Mohon Maaf Kepada Semua Pihak Apabila Ada Kesamaan Dalam Penulisan Ataupun Isi Lainnya, "Kritik & Saran" Kami Tunggu, Terima Kasih...!

Sabtu, 11 Februari 2012

Ahlussunnah Wal Jama’ah


SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
I. PENGANTAR
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian PMII. Dalam NDP (Nilai
Dasar Pergerakan) disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid.
Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari setiap anggota/kader organisasi
kita. Akarnya tertananam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam
menjalankan Islam.
Selama ini proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan, bahkan masih berlangsung hingga saat ini.
Tahun 1994, dimotori oleh KH Said Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu diperlakukan
sebagai sebuah madzhab. Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. Selain
itu, gugatan muncul melihat perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual
dan cepat pula. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana selama
ini digunakan, lahirlah gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir).
PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain karena alasan muatan
doktrinal Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan
memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk
menjawab perkembangan zaman.
Bagi PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap
tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan
sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita,
pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja
merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis,
budaya dan agama.

II. SKETSA SEJARAH
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin,
debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-
Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak
terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan
Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam
makin terpecah kedalam berbagai golongan. Dh antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada
pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju
dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.
Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena
perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan dengan faham Jabariyah.
Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan
Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung
mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan
kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang
berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk,
moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan
golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di antaranya
Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w.
204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asx’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-
Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila
ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di
dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya
tergabung – baik tergabung secara sadar maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri
menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.

III. PENGERTIAN
Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan
aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).
Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna
pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila
dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para
Shahabat dan tabi’in.
Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam
Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan
definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan
dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh
menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i
dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-
Ghazali.
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh
Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan,
tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?
Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau
pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan perkembangan
zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk
menghadapinya. Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat
madzhab di dalam madzhab?
Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang
menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus
diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.

IV. ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul Membaca Ulang Aswaja
(PB PMII, 1997). Buku tersebut merupakan rangkuman hasil Simposium Aswaja di Tulungagung. Konsep dasar yang
dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH Said Agil Siraj yang mengundang
kontroversi, mengenai perlunya Aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan
ulama untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja.
PMII memandang bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan
yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan
toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi
persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
Sebagai manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul
(keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu
memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara
rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi
antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.
Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau
kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap
tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh
karena itu PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan
yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam
sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah
memenuhi kaidah atau tidak.
Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi
sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul PMII sebagai Muslim dengan
golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis,
ideologi politik dan agama, PMII pandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis.
Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh
sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.

V. PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah,
pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
1. AQIDAH
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya yang
pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah SWT. Dimana
terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H)
secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah yang disifati
(mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah
dan bukan pula selain-Nya.
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni
yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan
semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para
Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia
dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya b`hwa Muhammad SAW adalah
utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus
diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada
hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka
semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal
baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2. BIDANG SOSIAL POLITIK
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah),
Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu
kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri
tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan
alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah
musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar
teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria
yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas
(wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
a. Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan
dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:
“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi
Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka
bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila
mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka
diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)
b. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh
dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang
memerintahkan keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-Nisa,
4: 58)
c. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena
merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-
Khams (prinsip yang lima), yaitu:
· Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin
kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan
berkembang dalam wilayahnya.
· Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan
setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak
memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
· Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan
harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan
menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
· Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan
setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan
memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap
etnis yang hidup di wilayah negaranya.
· Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap
warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya.
Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.
Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern – bahkan
mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi
legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak
kemudian hari.
d. Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan
bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain.
Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak
dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat
disebutkan:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan“
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang palhng taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
)Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Al-Hujuraat, 49: 13
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial.
Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam
surat Al-Ma’idah.
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan
memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk
mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya
di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam
wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah
Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar
sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
3. BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syari’ah)
Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua
madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an merupakan sumber hukum
tertinggi dalam Islam.
Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan
oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-
Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal
(masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli
wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang
mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.
Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: 115 “Dan barang siapa menentang rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi
atas (perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah, 2: 143.
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan
sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat
hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
4. TASAWUF
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan "Tasawuf artinya Allah memathkan dirimu dari
dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah
SWT tanpa keterikatan apa pun."
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah…
Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang
terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan.
Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran
tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.”
“berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid, lalu “menyucikan hati dari apa
saja selain Allah.... Mereka (kaum Sufi) telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,” kata Imam Al-
Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama
keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin
untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa?
karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai
Khalifah harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja
Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar
Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai
pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai
pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa
meninggalkan urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut
pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi,
politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus
ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara
hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud
di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi
manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.

VI. PENUTUP
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan.
Sebagai sebuah metode pemahaman dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan
metode akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas pendekatan diatur sedemikian rupa
sehingga menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan
atau perubahan sangat mungkin terjadi.
Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar teknikalitas sama tinggi dengan
metode ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap
Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang telah kami sajikan di sini,
yang sangat butuh banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per
langkah tindakan dan pandangan gerakan, akan muncul kemudian apabila kenyataan lapangan sungguh-sungguh
menuntut dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang kebutuhan primer kolektif kita masih terletak pada
memahami, hal semacam itu kami pandang belum menjadi kebutuhan obyektif.
Tashwir:

MEMBINCANG MANHAJ FIKR NU
Ahmad Fawaid Sjadzili
Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah. Kini sedang menyelesaikan pendidikannya di Program Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Redaktur Pelaksana Jurnal Tashwirul Afkar
Ketika Kang Said Aqil Siradj mengatakan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) bukan madzhab melainkan manhaj, shlang
pendapat di lingkungan nahdliyin tidak terbendung. Bagi Kang Said, alasannya sangat sederhana: bagaimana mungkin di
dalam madzhab ada ‘sekoci’ madzhab lagi? Namun bukan tempatnya mengulang kembali debat klasik ini dalam tulisan
berikut. Yang patut ditegaskan di sini adalah bagaimana menjadikan Aswaja sebagai manhaj, gugusan paradigmatikkonseptual
yang memungkinkannya menjadi alat dan perangkat (tool) baik dalam berpikir maupun bertindak di kalangan
nahdliyin.
