, yaitu pengikut
Madzhab
Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali.”
Ahlussunnah
adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal
dari Nabi Muhammad
SAW
dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang
fundamental (ushul) maupun
divisional
(furu’). Sebagai bandingan Syi’ah. Di antara mereka ada yang disebut “Salaf”,
yakni generasi awal mulai dari
para
Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in, dan ada juga yang disebut “Kholaf”, yaitu
generasi yang datang kemudian. Di
antaranya
ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi
peran akal secara ketat. Di
antara
mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujaddidun) dan di antaranya lagi
bersikap konservatif (muhafidhun).
Golongan
ini merupakan mayoritas umat Islam.
ASWAJA
dan Tradisi Berfikih
Kalau
pada masa Asy’ariyyah dan Maturidiyyah perdebatan ASWAJA lebih banyak pada
persoalan teologi, maka pada
fase
munculnya jam’iyyah Nahdlatul Ulama perdebatan ASWAJA lebih pada persoalan
fiqih (persoalan furu’) termasuk
bagian
di dalamnya adalah persoalan khilafiyah (variable-variable furu’).
Secara
definisi ilmu fiqih adalah:
“Ilmun
bi al-ahkam al-syar’iyyah al-‘amaliyyah al-muktasabu min adillatiha
al-tafsiliyyah”, (fiqih adalah ilmu hukum-hukum
syara’
yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci).
Definisi
ini mengandung tiga substansi dasar yang sangat krusial, pertama, ilmu fiqih
adalah ilmu yang paling dinamis
karena
ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial (af’alul mukallafin) yang selalu
berubah dan kompetitif. Kedua, ilmu
fiqih
sangat rasional, mengingat ia adalah ilmu iktisabi (ilmu hasil kajian,
analisis, penelitian, generalisasi, konklusiasi). Di
sini
terjadi kontak sinergis antara sumber transendental (adillah) dan rasionalitas
(mujtahid). Ketiga, fiqih adalah ilmu yang
menekankan
pada aktualisasi, real action, atau bisa dikatakan amaliyah, bersifat praktis
sehari-hari. Fiqih juga harus
berhubungan
erat dan sinergis dengan problematika manusia, karena fungsi fiqih adalah
mengarahkan, mendorong, dan
meningkatkan
perilaku manusia agar sesuai dengan tuntutan agama. Perilaku manusia tentu
tidak terbatas pada wilayah
ibadah
mahdhah yang sangat terbatas, namun juga mencakup aspek ekonomi, pendidikan,
kesehatan, lingkungan hidup,
kependudukan
dan sosial tersebut. Fiqih harus tampil menjadi solusi atas berbagai problem
sosial tersebut.
Tradisi
berfikih NU mengukuti empat madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad ibnu
Hambal
ASWAJA
dan Tradisi Tasawwuf
Kemunculan
tasawuf bukan baru terjadi pada generasi muta’akhirin, tetapi sudah ada pada
zaman Rasulullah SAW.
Bedanya,
istilah ke-tasawuf-an baru dikenal pada generasi muta’akhirin, sementara pada
masa Rasulullah istilah ketasawuf-
an
belumlah dikenal, melainkan yang disebut “ke-zuhud-an”.
Dalam
tradisi NU, ada empat puluh lima (45) Thariqat Mu’tabarah (Tarekat yang diakui
dan dianggap pegangan), dan
dianggap
sanadnya muttashil (bersambung) ke rasulullah SAW, yaitu; 1) Rumiyyah, 2)
Rifa’iyyah, 3) Sa’diyah, 4) Bakriyah,
5)
Justiyah, 6) Umariyah, 7) Alawiyah, 8) Abbasiyah, 9) Zainiyah, 10) Dasuqiyah,
11) Akbariyah, 12) Bayumiyah, 13)
Malamiyah,
14) Ghaibiyah, 15) Tijaniyah, 16) Uwaisiyah, 17) Idrisiyah, 18) Samaniyah, 19)
Buhuriyah, 20) Usyaqiyah, 21)
Kubrawiyah,
22) Maulawiyah, 23) Jalwatiyah, 24) Baerumiyah, 25) Ghazaliyah, 26) Hamzawiyah,
27) Haddadiyah, 28)
Matbuliyah,
29) Sunbuliyah, 30) ‘Idrusiyah, 31) Utsmaniyah, 32) Syadziliyah, 33)
Sya’baniyah, 34) Kalsyaniyah, 35)
Khadhiriyah,
36) Syathariyah, 37) Khalwatiyah, 38) Bakdasyiyah, 39) Syahrawardiyah, 40)
Ahmadiyah (Thariqah), 41)
‘Isawiyah
Gharbiyah, 42) Thuruqi Akabiril Auliya’, 43) Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, 44)
Khalidiyah wa
Naqsyabandiyah,
45) Ahli Mulazamat al-Qur’an was Sunnah wa Dalailil Khairati wa Ta’limi Fathil
Qaribi aw Kifayat al-
Awami.
Thariqat-thariqat tersebut dijadikan pegangan dan rujukan oleh organisasi
“Jam’iyyah Ahli Thariqah al-
Mu’tabarah
an-Nahdliyah”, Organisasi Tarekat se-Indonesia, yang berada di bawah payung
organisasi Nahdlatul Ulama.