Sebagaimana mafhum, terma Aswaja merupakan istilah paska kenabian. Ia lahir paska era kenabian yang ditandai dengan
tercerai-berainya komunitas Islam menjadi skisma aliran (scism) yang tidak tunggal. Masing-masing mengidentifikasi diri
sebagai pengikut Nabi yang paling ‘tepat’ dibandingkan dengan lainnya. Sungguhpun istilah ini lahir paska era kenabian,
namun istilah tersebut selalu saja dipautkan pada sebuah tradisi dalam momen sejarah Islam paling awal, yaitu generasi
Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya yang terpercaya. Atas dasar inilah, definisi Aswaja mengacu dan diacukan
pada “apa yang saya (Nabi) dan para sahabatku lakukan” (ma ana ‘alayhi wa ashabi). Ini artinya, Aswaja diukur dengan
sejauh mana tradisi dan kebiasaan Nabi dan para sahabat terpercaya mewarsi dan mewarnai kerangka berpikir dan
bertindak sehingga tindakan dan pemikiran itu ada pada jalur yang tepat (on the right track).
Dalam perkembangannya, identifikasi identitas itu pun mengkristal pada dua ujung yang ekstrem: ‘kelompok yang
selamat’ (al-firqah an-najiyah) dan ‘kelompok yang sesat’ (al-firqah al-dlallah). Dengan berlandaskan pada hadis tentang
perpecahan umat, maka Ahlussunnah mendakwa diri sebagai firqah yang tepat dan selamat. Dalam bingkai semacam ini,
‘yang lain’ akan dengan mudah dituduh dan distigma sesat oleh otoritas yang berkuasa. Dan label ini pun bisa terjadi
secara bergantian. Dalam sejarah Islam, contoh pertarungan antara Mu’tazilah dan Ahlussunnah pada era Al- Ma’mun
dilanjutkan Al-Mu’tashim dan berpuncak pada al-Wasiq dengan era Al- Mutawakkil menjadi contoh betapa label selamat
dan sesat dengan mudah dialihkan, tergantung ‘selera’ rezim yang berkuasa. Apa yang dikenal dengan ‘tragedi mihnah’
ini menjadi contoh tak terbantahkan dari goyang pendulum yang labil antara keselamatan dan kesesatan yang semata
dipagari dengan apa yang disebut kekuasaan. Pada masa Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Wasiq, kelompok yang
dianggap sesat adalah ahlul hadis dengan ikon intelektualnya Ahmad ibn Hanbal. Sebaliknya pada masa AlMutawakkil,
kelompok yang dianggap sesat adalah ahlu ar-ra’yi atau lebih populer disebut mu’tazilah.
Imaginasi tentang firqah najiyah yang oleh sebagian kalangan disematkan pada kelompok Ahlussunnah Waljama’ah ini
terus berkembang. Tidak saja dikontestasikan dengan Mu’tazilah, Ahlussunnah belakangan lebih diposisikan secara
berhadapan dengan Syi’ah. Dalam konteks Syi’ah pun, label Aswaja masih menjadi identitas yang diperebutkan (contested
identity). Buku yang ditulis Muhammad At-Tijani As-Samawi, doktor filsafat Universitas Sorbone, yang berjudul Asy-
Syi’ah Hum Ahlu as-Sunnah [1993] menjadi contoh dari perebutan ini. Buku itu hendak menegaskan bahwa Syiah adalah
Ahlussunnah, bahkan dinilai lebih Ahlussunnah ketimbang kelompok yang selama ini mendakwa dirinya Ahlussunnah.
Perebutan serupa tampaknya juga terjadi di Nahdlatul Ulama. Untuk mengidentifikasi identitasnya dengan ‘yang lain’,
NU menjadikan Islam dengan faham Aswaja sebagai asas dan aqidah organisasinya. Berbeda dengan bingkai besar
Aswaja dalam sejarah teologi Islam, NU melakukan modifikasi dengan menyumbangkan pemaknaan konsep Aswaja.
Lahirlah kategorisasi yang mengacukan paradigma bermadzhab dengan mengikuti salah satu dari empat madzhab yang
populer, mengikuti paradigma berteologi Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dan paradigma bertasawuf Al-Ghazali dan Al-
Junaid al-Baghdadi sebagai paradigma Aswaja versi NU. Modifikasi pemaknaan ini diyakini sebagai ‘ijtihad’ yang
mencoba mendudukkan beragam aliran dan firqah pada tempatnya, sambil mencari celah untuk menemukan ‘jalur
tengah’ yang tidak memihak pada ekstremitas yang ada. Jalur tengah itu akhirnya dijumpai dalam paradigma berpikir
yang dibangun empat ulama madzhab dalam fiqih, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam teologi, serta Al-Ghazali dan Al-
Junaid Al-Baghdadi dalam tasawuf. Dengan koridor yang dirumuskan pada ulama itulah, NU hadir menjadi sebuah
organisasi dengan paradigma berpikir yang lepas dari aspeks ekstrem dengan Aswaja sebagai paradigma dan kekuatan
doktrinalnya. Aswaja diyakini membiaskan nilai-nilai yang mencoba menjembatani kesenjangan antara dua ekstremitas.
Apa yang disebut dengan tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan al-‘adalah menjadi prinsip dalam mengemas
gagasan dan melakoni tindakannya. Sayangnya, prinsip moderatisme kerap menjadi dalih untuk menghakimi ‘yang lain’
sebagai melampaui batas. Batas-batas moderatisme pun menjadi kabur, sebagaimana kaburnya aliran dan firqah yang
dituding sebagai ekstrem.
Rekomendasi muktamar NU ke-31 di Solo menunjukkan kekaburan itu. Dalam butir rekomendasi itu tertuang pernyataan
bahwa Aswaja menolak segala bentuk fundamentalisme, ekstremisme, liberalisme, dan aliran-aliran yang menyimpang.