NU
dan Wawasan Strategis
Konsepsi
Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) yang telah diintegrasikan ke dalam tubuh
Nahdlatul Ulama dan
dijadikannya
sebagai pedoman, dalam perkembangannya bukan hanya melandasi sebatas
persoalan-persoalan
keagamaan
(baik itu menyangkut aqidah maupun masalah-masalah fiqihiyyat) tetapi lebih
dari itu menjadi landasan
dalam
bersikap, bertindak, berpikir dan beragama. Dalam beberapa kali Muktamar NU,
ASWAJA selalu menjadi
pembahasan
yang sangat hangat dan menarik, bahkan forum-forum kaum muda NU non-struktural (mereka
adalah anakanak
muda
NU yang berada di jalur kultural) selalu menyita perhatian dan menjadikannya
topik-topik diskusi yang
menarik.
Pembahasan
yang cukup menghangat adalah apakah ASWAJA ini sebagai teologi-dogmatik,
ataukah sebagai Manhajul Fikr,
Manhajun
Nahdlah, atau mungkin sebagai Harakah? Cukup menarik mencermati berbagai
pertanyaan KH. A. Mustofa Bisri
(Gus
Mus), bagaimana sikap ASWAJA dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana ASWAJA
dalam berpolitik, dalam
berekonomi
dan berbudaya? Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ASWAJA diartikan sangat
sederhana sekali, baik itu
oleh
kalangan para da’i-da’i NU; orang NU yang berhaluan ASWAJA adalah yang
mengikuti salah satu dari empat
madzhab,
yang bertasawuf mengikuti Thariqat Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali,
yang suka tahlilan,
barjanzian,
ziarah kubur, manakiban, qunutan, tarawih 20 rakaat.
Kekhawatiran
ini bisa dipahami, karena memang Nahdlatul Ulama dari awal pendiriannya,
termasuk dalam “Qanun
Asasi”-nya
KH. Hasyim Asy’ari tidak menyebutkan secara jelas mengenai konsepsi ASWAJA,
yang dijelaskan hanya
Madzhab
al-‘Arba’ah (madzhab yang empat), selebihnya, tidak ada rumusan baik dalam
pergaulan sosial, politik, ekonomi
maupun
kebudayaan. Tafsiran-tafsiran ASWAJA berikutnya dilandask`n pada nilai-nilai,
manhajul fikr, sehingga menjadi
rumusan
yang hadir seperti sekarang ini. Pelembagaan ASWAJA sehingga menjadi seperti
sekarang ini, disusun setelah
Mbah
Hasyim wafat, pada eranya KH. Bisyri Samsuri yang kemudian disistematisir lagi
pada eranya KH. Achmad Siddiq.
Karena
dari awalnya ASWAJA bukan sebagai lembaga, hanya sebagai landasan berfikir dan
landasan bergerak, maka
lebih
tepat lagi kalau disusun ASWAJA sebagai manhajul harakah yang akan berfungsi
untuk menggerakkan roda
jam’iyyah
dan jama’ah NU.
Harus
dipahami, bahwa ASWAJA dalam tubuh NU selama ini masih menjadikan NU stagnan
dengan segala potensinya
yang
ada, baik itu potensi ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dari banyak
potensi ini semuanya belum
menggerakkan
NU menjadi sebuah organisasi yang solid, rapih dan sejahtera. Selama ini yang
menjadikan NU mengakar
adalah
karena adanya ikatan-ikatan tradisional yang semuanya tidak terlepas dari
hubungan guru-murid maupun ulamarakyat.
Sistem
patronase kepemimpinan ulama inilah yang menguatkan kelembagaan ASWAJA dalam
masyarakat NU.
PBNU
pernah melakukan rumusan-rumusan ASWAJA dalam empat wawasan strategis dalam
Muktamar NU ke-27 No.
002/MNU/1984,
yaitu: wawasan tentang ke-NU-an sendiri, wawasan tentang ke-Islam-an, wawasan
tentang ke-
Indonesia-an.
Dan wawasan tentang ke-Semesta-an (universalitas = internasionalitas = seluruh
kemanusiaan). Empat
wawasan
strategis inilah yang coba menghadirkan NU pada setiap masa dan dengan wawasan
inilah NU masih dianggap
sebagai
organisasi massa Islam yang moderat, meskipun anggapan ini terkadang ada
untungnya tetapi juga ada ruginya.
Untungnya
adalah dengan dianggapnya NU sebagai organisasi yang moderat maka percaturan
politik ekonomi dan sosial
nasional
tetap harus melibatkan NU, tetapi nilai ruginya adalah dengan anggapan ini
menjadikan NU selalu berada pada
pihak
yang dikorbankan, baik oleh negara, pemilik modal maupun kekuatan jaringan
internasional.
Aswaja
dari Madzhabi ke Manhaji
Ada
beberapa konsep - konsep yang beberapa di antaranya pernah menjadi keputusan
dalam Muktamar dan Munas NU,
seperti
Khittah Nahdliyah, Mabadi Khaira Ummah, Fikrah Nahdliyah dan Maslahah Ummah.
Tiga konsep dari keempat
konsep
tersebut menjadi keputusan Nahdlatul Ulama (Khittah Nahdliyah merupakan
keputusan Muktamar NU ke 26,
Mabadi
Khaira Ummah merupakan keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1992,
Fikrah Nahdliyah
merupakan
keputusan Msyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 2006), sementara Maslahah
Ummah belum menjadi
keputusan
Muktamar NU, hanya saja persoalan kemaslahatan ummah sudah ada rumusan dari
beberapa tokoh-tokoh
NU.
Adanya
konsep-konsep ini menurut penulis adalah sebagai wujud dari transformasi dan
internalisasi nilai-nilai ASWAJA
agar
lebih dapat dipahami, dan bagi warga Nahdlatul Ulama dapat menjadi panduan
dalam berfikir dan bertindak. Pada
kenyataannya
konsep-konsep ini bukan hanya sebatas menjelaskan pada aturan-aturan keagamaan,
tetapi juga
menyentuh
pada persoalan kebudayaan, kebangsaan, politik, dan ekonomi. Hanya saja
rumusan-rumusan ini terkadang
tidak
disertai dengan turunan konsep yang utuh sehingga menjadi program NU yang
aplikatif.
Sebagai
sebuah organisasi massa yang besar, NU dalam pengambilan segala keputusannya
memang cenderung sangat
hati-hati,
selalu dipikirkan akibat, resiko dan maslahatnya. Keputusannya selalu
mendasarkan pada teks-teks keagamaan,
baik
itu dari al-Qur’an, al-Hadits, al-Qiyas, al-Ijma’, Qawa’id Ushul Fiqh,
Istihsan, dan metodologi-metodologi lainnya.
Maka
konsep-konsep strategis yang diputuskan NU seyogyanya menjadi panduan dan
pegangan kita untuk dapat
diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan
alur dari madzhabi ke manhaji adalah sebuah landasan konsepsional dan teoritis,
dimana madzhab adalah
aliran
yang di dalamnya memuat seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai, norma-norma,
metodologi, dan dalam prakteknya
sudah
diamalkan oleh seluruh warga NU dengan mengikuti madzhab teologi, madzhab
fiqih, dan madzhab tasawuf.
Sementara
manhaji adalah sebuah konsep metodologis yang selalu berkembang dan berubah
sesuai dengan tuntutan
zaman,
dalam hal ini perubahan-perubahan ini tidak sebatas pada persoalan “Fiqih-Ushul
Fiqihnya” saja, tetapi juga
harus
mampu mengembangkan fiqih-fiqih sektoral, detail seperti fiqih perburuhan,
pertambangan, perempuan, fiqih
trafficking,
fiqih nelayan, fiqih agraris, dan lain-lain. Tetapi fiqih-fiqih sektoral ini
sekali lagi, tidak terlepas dari konteks
memperkuat
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, dan bukan sebaliknya memperkeruh dan
memporak-porandakan konsepkonsep
fiqhiyyat
yang sudah baku, terutama yang sudah diamalkan oleh kalangan pesantren dan
kalangan-kalangan
ulama
NU.
Apa
yang telah tersusun dalam madzhab teologi, fiqih dan madzhab tasawuf sudah memuat
aturan yang sudah baku,
maka
yang kita kembangkan dalam hal ini hanya menyangkut persoalan-persoalan fiqih
baik itu pada persoalan kaidah
ushul
fiqih maupun substansi fiqih dengan tetap melandaskan pandangan intinya pada
ketentuan yang sudah baku.
Banyak
persoalan-persoalan yang dihadapi umat saat ini membutuhkan penyelesaian dengan
cepat dan tepat yang bukan
hanya
berkutat pada persoalan ‘ubudiyah saja, melainkan pada aspek penataan keadilan
ekonomi dan kesejahteraan.
Bagaimana
menyelesaikan sengketa buruh-majikan dalam sebuah kasus perusahaan dalam
perspektif fiqih, bagaimana
fiqih
menyusun konsep-konsep keadilan ekonomi masyarakat kecil yang saat ini dilanda
berbagai kesulitan ekonomi
karena
dihadapkan pada krisis yang berkepanjangan dan pasar yang tidak berpihak,
bagaimana penyelesaian para
TKW/TKI
yang tidak bisa diselesaikan oleh negara, sementara negara dan kalangan
pengusaha PJTKI swasta hanya
memeras
keringat para TKW/TKI tersebut, bagaimana menyelesaikan persoalan trafficking
perempuan, anak, dan apa
konsep-konsep
konkrit menurut fiqih, termasuk bagaimana menyelesaikan kemelut politik dalam
tubuh partai politik
seperti
PKB dan jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) ditantang
untuk bisa menyelesaikan
persoalan-persoalan
tersebut.
Khittah
NU adalah landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU, secara individual
maupun secara organisatoris.
Landasan
itu adalah paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang diterapkan menurut kondsi
kemasyarakatan Indonesia.
Khittah
ini juga digali dari sejarah perjuangan NU.
Muatan
isi Khittah adalah ; Dasar-dasar paham keagamaan NU, Sikap Kemasyarakatan NU,
Perilaku keagamaan dan
sikap
kemasyarakatan NU, Ikhtiar-ikhtiar yang sudah dilakukan NU, Fungsi organisasi
dan pelayanan kepemimpinan
ulama,
Hubungan NU dan Kehidupan bernegara.