Tidak ada penjelasan apa, bagaimana, dan batas-batas fundamentalisme, liberalisme, ekstremisme, dan aliran-aliran yang
menyimpang. Kenyataan ini mengukuhkan penulis bahwa muktamar ke 31 seolah menjadi saksi betapa fragementasi
ideologis di kalangan warga nahdliyin begitu telanjang dan manifes. Liberalisme, fundamentalisme, ekstremisme, dan
aliran menyimpang di kalangan nahdliyin menjadi isu yang mengemuka, dan tidak jarang diperhadapkan secara vis a vis
dengan apa yang didakwa Aswaja yang diyakini membiaskan nilai-nilai moderat. Belum lagi labelisasi liberal yang kerap
disematkan pada anak muda, sementara di sisi yang lain fundamentalisme lebih dikaitkan dengan alam pikir generasi tua.
Praktis, ketegangan paradigmatis antara generasi tua dan muda kian tak terjembatani. Sementara generasi tua a priori
menyikapi kiprah anak muda, sebaliknya anak muda apatis dengan apa yang dilakoni generasi tua. Ruang dialog
tersumbat, dan yang terjadi adalah penghakiman.
Ketegangan paradigmatik ini ujungnya membuahkan raibnya saling percaya antar generasi yang berbeda. Kenyataan ini
tentu saja kontra produktif dengan kenyataan betapa warna-warninya gagasan yang bersemai di lingkungan NU tidak
serta-merta tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai dinamika yang niscaya terjadi. Tapi sayangnya, variasi
gagasan sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab karya ulama salaf seolah kurang tampak dalam konteks dinamika berpikir
di lingkungan NU. Perdebatan yang produktif disertai argumentasi yang memadai sebagaimana didedahkan dalam kitabkitab
otoiritatif (al-kutub al-mu’tabarah) di lingkungan pesantren itu tidak membias dalam tradisi berpikir kalangan
nahdliyin. Malah yang terjadi kemudian adalah penunggalan cara berpijir dan bertindak atas nama manhaj fikr NU.
Dirunut dari sejarahnya, berdirinya NU sebagai sebuah institusi sosial keagamaan merupakan produk alam pikir lain di
tengah main stream alam pikir yang berkembang saat itu. Pertarungan pemahaman dan perbedaan paradigma berpikir
yang dikembangkan gerakan Wahabi yang diimpor ke tanah air bisa dijadikan titik pijak benih-benih lahirnya NU.
Problem khilafiyah yang bersumber dari perbedaan metode berpikir itu kemudian menjadi landasan mendesaknya
terbentuknya NU sebagai organisasi sosial keagamaan.
Atas argumen untuk ‘menyelamatkan’ masyarakat dari sesat pikir yang ditudingkan sebagian kelompok pada lainnya,
NU hadir untuk mensinergikan ramuan Islam Timur Tengah yang dibawa para funding fathers yang ngelmu ke sana
dengan khazanah dan tradisi lokal (baca; tradisi nusantara) yang berkembang di tanah air. Atas dasar ini pula, kehadiran
NU merupakan institusionalisasi ‘metode berpikir’ yang dirumuskan para funding fathers NU. Dan metode berpikir itu
tidak pernah tunggal, melainkan beragam, sebagaimana beragamnya acuan kalangan nahdliyin dalam bermadzhab,
berteologi, dan bertasawuf.
Tentu saja, ini bukanlah satu-satunya argumentasi yang mendasari lahirnya NU. Hal lain, yang bisa jadi lebih penting,
juga turut dalam mendesakkan perlunya sebuah organisasi sosial keagamaan yang berbasis pada ulama: sebuah
komunitas yang mewarisi kenabian (al-‘ulama warastatul anbiya’) adalah komitmen pemberdayaan umat yang terpuruk
baik secara ekonomi, pendidikan, dan moral. Nahdlatut Tujjar, Tashwirul Afkar, dan Nahdlatul Wathon yang merupakan
unsur ‘pra organisasi’— meminjam istilah MM Billah—menjadi cikal bakal NU menjadi organisasi. Meskipun, kata Billah,
unsur nahdlatut tujjar yang memberikan perhatian pada peningkatan ekonomi warga NU ‘patah sebelum menjadi tunas
yang subur di dalam struktur organisasi (Billah: 1998). Karena alasan ini pula, Billah menengarai raibnya perhatian NU
terhadap ekonomi warga.
Aswaja sebagai manhaj fikr masih berupa rumusan-rumusan abstrak, dan sebagaimana dinyatakan para petinggi NU,
rumusan itu masih tersebar dalam kitab-kitab rujukan yang masih diwarisi kalangan pesantren hingga kini. Memang ada
upaya untuk merumuskan secara tertulis metode berpikir yang abstrak itu. Ini misalnya dilakukan oleh KH. Ahmad
Shiddiq yang saat itu menjadi Ketua Wilayah Partai NU Jawa Timur, pada tahun 1969 menyusun konsep tentang Metode
Berpikir Nahdlatul Ulama. Bisa jadi, ini adalah rumusan standar tentang “koridor berpikir” warga Nahdliyin. Namun
juga tidak menutup kemungkinan bahwa itu hanyalah “ijtihad” KH. Ahmad Shiddiq dalam membaca dan menafsirkan
realitas yang berkembang di NU. Lepas dari apakah Metode Berpikir NU yang dirumuskan KH. Ahmad Shiddiq hanyalah
interpretasi personal atau rumusan organisasional, yang jelas rumusan itu diproduksi ketika NU berkiprah sebagai partai
politik. Dalam perjalanan waktu, perubahan yang luar biasa dinamisnya terjadi tidak saja di lingkungan NU, tapi di
kawasan tanah air secara umum. Bagaimanapun, teks rumusan metode berpikir itu tidak hadir dalam ruang hampa. Ia
hadir dalam ruang dan waktu yang melingkupinya.
Jadi, sangatlah tidak adil jika teks tersebut dimonumenkan dan lepas dari sentuhan kekinian. Sebagai teks yang terbuka,
rumusan metode berpikir itu terbuka untuk ditafsir. Dari tafsir itulah, generasi selanjutnya membaca sekaligus
menerjemahkan dalam wujud yang beragam. Ragam interpretasi itulah kemudian melahirkan ragam kecenderungan di
internal organisasi itu. Sungguhpun demikian, tidak semua bersepakat dengan tingkah polah generasi ’penerjemah’ itu.
Tidak sedikit yang keberatan, bahkan melabelinya sebagai tindakan liar yang lepas dari koridor ke-NUan. Seiring dengan
perkembangan NU dengan segala dinamikanya, ketegangan antara generasi tua dan generasi muda semakin sulit
dipertemukan. Munculnya ikon baru dalam pemikiran keislaman belakangan ini kian meruncingkan kesenjangan antara
generasi tua dan muda. Seolah liberalisme berpikir menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi muda. Sungguhpun
demikian, respons generasi tua tidak selalu tunggal. Terdapat beberapa kiai NU yang mengecam keras para kader muda
NU yang ditengarai berpaham liberal, namun ada pula para kiai yang "memahami" hal itu dan menilainya sebagai
"kewajaran".
Seiring dengan menguatnya arus radikalisme Islam di tanah air akhir-akhir ini, para kiai NU juga semakin keras
mengecam liberalisme Islam yang diusung generasi muda NU. Pasalnya, liberalisme Islam didakwa tidak sesuai dengan
faham NU. Mereka pun mendakwakan untuk "tazkiyah" (menyucikan) dari unsur-unsur luar yang dipaksamasukkan (addakhil)
ke dalam NU, semisal apa yang dilakukan oleh eksponen liberalisme Islam ini. Propaganda anti liberalisme Islam
pun disebar tidak saja ditujukan kepada para pengurus NU di forum-forum resmi, tetapi juga di pengajianpengajian
umum.
Sayangnya, kampanye anti liberalisme Islam ini tidak dilandasi dan dipayungi oleh kejelasan yang terang benderang
tentang koridor dan manhaj fikr NU. Dengan kata lain, batas-batas pemikiran yang menandai seseorang masih NU atau
keluar dari NU belum sepenuhnya dipancangkan. Hal ini menyebabkan munculnya generalisasi terhadap anak-anak
muda NU yang dikategorikan kemajon.(terlalu maju). Padahal bagi kaum muda, mengembangkan pemikiran-pemikiran
baru melalui ijtihad atau inovasi baru merupakan keharusan yang tidak bisa dipungkiri. Tanpa upaya itu, maka akan
terjadi kemandegan berpikir di lingkungan NU. Pada saat yang sama, generasi tua diharapkan menjadi ’pemandu’ yang
bijak dalam menyikapi kreasi yang beragam di kalangan anak mudanya. Bukan malah mematahkan upaya inovatif yang
niscaya dibebabkan pada anak mudanya. Dengan demikian, komunikasi timbalbalik harus menjadi forum yang
memungkinkan untuk bisa saling mengkomunikasikan peran dan tanggung jawabnya.[]
Prospektif Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam NU 12/12/2007
Oleh : Ahmad Damanhuri Tuanku Mudo
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344
H (31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh
pesantren. Tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dan menganut salah
satu mazhab empat. Ini berarti NU adalah organisasi keagamaan yang secara konstitusional membela dan
mempertahankan Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel.
Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah wal Ijtima’iyah), NU merupakan bagian integral dari wacana
pemikiran suni. Terlebih lagi, jika kita telusuri lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki pertautan sangat erat
dengan para ulama “Haramain” (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Usmani yang ketika itu
berhaluan Aswaja.
Selama ini image masyarakat terhadap NU terlanjur miring dengan jargon sebagai kaum tradisionalis, kolot, irasional dan
jumud (stagnan) dalam pemikiran. Tentu saja image tersebut tidak berdasar. Jika NU statis, bagaimana mungkin memiliki
umat 35 juta yang tersebar di seluruh tanah air dan memiliki kredo (kaidah hukum) Al-Mukhafatdlatu ‘Ala Qadimish Shalih
Wal Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan nilai dan tradisi lama yang dianggap baik dan relevan, dan akomodatif
terhadap nilai dan tradisi baru yang lebih baik). Bahkan seorang Ben Anderson (pakar studi tentang Indonesia dari
Amerika) mengeluhkan sedikitnya perhatian ilmiah yang diberikan pada NU. Padahal NU yang dianggap sebagai simbol
Islam tradisionalis, menurutnya, memainkan peran signifikan dalam berbagai perubahan sosial dan politik di Indonesia.
Lebih keras lagi Ben menuduh adanya prasangka ilmiah (scholarly prejudices) dalam studi-studi Indonesia yang membuat
NU terabaikan dan terisolasi.
Keadaan agak tertolong, setelah NU secara yuridis menjustifikasikan satu keputusan monumental bagi reformasi secara
kritis dan analitis dalam institusi tertinggi dibawah Muktamar yaitu Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandar
Lampung pada tahun 1992. Dalam keputusan tersebut disepakati bahwa sistem pengambilan keputusan hukum dalam
Bahsul Masail Diniyah (pembahasan masalah-masalah agama) bisa dilaksanakan dengan pola bermazhab secara qauli
(tekstual) maupun manhaj (kontekstual). Hal ini memberikan kemungkinan untuk mengikuti manhaj, jalan pikiran dan
kaidah hukum yang telah disusun oleh para Imam mazhab. Begitupun dalam bidang akidah, tidak mustahil terjadi
pembaharuan pemikiran sepanjang sejalan dengan manhaj Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-
Maturidi. Pola berpikir semacam ini dapat diketahui pada pemikiran Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali,
Al-Syahrastani dan Al-Razi.
Reinterpretasi Aswaja NU
Secara kebahasaan, Ahlussunnah Wal Jamaah dapat dikonsepsikan : Ahlun berarti pemeluk aliran atau pengikut mazhab. Al-
Sunnah berarti thariqat (jalan), sedangkan Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Secara terminologi
dapat didefenisikan bahwa Aswaja adalah orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek
kehidupan yang berlandasan atas dasar-dasar moderasi, menjaga kesinambungan dan toleran, dan shalat tarawih 23
rakaat. Pandangan seperti itu pas betul dengan anggapan sementara orang luar NU terhadap perilaku warga NU sendiri.