Nilai-nilai
Khittah sendiri sebenarnya menemukan momentumnya saat ini, pertama, adanya
kampanye perlawanan
terhadap
ideologi transnasional yang saat ini sudah merasuk ke dalam sendi-sendi bangsa
Indonesia, kedua, adanya krisis
kebangsaan
yang cukup akut, dimana kesadaran kebangsaannya mulai luntur, Pancasila tidak
lagi dijadikan landasan
atau
falsafah hidup dan bernegara, pelaksanaan otonomi yang berlebihan sehingga
hampir-hampir kita tidak hafal lagi
berapa
jumlah propinsi di Indonesia, berapa jumlah kabupaten atau kota di seluruh
Indonesia, dan berapa jumlah
lembaga-lembaga
ataupun komisi tinggi negara.
Kaitannya
dengan pengamalan Khittah saat ini adalah sudah saatnya Nahdlatul Ulama dan
organisasi underbow-nya
merumuskan
dan menentukan langkah-langkah strategis dalam menjaga keutuhan NKRI dan juga
mempertahankan kenusantara-
an
kita yang saat ini sudah terkoyak-koyak dengan adanya berbagai proyek
internasionalisasi kasus-kasus yang
terjadi
di dalam negeri.
Sekali
lagi, bahwa Khittah adalah “pedoman” yang merupakan induk dari konsep-konsep
turunannya; “Mabadi Khaira
Ummah,
Fikrah Nahdliyah dan berbagai konsep Maslahah ummah” yang harus
diimplementasikan dan dijadikan rujukan
dengan
tetap menggunakan asas-asas kepeloporan, kemandirian dan kesinambungan.
Artinya, bagaimana dengan
Khittah
NU mampu menjadi garda depan dalam merespon setiap perkembangan zaman, bukan
sebagai kuda tunggangan
kekuasaan
atau kepentingan kelompok-kelompok lain. Meminjam istilah Ahmad Baso, NU harus
menjadi “Fa’il” bukan
“Maf’ul”
menjadi subyek bukan obyek.
Sementara
Konsepsi Dasar Mabadi Khaira ummah adalah sebuah konsep yang berangkat dari
kegagalan membangun
perekonomian
NU, penataan organisasi dan memperkuat pola silaturahmi antara warga NU dan
para pimpinan NU.
Pada
mulanya, prinsip dasar Mabadi Khaira Ummah hanya mengenal tiga prinsip dasar,
yaitu; as-Sidq (kejujuran), al-
Amanah
wal Wafa’ bil ‘Ahdi (dapat dipercaya dan teguh memegang janji) dan at-Ta’awun
(gotong royong), tetapi dalam
perjalanannya,
penjabaran atas konsep ini semakin sistematis dan terumuskan, sehingga terjadi
penambahan prinsip
menjadi
lima prinsip, yaitu: As-Sidq, al-Amanah wal Wafa’ bil ‘Ahdi, al-‘Adalah,
at-Ta’awun, danIstiqomah.
Lima
nilai di atas tersebut jika dilaksanakan, maka akan menjadi seorang muslim yang
sempurna, dimana seorang muslim
yang
sempurna adalah yang terdapat kesesuaian antara ucapan, pikiran dan tindakan.
Segala perbuatan baik yang
dilakukan
oleh seorang muslim haruslah berkesinambungan, jangan setengah-setengah,
diperlukan adanya totalitas dan
kesungguhan,
karena itulah kunci dari keberhasilan. Diperlukan sebuah nilai ketulusan,
keikhlasan, dan keberanian untuk
memulai
sesuatu yang diyakini benar dan akan bermanfaat buat diri sendiri dan
masyarakat.
Keberadaan
Fikrah Nahdliyyah sendiri dilandaskan pada beberapa hal, pertama, adanya
landasan historis mengenai
berdirinya
Nahdlatul Ulama, bahwa berdirinya NU adalah respon terhadap adanya pertarungan
ideologi, antara ideologi
Islam
tradisional dan Islam modernis, kedua, banyaknya kejadian-kejadian yang
berkembang, dimana banyak kelompokkelompok
atau
individu-individu yang mengatasnamakan NU tetapi sikap, pikiran dan tindakannya
sudah tidak lagi
mencerminkan
kepentingan jam’iyyah NU. Oleh karena itu Fikrah Nahdliyyah ini adalah semacam
panduan yang
dinetralisasi
dari nilai-nilai ASWAJA NU. Yang dimaksud dengan Fikrah Nahdliyyah adalah
kerangka berfikir yang
didasarkan
pada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijadikan landasan berfikir Nahdlatul
Ulama (Khittah
nNahdliyyah)
untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlah-ummah (perbaikan umat).
Khashaish
(ciri-ciri) Fikrah Nahdliyyah adalah:
1.
Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa
bersikap Tawazun (seimbang) dan
I’tidal
(adil) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau
ifrath.
2.
Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup
berdampingan secara damai dengan
pihak
lain walaupun aqidah, cara berfikir, dan budayanya berbeda.
3.
Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa
mengupayakan perbaikan menuju ke
arah
yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah).
4.
Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa
melakukan kontekstualisasi dalam
merespon
berbagai persoalan.
5.
Fikrah Manhajiyyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa
menggunakan kerangka berfikir
yang
mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.
Selain
“Fikrah Nahdliyah” yang sudah menjadi ketetapan Nahdlatul Ulama, barangkali
penulis juga perlu mengemukakan
“beberapa
pokok-pokok fikiran KH. Achmad Siddiq yang berkaitan dengan Fikrah Nahdliyyah”.