Prospektif Aswaja NU
Diskursus Aswaja dalam NU kurun 1994-sekarang ini terbilang cukup mengagetkan kalangan ulama tua. Doktrin Aswaja
NU selama ini dinilai sebagai sesuatu yang final dan haram hukumnya diperdebatkan eksistensinya. Secara mengejutkan,
muncul pemikiran baru tdntang perlunya rekonstruksi rumusan Aswaja NU untuk mengantisipasi perkembangan
pemikiran dalam bidang keagamaan yang melaju dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Alasannya, konstruksi
fiqhiyyah Aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive dalam menghadapi perubahan sosial. Akan tetapi lain
halnya, bila menelusuri doktrin Aswaja NU dalam bidang teologis, yang di dalamnya tidak luntur sebagaimana
konstruksi fiqh.
Pemikiran nyeleneh yang disebut terakhir ini, sebenarnya akibat langsung dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) yang tradisionalis radikal (meminjam istilah Mitsuo Nakamura). Ia mengkombinasikan sintesis yang canggih dari
apa yang terbaik di dalam nilai-nilai modernitas dan komitmen terhadap rasionalitas dan keulamaan maupun
kebudayaan tradisional. Pemikiran radikal gaya Gus Dur kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh NU diantaranya Prof. Dr.
KH. Said Agil Siradj, MA, Masdar F Mas’udi dan Fajrul Falakh.
Salah satu rekonstruksi Aswaja adalah pandangan bahwa doktrin Aswaja harus dipahami sebagai Manhaj Al-Fikr atau
sebagai metotologi berfikir, bukan Aswaja sebagai mazhab apalagi produk Mazhab. Ini artinya, berpaham Aswaja berarti
bersikap dengan menggunakan Manhaj Tawasuth, yaitu bersikap ditengah-tengah antara pemahaman tektual dengan
rasionalisme, bersikap dengan Manhaj Tawazun, berarti berpandangan keagamaan yang berusaha mengembangkan, sikap
moderat Aswaja tercermin pada metode pengambilan hukum (istimbat) yang tidak semata-mata menggunakan nash,
namun juga memperhatikan posisi akal. Dalam wacana berpikir selalu menjembatani antara wahyu (nash) dan rasio (alra’yu).
Metode seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat serta generasi berikutnya dalam
menelurkan hukum-hukum pranata sosial.
Sikap lain yang ditunjukjan adalah tawazun atau sikap netral yang dalam berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok
bergaris keras (tatharruf), tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang lalim mereka tidak segan-segan mengambil jarak
dan mengadakan aliansi. Sedangkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, Aswaja mempunyai sikap toleran (tasamuh)
yang tampak dalam pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap umat lain saling
menghargai.
Lebih menarik, bila mengamati Aswaja dalam NU. Terminologi Aswaja masih memungkinkan memerlukan reinterpretasi
(penafsiran ulang). Hal ini karena rumusan baku Aswaja NU belum terlalu tegas. Dalam qanun asasi (UUD) NU pun belum
ada penjelasan yang mendasar mengenai rumusan Aswaja. Di dalamnya, KH. Hasyim Asy’ari (Rais Akbar) menyebutkan
Madzahibul Arba’ah (bukan salah satu dari empat mazhab). Penyebutan itu bertujuan agar warga NU yang heterogen
wacana pemikirannya tidak ta’asub. Ini artinya doktrin itu bukan kebenaran absolut, yang tidak bisa menerima tawaran
pemikiran baru. Landasan pikirnya, tentu karena hal itu masih merupakan wilayah ijtihadiyah, sehingga mungkin saja
dibenarkan jika kalangan NU itu sendiri melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks Aswaja yang ada. Selama ini orang
NU berpendapat bahwa berhaluan Aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar, mendirikan madrasah, mengelola
ziarah kemakam para ulama terdahulu, seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan Padang Pariaman dan wali songo di pulau
Jawa, tahlilan, manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan dalam menjalin hubungan antara manusia dengan
tuhannya, manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya. Hal inilah yang menunjukkan bahwa
Aswaja sangat prospektif, tidak mati karena perkembangan zaman.
Pemikir-pemikir liberal yang disebut sebelumnya juga berimplikasi terhadap perkembangan pemikiran NU di daerah
yang tidak saja di dominasi oleh pemikiran kiai-ulama sepuh, tetapi gerak langkah tokoh muda NU menghiasi wacana
baru yang lebih progresif.
Menanggapi fenomena di atas, sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era mendatang dan kiranya perlu kesiapan
mental menguasai elite NU agar dinamika pemikiran mereka tidak dipasung, dan atau dibiarkan berkelana hingga sudut
langit di awang-awang, tanpa bisa dibumikan dilingkungan jam’iyah NU yang selalu berpegang kuat pada senjata
akomodatif terhadap perkembangan baru yang lebih baik.
Pengurus Departemen Agama dan Idiologi PW. GP. Ansor Sumbar
KONTEKSTUALISASI ASWAJA
(dari Doktrin ke Manhaj al Fikr )?
Oleh: Abu Hafsin
Pendahuluan
Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja) selama ini difahami sebagai sebagai suatu sekte keagamaan terbesar dalam Islam
dan diklaim sebagai aliran yang paling benar. Itulah karenanya pengikut Aswaja, yang lebih sering disebut sebagai
kelompok Sunny, sering dipandang oleh outsiders (para Islamolog yang bukan Islam) sebagai orthodoxy (orthos
berarti “benar” dan doxa berarti “pendapat”). Islam. Sedangkan kelompok di luar itu diangap sebagai heterodox
(hetero berarti “lain”). Jadi heterodoxy merupakan suatu aliran keagamaan yang diangap berbeda dengan keyakinan
kebanyakan orang. Dalam manifestasi kehidupan sosial, heterodoxy sering muncul dalam wujud gerakan-gerakan
sempalan yang berada di luar mainstream. Karenanya, dari sudut pandang ethimologis ini, kelompok Syi’ah bisa
dikategorikan sebagai kelompok heterodox. Namun bagaimanakah dengan kelompok sempalan, yang gerakan
keagamaannya berada di luar mainstream tetapi mengaku pengikut Aswaja? Bagaimana kalau mereka yang
jumlahnya tidak banyak itu justeru menuduh mayoritas Muslim sebagai kelompok yang tidak mengikuti Aswaja?
Untuk menjawab persoalan ini sudah selayaknya jika GP Ansor, sebagai komponen generasi muda NU, mencoba
berpikir serious mengenai perkembangan pemikiran keagamaan. Kesan selama ini bahwa Ansor hanya sebagai batu
loncatan untuk menaiki tangga politik, memang terrasa begitu kental. Kegiatan intellectual nyaris terabaikan, dan
kalaupun ada sepi dari peminat. Tulisan berikut ini tidak akan mencoba menjelaskan mengapa kegiatan-kegiatan
Ansar menjadi sangat pragmatic, tetapi hanya akan memberikan gambaran ilmiyah bahwa Aswaja yang selama ini di
klaim oleh NU dan seluruh badan otonomnya sebagai ruh pergerakan itu dapat dibenarkan secara historis dan
ilmiyah.
Aswaja yang Historis
Pendapat bahwa Aswaja bukan sebagai doktrin merupakan pengingkaran terhadap kenyataan. Pemahaman
keagamaan yang tersebar dalam berbagai bidang ilmu-ilmu ke-Islam-an, seperti Fiqh Theologi dan Sufisme, yang
sekarang dianut oleh kebanyakan umat Islam merupakan doktrin Aswaja. Dengan demikian jika Aswaja hanya diakui
sebagai manhaj atau metoda pemahaman Islam, pendapat ini merupakan pengingkaran terhadap kenyataan. Jadi
permasalahan yang penting untuk dikembangkan bukan apajah Aswaja sebagai doktrin itu ada atau tidak, tetapi
apakah pembahasan Aswaja itu cukup mendasarkan pada wilayah doktrinal ataukah harus pula membahas Aswaja
sebagai sebuah metoda pemahaman keagamaan. Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah apakah
pembenaran (justification) terhadap Aswaja itu cukup dengan pendekatan normatif?
Tradisi pemikiran Islam yang ada sekarang (Fiqh, theologi, Sufisme dan lainya) tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir
dari suatu proses pergumulan yang panjang, yang sudah barang pasti terkait erat dengan aspek-aspek sosio-kultural
serta sosio-politik yang melingkupinya. Itulah karenanya untuk mendapatkan gambaran utuh, pengkajian Aswaja
tidak cukup hanya mengandalkan pada kajian-kajian doktrinal dengan pendekatan normatif, tetapi harus melibatkan
kajian kesejarahan. Kajian kesejarahan ini penting dilakukan untuk meluruskan pola-pola pemahaman keagamaan
mana yang historis dan mana yang ahistoris.
Ada beberapa alasan mengapa kajian kesejarahan ini sangat penting. Pertama, banyak umat Islam yang melihat
Aswaja dengan berbagai variasinya hanya sebagai ideologi yang baku, seolah infallible dan immune terhadap
perubahan zaman. Dalam konteks ini Aswaja seringkali diartikan secara sederhana yakni sebagai antitesa dari faham
Syi’ah, orthodoxy dari heterodoxy atau sunnah dari bid’ah. Khusus di Indonesia, Aswaja ini bahkan telah diklaim
sebagai ideologi dari berbagai organisasi keagamaan. Meskipun diantara Ormas Islam yang ada, NU dan badan
otonomnya yang paling rajin mengkampanyekan dirinya sebagai penerus dan pemelihara faham Aswaja, Ormasormas
Islam lainnya juga telah mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja, baik secara implisit maupun eksplisit.
Salah satu keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa keputusan tentang “iman merupakan akidah
ahlul haqq wa al-sunnah”.Persis juga mengklalim dirinya lebih berhak menyandang predikat Aswaja dengan alasan
bahwa ia tidak bermadzhab (Said, 1999: 114). Dengan demikian klalim “ahlusunnah” sebenarnya lebih pantas
disandang mereka. Bahkan baru beberapa tahun yang lalu muncul fenomena baru yang sangat menarik karena
kelompok Muslim garis keras telah mengklaim dirinya secara eksplisit sebagai “kelompok Jihad Aswaja”.
Di tengah munculnya klaim Aswaja yang dilakukan berbagai organisasi kegamaan di Indonesia saat ini, sudah
selayaknya jika Ansor sebagai komponen generasi muda NU, memberikan pemaknaan yang benar dari konteks
manhaji (metodologis). Mengapa tidak dari sudut pandang doktrinal? Karena upaya pemaknaan dan pendefinisian
kembali (redefinisi) Aswaja secara doktrinal terkadang menimbulkan hal-hal yang paradoksal. Doktrin merupakan
hasil pemikiran seseorang yang kemudian terlembaga menjadi ajaran baku. Sudah barang pasti dalam proses
pembakuan ini terkait dan terpengaruh oleh kondisi waktu dan tempat. Doktrin yang dihasilkan oleh para ulama
terdahulu belum tentu tepat dengan kondisi sekarang. Justeru kalau kita memaknai Aswaja dari sisi doktrinal, kita
akan terjebak sendiri. Boleh jadi kita tidak lagi bisa dikatakan sebagai bagian dari penganut Aswaja yang hakiki karena
telah melakukan pemutlakan pembenaran doktrinal.
Alasan kedua mengapa Aswaja tidak harus difahami dari sisi doktrinal ini didasarkan atas suatu kenyataan bahwa
banyak pendapat para Imam yang kita anggap sebagai rujukan tetapi berbeda tajam antara satu sama lainnya.
Misalnya al-Junaidi menyatakan bahwa peniadaan sifat-sifat Allah merupakan awal dari sikap tawhid . Ini jelas akan
bertentangan dengan faham Imam al-Asy’ari yang menyatakan bahwa Allah memiliki sifat. Inilah yang menyulitkan
kita untuk bisa memberikan pembenaran jika Aswaja difahami dalam konteks doktrinal. Oleh karena itu, untuk
memberikan pembenaran, perlu kiranya melihat Aswaja dalam konteks manhaj atau metodologi pemahaman
keagamaan.