KH. Achmad Siddiq merumuskan
“Lima
Dalil Perjuangan dan Lima Dalil Hukum”, hasil rumusan ini ditujukan untuk; 1)
Mempersamakan alam pikiran di
dalam
NU dan menciptakan norma di dalam menilai dan menanggapi segala persoalan
kehidupan, 2) Menjaga alam
pikiran
NU dari penetrasi modernisme, westernisme, dan aliran-aliran lain yang merusak
kemurnian Islam dan
kepribadian
NU, 3) Memelihara dan mengembangkan watak, kepribadian NU dan Khittah NU.
Pokok-pokok
pikiran KH. Achmad Siddiq ini muncul pada masa itu, dimana westernisasi,
kolonialisasi dan komunisme
masih
menggejala di berbagai belahan negara muslim di dunia termasuk Indonesia dan
khususnya kepentingannya dalam
memperkuat
jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Meskipun “Fikrah Nahdliyah” versi KH. Achmad Siddiq
ini belum resmi
menjadi
keputusan NU, tetapi sebagian rumusannya dipakai oleh kalangan NU bahkan
termasuk dalam “Fikrah
Nahdliyah”
hasil keputusan Munas NU Surabaya yang menambahkan “amar ma’ruf nahi munkar”
dalam klausulnya.
KH.
Achmad Siddiq menyusun Fikrah Nahdliyah berangkat dari sejarah modernisme
barat, mencakup watak, arah dan
hakikatnya,
dengan cara:
1.
Menelaah latar belakang perkembangannya.
2.
Kesejajarannya dengan kepentingan penyebaran agama Kristen.
3.
Watak imperialismenya.
4.
Strategi dan skenario imperialisme barat dalam menghancurkan Islam.
5.
Proyek-proyek imperialisme yang bersifat internasional yang dapat menghancurkan
umat Islam dengan cara
mendirikan
suatu perguruan tinggi dengan nama ”al-Kulliyyah al-Injliziyyah al-Syarqiyyah
al-Muhammadiyah” dan
membina
seorang yang bernama “Mirza Ghulam Ahmad”, yang kemudian mendirikan gerakan
AHMADIYAH
QADIAN.
6.
Imperialisme barat melakukan pembinaan terhadap “Orang-orang Islam”, salah
satunya adalah MUSTHAFA KAMAL
AT-TATURK
yang berhasil menguasai Turki pada tahun 1924 dan mensekulerkan Turki.
Bahwa
modernisme barat selalu berusaha untuk melemahkan jiwa Islam, fanatisme Islam,
nilai-nilai ajaran Islam,
semangat
jihad Islam, harga diri umat Islam, menimbulkan dan mengembangkan mental
pemujaan terhadap barat dan
segala
yang datang dari barat, dengan perkataan lain, gejala-gejala yang lebih
berbahaya sekarang ini bagi kita umat Islam
Indonesia
dan umat Nahdliyyin khususnya ialah Westernisasi-modernisme, terutama di bidang
culture (kebudayaan, peny),
civilitation
(peradaban, peny) dan pemikiran, dan Materialisme-Marxisme-Komunisme, di bidang
filsafat, politik dan ekonomi.
Pembentengan
terhadap umat Islam dan Front Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya dari bahaya-bahaya
ini, haruslah
dilakukan
dengan pemberian pengertian dan kesadaran seluas-luasnya kepada arah, watak dan
hakikat modernismewesternisme
yang
jelas ingin melemahkan Islam dan umatnya. Dan pemberian “Pedoman Berfikir
Positif” ala Islam, ala
Ahlussunnah
wal Jama’ah, ala Nahdlatul Ulama (Fikrah Islamiyah, Fikrah Sunniyah, Fikrah
Nahdliyah).
Sikap
yang harus diambil oleh kalangan generasi ASWAJA adalah:
1.
MENILAI MASA LALU, berarti: a) Mempertahankan nilai-nilai positif, hasil
pemikiran atau ijtihad generasi yang lalu
(sahabat
dan ulama mujtahidin), b) Memurnikannya dari pengaruh atau percampuran
unsur-unsur khurafat, israiliyyat
dan
nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam.
2.
MENGEMBANGKAN MASA KINI, berarti: a) Menerima hal-hal baru yang bermanfaat yang
tidak bertentangan
dengan
Islam, serta mengembangkannya ke arah yang bermanfaat dan sesuai dengan ajaran
Islam, b) Menolak dan
mencegah
hal-hal baru yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam.
3.
MERINTIS MASA DEPAN, berarti: a) Menciptakan konsepsi dan inisiatif baru di
bidang teknik perjuangan yang
tidak
bertentangan dengan azas dan haluan perjuangan ISLAM ALA MADZHABI AHLUSSUNNAH
WAL
JAMA’AH,
b) Mendorong untuk berinisiatif dan berikhtiar untuk mengembangkan dan memenangkan
azas dan
haluan
perjuangan tersebut, c) Mengadakan usaha atau langkah preventif untuk menutup
atau mempersempit jalan
berkembangnya
hal-hal yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam.
Lima
dalil perjuangan adalah patokan-patokan pikiran di dalam menanggapi soal
perjuangan di bidang politik, ekonomi,
sosial,
kebudayaan, dan lain-lain, penyusunan program perjuangan, pelaksanaan program
perjuangan.
Tanggapan,
sikap dan program Nahdlatul Ulama tentang masalah-masalah perjuangan didasarkan
atas prinsip-prinsip,
patokan
atau kaidah yang disebut “Lima Dalil Perjuangan”, yaitu: Jihad fi Sabilillah,
‘Izzul Islam wal Muslimin, At-
Tawassuth
atau al-I’tidal atau at-Tawazun, Saddudz Dzari’ah, Amar Ma’ruf-Nahi Munkar.
Lima
dalil hukum adalah patokan-patokan fikiran yang dipergunakan imam-imam Mujtahid
di dalam berijtihad atau
beristinbath
tentang masalah-masalah hukum agama Islam, terutama oleh Imam-imam madzhab
Syafi’i, antara lain ; Segala
sesuatu
dinilai menurut niatnya, Bahaya harus disingkirkan, Adat kebiasaan dikukuhkan,
Sesuatu yang sudah yakin tidak
boleh
dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, Kesukaran (ke-masyakkat-an)
membuka kelonggaran.
Fikrah
Nahdliyah yang disusun oleh KH. Achmad Siddiq menjadi lebih detail dan
sistematis, lebih jelas dimana posisi NU
harus
berada, meskipun akan banyak bersinggungan dengan kelompok-kelompok lain bahkan
kalangan orang-orang NU
sendiri
yang selama ini sudah banyak keluar dari rel NU.
Seperti
diketahui, bahwa fakta kita hari ini adalah terjadinya arus perang pemikiran
dan paradigma besar-besaran di
kalangan
kaum muda NU, sebagian dari mereka ada yang mengusung mati-matian isu-isu
demokrasi, pluralisme, gender.
Sebagian
di antara mereka melakukan perlawanan-perlawanan naratif atau membuat
pemikiran-pemikiran tandingan.
Bisa
jadi arus perang pemikiran ini memang sengaja diciptakan atau menjadi skenario
besar dalam mencairkan dan
meruntuhkan
narasi-narasi yang dimiliki oleh NU. Bangunan dari narasi ini semuanya terpusat
dari kitab kuning, sebuah
kitab
yang menjadi panduan kalangan ulama NU baik dalam pengajaran, ta’lim-ta’lim di
pesantren-pesantren, masjidmasjid,
madrasah-madrasah
maupun majelis ta’lim, bahkan kitab kuning ini juga menjadi rujukan dalam pengambilan
hukum
keagamaan di lingkungan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Maka
dengan melakukan reformasi isi kitab kuning, apalagi kitab-kitab yang sangat
private menyangkut hubungan suamiistri
dan
guru-murid, yaitu “kitab ‘Uqud al-Lujain” dan “kitab Ta’lim Muta’allim” yang
keduanya merupakan kitab rujukan
di
kalangan pesantren telah menimbulkan reaksi berbagai ulama NU. Jika sudah
demikian, apakah NU diuntungkan
dengan
cara seperti ini? Ataukah kehancuran sistematis sedang melanda NU? Kiranya
Fikrah Nahdliyah ini layak untuk
direnungkan.
Sementara
untuk Persoalan “Masalahah Ummah” sudah menjadi perhatian kalangan ulama-ulama
Ahlussunnah wal
Jama’ah
dari sebelum NU didirikan, hal ini sesuai dengan peran dan fungsi keberadaan
ulama yang memang menjadi
tempat
mengadu rakyat, mengayomi dan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan
masyarakat sehari-hari, dari
mulai
persoalan tata cara beribadah, menikah, mendoakan banyak rizki, menangani
kelahiran, sunatan, aqeqahan, qurban,
menshalati,
mengkafankan dan menguburkan orang meninggal sampai mentahlilkan orang yang
sudah meninggal.
Konsepsi
dasar “Maslahah Ummah” ini berangkat dari konsep penguatan, pengembangan,
fasilitasi dan memperjuangkan
kepentingan
umat baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan, keadilan dan kesejahteraan.
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama
yang
didirikan oleh kalangan ulama tentunya tidak bisa melepaskan diri dari fungsi
ini, karena “Maslahah Ummah” ini
juga
menjadi tujuan ditegakkannya syari’ah “Maqashid as-Syari’ah”.
Kemaslahatan
sendiri adalah sebuah perintah yang mendorong kepada ajakan kebaikan (amar
ma’ruf), kebajikan, dan
menghindari
dampak buruk, dan negatif (nahi munkar). Salah satu ciri pemenuhan terhadap
kemasalahan rakyat adalah
adanya
pemenuhan tiga kebutuhan pokok; pemenuhan, sandang, pangan dan papan. Ketiga
kebutuhan ini adalah
kebutuhan
dasar setiap orang yang harus diperjuangkan, bahkan dalam perintah-perintah
al-Qur’an maupun kisah-kisah
nabi
dan para sahabat bahwa pemenuhan hak-hak dasar ini menjadi lebih utama
didahulukan ketimbang berdakwah,
sebagaimana
sabda Nabi : “Kada al-fakru an yakuna kufran”, (Kefakiran mendekatkan diri pada
kekufuran). (HR. Abu Naim dari
Anas).