Ketiga, dasar pembenaran Aswaja selama ini seringkali bersifat teologis normatif. Ada dua Hadits riwayat Imam
Turmudzi dan satu Hadits riwayat Imam Tabrani yang sering digunakan untuk membenarkan Aswaja. Hadits-hadits
tersebut menceritakan tentang akan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam sampai 73 kelompok sebagaimana
telah terjadi di kalangan Yahudi dan Kristen. Dintara ke 73 kelompok itu semuanya akan masuk Neraka kecuali satu
kelompok, yakni kelompok pengikut Sunnah Nabi dan para Sahabatnya. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh
Tabrani bahkan disebutkan secara eksplisit bahwa yang satu kelompok itu adalah Ahlu Sunah Wa al-Jama’ah.
Pembenaran secara teologis-normatif tidak ada salahnya. Pendekatan normatif tidak harus dihadapkan secara
diametrical dengan pendekatan ilmiyah. Dalam banyak hal, keyakinan keagamaan juga perlu mendapatkan
pembenaran normatif. Dengan demikian persoalannya bukan tidak boleh menggunakan pendekatan normatif untuk
mendukung Aswaja tetapi sejauh mana pendekatan normatif itu berwatak coherent dan tidak paradoxical.
Jika diteliti secara mendalam, ketiga hadits pembenar Aswaja itu berwatak paradoxical dan mungkin sekali lahir saat
umat Islam dilanda perpecahan. Hadits-hadits itu muncul untuk tujuan penyatuan Umat Islam yang sudah tercerai
berai akibat perang saudara. Bahwa dalam Hadits-hadits tersebut terkandung tujuan yang sangat mulia, memang
tidak diragukan lagi. Namun dalam memenuhi tujuan yang mulia tersebut ada satu prinsip yang terkorbankan, yakni
prinsip kesucian Muhammad sebagai Rasulullah.
Kehadiran Nabi Muhammad saw. di tengah masyarakat “Jahiliyah” sudah barang pasti tidak bisa dipisahkan dari misi
kerasulan, baik dalam wujud al-Qur’an maupun dalam bentuk prilaku pribadinya. Namun misi kerasulan yang
dibawanya itu seringkali berhadapan dengan kecenderungan umum masyarakat Jahiliyah yang menganggap orang
sehebat Nabi sejajar dengan para Kahin (tukang ramal). Itulah karenanya al-Qur’an sangat berkepentingan untuk
membentengi Nabi dari tuduhan sebagai Kahin dengan pernyataan yang tegas bahwa apa yang dibawa Nabi benarbenar
merupakan wahyu Allah. Kalau al-Qur’an mencoba meyakinkan masyarakat Arab pra-Islam bahwa apa yang
dibawa oleh Nabi itu benar-benar wahyu serta mencoba menjaga Nabi agar terhindar dari tuduhan sebagai peramal,
pertanyaannya apakah logis jika Nabi kemudian banyak menyatakan hal-hal yang prediktif? Bukankah hal demikian
ini bertentangan dengan logika umum yang tersimpul dari al-Qur’an itu sendiri? Sudah barang tentu hal ini tidak
mungkin dilakukan Rasulullah. Itulah karenanya hadits-hadits yang bersifat prediktif ini sulit untuk bisa diterima
sebagai landasan normatif untuk membenarkan Aswaja.
Dengan bersandar pada ketiga alasan di atas, pembenaran atas Aswaja harus dilihat dari aspek kesejarahan. Dari hasil
pendekatan kesejarahan ini kemudian Aswaja di rekonstruksi menjadi konsep-konsep yang abstrak. Konsep-konsep
abstrak inilah yang akan kita jadikan sebagai pola atau model pemahaman keagamaan. Inilah yang kami maksudkan
Aswaja sebagai metoda pemahaman keagamaan Islam.
Pemahaman Aswaja Sebagai Manhaj al Fikr
Dalam tradisi umat Islam di Indonesia, khususnya NU, penganut Aswaja biasanya didefinisikan sebagai orang yang
mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam bidang Fiqh, mengikuti Imam al-
Asy’ari dan Maturidi dalam bidang akidah dan mengikuti al-Junaydi dan al-Ghazali dalam bidang tasawwuf. Sejauh
pengetahuan penulis, definisi ini pertama kali dirumuskan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana
tertuang dalam Qonun Asasi NU.
Secara doktrinal, pengertian Aswaja di atas sama sekali tidak salah. Pengertian ini merupakan definisi operasional
yang ditujukan untuk memudahkan pemahaman Aswaja. Definisi ini memang diperuntukkan bagi mereka yang,
karena profesi dan tingkat keilmuan yang dimiliknya, tidak mungkin melakukan penelitian kesejarahan terhadap
Aswaja. Jadi untuk memudahkan pemahaman, maka disediakanlah jawaban yang praktis operasional. Ini seperti Nabi
yang ditanya Malaikat Jibril tentang pengertian Iman, Islam dan Ihsan. Jawaban yang diberikan Nabi merupakan
jawaban praktis operasional. Meskipun Nabi yakin persoalan iman tidaklah sesederhana seperti yang
digambarkannya, Nabi tidak memberikan pengertian yang njlimet, abstract dan filosofis. Pengertian yang demikian ini
bukan merupakan konsumsi masyarakat awam. Jadi kalau Nabi memberikan definisi yang susah difahami awam,
malah justeru dapat mengkaburkan misi dakwah Islamiyahnya. Dengan demikian apa yang telah dilakukan oleh
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dengan pemberian definisi operasional Aswaja di atas sebenarnya merupakan sikap
yang sangat bijak, yang didasarkan atas kenyataan bahwa kebanyakan umat Islam di Indonesia saat itu belum
memungkinkan untuk bisa dibawa ke alam pemikiran Aswaja sebagai sebuah manhaj al fikr.