Selain
tercukupinya tiga hal di atas tadi, indikator lain keberhasilan maslahah adalah
apabila mampu memenuhi lima hak
dasar
manusia, yaitu menjadi kebebasan beragama (hifzhu al-din), melindungi
keselamatan jiwa (hifzhu al-nafs), menjaga
keamanan
harta (hifzhu al-mal), menjaga kebebasan berfikir (hifzhu al-aqli), menjaga
kelangsungan keturunan dan prestise
(hifzhu
al-nasli wa al-ird). Untuk menjaga realisasi lima hak dasar ini, Islam
mempunyai bany`k instrumen. Qishas
disyari’atkan
untuk menjaga keselamatan jiwa, orang murtad dibunuh untuk menjaga agama, zina
dihukum untuk
menjaga
nasab, orang yang menuduh zina dihukum untuk menjaga sirik, pencuri dihukum
untuk menjaga harta, dan
minum-minuman
dihukum untuk menjaga akal. Dasar kaidah ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW:
“Apa yang
dianggap
baik oleh orang-orang Islam, maka dalam pandangan Allah, hal itu juga baik.”
(HR. Ahmad bin Hambal)
Aswaja
dari Manhajul Fikr ke Manhajul Harakah
Untuk
mensistematisir dan menyusun secara konsepsional dari fikroh ke harakah maka
basis argumentasinya harus
melandaskan
pada akar-akar historis Nahdlatul Ulama dengan menyusun secara lebih sistematis
dan konsepsional
gagasan-gagasan
baru yang bersifat kritis, dan kontektual, diantaranya adalah; bagaimana upaya
menggerakkan Trilogi
NU
yang pernal muncul dalam sejarah ke-NU-an; Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathon
dan Taswirul afkar, menggerakkan
wawasan
strategis ke-Aswaja-an; tradisi nusantara, Menggerakkan kaum mustadh’afin,
Menggerakkan pribumisasi Islam
dan
Menggerakkan semangat kebangsaan
Pertama,
bahwa secara historis ASWAJA adalah sebuah “proses” yang lahir bukan terus
“menjadi” tetapi terus
“berkembang”
mengikuti dinamika zaman yang selalu berubah. ASWAJA secara historis
kelahirannya terbagi dalam dua
fase;
sebagai sebuah ajaran dan pemikiran yang sudah lahir dari masa Rasulullah SAW,
hal ini dibuktikan dengan adanya
hadits
nabi yang menyebut kata “Ahlussunnah wal Jama’ah” sebagai golongan umat yang
akan selamat dari 72 golongan
yang
akan masuk neraka. Tetapi secara pelembagaan, ASWAJA mulai hadir pada masa
muculnya perpecahan aliranaliran
ilmu
kalam yang berujung pada “munculnya perumusan ilmu-ilmu fiqih”.
Kedua,
ASWAJA dalam lingkup dan tradisi NU menjadi sebuah konsep “pelembagaan ASWAJA”
yang di dalamnya
menyangkut
rumusan fiqih, akidah, dan rumusan tasawuf. Rumusan-rumusan ini lembentuk
“rumusan pemikiran dan
gerakan”.
Disebut pemikiran, karena NU dengan konsep ASWAJAnya mampu mengembangkan
berbagai metodologi
hukum-hukum
syari’ah yang sebelumnya tidak ada. Sementara disebut sebagai gerakan, karena
ASWAJA selalu menjadi
ruh
pergerakan para ulama, dari mulai membuat gerakan ekonomi, gerakan politik,
gerakan kebudayaan, gerakan
keagamaan,
gerakan pendidikan dan gerakan keba
Ketiga,
dalam perjalanannya, ASWAJA Nahdlatul Ulama menjadi ruh dalam menuangkan
gagasan-gagasan strategis,
yang
kemudian gagasan-gagasan ini juga diakui diakomodir sebagai agenda pembangunan
nasional, seperti; a) dengan
adanya
gagasan kembali ke Khittah Nahdliyah 1926, NU berhasil membangun kemandirian
organisasi, NU berhasil
menjaga
stabilitas pembangunan, dan NU berhasil menjadi garda terdepan dalam
menyebarkan Islam rahmatan lil ‘alamin
melalui
gerakan Islam damai, dan Islam kebangsaan. Dengan konsep pribumisasi Islam, NU
telah menghadirkan dirinya
menjadi
kekuatan tradisional yang progressif, transformatif, kritis dan konstruktif.
Dan pada akhirnya NU menjadi
pelopor
bagi terbentuknya “Islam Indonesia” dan menjadikannya sebagai model bagi
pengembangan Islam di negaranegara
muslim
lainnya di dunia, b) dengan adanya gagasan strategis “Mabadi Khaira Ummah”,
telah berimplikasi pada
adanya
penataan kembali struktur organsiasi NU dari mulai tingkat ranting sampai
pengurus besar, membagun kembali
pola
komunikiasi antara NU dengan warganya dan membangun gerakan ekonomi kerakyatan,
c) dengan adanya gagasan
“Fikroh
Nahdliyah”, NU mensistematisir dirinya menjadi sebuah sistem yang meberikan
kerangka metodologis dan
solusi-solusi
yang konkrit dalam memecahkan kebekuan dan kejumudan umat, d) dan dengan adanya
gagasan “Maslahah
Ummah”,
NU berupaya menegaskan dirinya sebagai organisasi pemberdayaan umat dan
perjuangan umat menuju umat
yang
sejahtera dan pelopor bagi pembangunan manusia Indonesia yang cerdas, beriman
dan bertaqwa.
Keempat,
dalam perkembanganya, ASWAJA harus mampu menjadi garda terdepan dalam
menggerakkan sendi-sendi
kebangsaan.
Semuanya demi kemaslahatan, kemajuan bangsa dan kejayaan Islam. Dalam tataran
ini ASWAJA harus
memiliki
kemampuan untuk menyusun wawasan strategis ke-ASWAJA-an yang meliputi;
bagaimana tradisi kenusantara-
an,
bagaimana menggerakkan kaum mustadz’afin, bagaimana menggerakkan pribumisasi
Islam, dan
bagaimana
menggerakkan solidaritas kebangsaan.
Kelima,
ASWAJA dituntut kemampuannya untuk merumuskan strategi-strategi konkrit,
realistis dan visioner, dimana
dalam
hal ini ASWAJA dapat menjadi panduan, pedoman dan pandangan masyarakat umum,
seperti halnya
“Madilognya
Tan Malaka yang mampu menyusun gerakan nasionalisme-kiri atau Das Kapitalnya
Karl Marx yang
mampu
menyusun pedoman gerakan komunis”.
Aswaja
dalam Praksis Gerakan
Bagaimanakah
membumikan ASWAJA dalam praksis gerakan?. Pertanyaan ini menjadi penting untuk
di jawab, agar
ASWAJA
selalu menjadi landasan dan pedoman dalam praksis kehidupan sehari-hari.
Ahlussunnah wal Jama’ah
(ASWAJA)
sebagaimana telah disebutkan dalam bab-bab awal, bukan hanya sebagai konsep
teologi, melainkan juga
sebagai
konsep berpikir dan bergerak. Oleh karena itu, harus ada hubungan sinergis
antara ajaran, landasan, sikap, pola
pikiran
dan tindakan sehingga manjadi satu kesatuan yang integral sebagai wujud dari
pembuman ASWAJA. Dalam
membumikan
ASWAJA, terdapat enam (6) pola pengembangan; landasan keagamaan, konsepsi
dasar, orientasi, pola
ukhuwah,
panduan berpikir, dan panduan bergerak
I.
Landasan keagamaan
Ø
Berpedoman pada al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas
Ø
Memantapkan ‘Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ø
Mengembangkan kontektualisasi dan aktualisasi fiqh
Ø
Menggerakkan fungsi-fungsi ushul fiqh
II.
Konsepsi dasar
Ø
Apresiasi terhadap tradisi-tradisi lokal
Ø
Menggelorakan semangat kebangsaan
III.
Orientasi
Ø
Melakukan penilaian-penilaian masa lalu
Mempertahankan
nilai-nilai positif masa lalu dan memurnikannya dari pengaruh dan pencampuran
unsur-unsur
khurafat,
israiliyyat, dan nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam
Ø
Mengembangkan masa kini
Menerima
hal-hal baru yang bermanfaat dan sesuai dengan islam dan mengembangkannya
sesuai dengan Islam
dan
menolak hal-hal baru yang tidak sesuai dengan islam atau membahayakan Islam
Ø
Merintis masa depan
Menciptakan
konsepsi-konsepsi baru yang sesuai Islam, mendorong inisiatif-inisiatif dan
ikhtiar dan
mengembangkan
azas dan haluan perjuangan tersebut, mengadakan usaha dan langkah preventif
terhadap
sesuatu
yang bertentangan dengan Islam
IV.
Pola Ukhuwah
Ø
Mengembangkan pola ukhuwah Islamiyah (ke-Islama-an)
Ø
Mengembangkan pola ukhuwah Basyariyah (ke-manusia-an)
Ø
Mengembangkan pola ukhuwah wathoniyah (ke-bangsa-an)
Ø
Mengembangkan pola ukhuwah nahdliyah (ke-NU-an)
V.
Panduan Berpikir
Ø
Mengembangkan pola pikir Tawassuthiyah (pola pikir moderat dengan tetap
mengedepankan keseimbangan dan
keadilan)
Ø
Mengembangkan pola pikir Tasamuhiyah (pola pikir toleran)
Ø
Mengembangkan pola pikir Ishlahiyah (pola pikir reformatif)
Ø
Mengembangkan pola pikir Tathowwuriyah (pola pikir dinamis)
Ø
Mengembangkan pola pikir manhajiyyah (pola pikir metodologis)
VI.
Panduan bergerak
Ø
Mengembangkan aspek-aspek Maslahah
Melakukan
advokasi kebijakan, meminimalisir bahaya, menghindari kerusakan, melakukan
gerakan preventif,
menjadi
kader pelopor, mewujudkan multi effect maslahat
Ø
Melakukan pembelaan terhadap kaum Mustadh’afin
Melakukan
pembelaan terhadap kelompok/ perorangan yang dilemahkan dan ditindas secara
struktur sosialbudaya,
ekonomi
dan politik serta memberdayakan, memperkuat dan mengembangkan sepuluh kelompok;
faqir,
miskin,
‘amil, mu’allaf qulubuhum, riqab, gharim, fi sabilillah, ibnu sabil, sa’il dan
mahrum, dan yatim
*
Sekretaris Jenderal PP IKDAR. Penulis buku “ASWAJA ; Manhajul Harakah” dan juga
penulis buku “Menggerakkan
Nahdlatut
Tujjar”. Keduanya di terbitkan oleh Perhimpunan Masyarakat Pesantren Indonesia
(PMPI) tahun 2008.