Pola pendekatan Aswaja sebagai manhaj bisa dilakukan dengan cara melihat setting sosio-politik dan kultural saat
doktrin itu lahir. Dengan demikian, dalam konteks Fiqh, misalnya, yang harus dijadikan dasar pertimbangan bukanlah
produknya melainkan bagaimana kondisi sosial politik dan budaya ketika Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i
dan Imam Hanbali melahirkan pemikiran Fiqhnya. Dalam bidang teologi maupun Tasawwuf juga harus dilakukan hal
yang sama. Bukan apa doktrin yang ditawarkan oleh al-Asy’ari dan al-Maturudi, al-Junaidi dan al-Ghazali, tetapi
pertanyaannya bagaimana kondisi sosial politik maupun budaya yang telah melahirkan doktrin tersebut. Jika kita
sepakat dengan proses kontekstualisasi ini, maka pemaknaan Aswaja jelas menghendaki kemampuan untuk
melakukan pemaknaan kembali terhadap fakta-fakta sejarah yang melatar-belakangi lahirnya doktrin Aswaja.
Berangkat dari pola pendekatan di atas, yang paling penting dalam memahami Aswaja sebagai manhaj adalah
menagkap makna dari latar belakang kesejarahan untuk kemudian disarikan menjadi sebuah karakter yang mendasari
tingkah laku dalam ber-Islam, dalam bernegara dan berbangsa. Atas dasar inilah KH. Ahmad Siddiq (al-maghfur lah)
benar sekali ketika merumuskan karakter Aswaja kedalam tiga sikap, yakni; tawasuth, i’tidal dan tawazun
(pertengahan, tegak lurus dan keseimbangan). Ketiga karakter inilah yang menjadi kerangka acuan Aswaja baik dalam
mensikapi permasalahan-permasalahan keagamaan maupun politik. Dan inilah yang sebenarnya menjadi inti dari cara
memahami Aswaja sebagai rebuah manhaj al fikr.
Selain ketiga karakter di atas, sebenarnya terdapat satu karakter lainya yang jarang diungkap yakni watak Aswaja
yang cenderung mementingkan stabilitas sosial. Watak ini sepintas memang dipandang kurang progresif dan bahkan
terkesan stagnan. Ini sudah menjadi konsekuensi dari kelompok besar. Karena besarnya itulah gerakan Aswaja
menjadi tidak lincah sebagaimana gerakan rasionalis Mu’tazilah atau gerakan ekstrimis Khawarij. Jadi persoalan yang
selalu dihadapi kelompok pengikut Aswaja itu memang sangat kompleks, yakni bagaimana menciptakan stabilitas
untuk kelompok masyarakat yang memiliki tingkat heterogenitas tinggi.
Kesimpulan bahwa Aswaja memiliki karakter tawasuth, i’tidal, tawazun dan mementingkan stabilitas ini bukan tanpa
bukti kesejarahan. Semuanya dapat dilacak melalui sejarah kemunculannya. Pertengahan abad kedua Hijriayah
mungkin menjadi waktu yang tepat sebagai starting point pelacakan lahirnya Aswaja. Dianggap tepat karena
masyarakat Islam saat itu terpecah menjadi beberapa faksi akibat perang Siffin, perang antara Imam Ali dan
Mu’awiyah b. Abi Sufyan yang terjadi pada bulan Mei tahun 657.
Perang Sifin telah membuat mamsyarakat Muslim terpecah paling tidak menjadi empat kelompok, yakni kelompok Ali
kw, kelompok Mu’awiyah, kelompok khawarij dan kelompok Murjiah. Kelompok Murji’ah inilah yang sering disebut
sebagai proto sunny atau cikal bakal Sunny. Ia merupakan kelompok mayoritas yang tidak mau terlibat dalam urusan
politik praktis. Fungsi sosial mereka adalah penyeimbang diantara berbagai faksi yang bertikai. Mereka lebih
menyibukkan pada gerakan moral dan kultural serta pengembangan ilmu pengetahuan. Diantara tokoh Sahabat Nabi
yang menempatkan dirinya pada posisi netral adalah Abdullah b. Umar, Abi Bakrah, Imran b. Husein Muhammad b.
Shalah, Sa’ad b. Abi Waqas dan lainnya yang pada saat terbunuhnya Usman b. Affan mulai menjauhkan diri dari
urusan politik.
Pada masa Tabi’in, kelompok netralis ini masih tetap konsisten dengan gerakan-gerakan kulturalnya. Meskipun
diantara mereka ada beberapa yang terjebak dalam watak ekstrim “ke-murjiahan-nya”, secara komunal mereka masih
menjadi bagian dari kelompok mayoritas netralis. Imam Abu Hanifah (w. 150/767) saat menentang pendapat ekstim
kelompok Khawarij memberikan simpati terhadap kalangan murjiah tersebut. Ia mengaku bahwa pendapatnya itu
sama seperti pendapat Ahlul ‘Adli was Sunnah. Labih jauh Abu Hanifah mengatakan “Berkenaan dengan julukan
Murjit yang engkau berikan (sehubungan dengan pendapatku) maka apakah dosa dari orang-orang yang berbicara
dengan adil (‘adil) dan yang oleh orang-orang yang menyimpang, sekalipun dijuluki demikian (‘adl)? Sebaliknya
mereka ini (bukan Murjit-Murjit tetapi) adalah orang-orang penengah (‘adl) yang berada di jalan tengah” (Rahman,
1984:5). Karena inilah al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyin (1980:138) memasukkan Abu Hanifah sebagai kelompok
Murjiah.
Watak Aswaja yang sangat menekankan pada pentingnya arti keseimbangan serta stabilitas sosial bahkan lebih terlihat
lagi dari suatu konsepsi keagamaan yang sangat mengedepankan makna konsensus (ijma’). Dari kata-kata Ahli
Sunnah waljama’ah itu sendiri secara eksplisit menunjukkan bahwa kesepakatan sosial merupakan hal yang sangat
penting dalam memahami Islam. Dengan penelitian sepintas terhadap al-Muwatha karya Imam Malik b. Anas
misalnya, kita dapat langsung faham bahwa kesepakatan sosial mendapatkan ruang yang cukup leluasa. Setelah
mengutip hadith Nabi, Imam Malik sering memberikan komentar yang merujuk pada praktek masyarakat Madinah.
Komentar-komentar itu biasanya diiucapkan dalam rangkaian kata-kata “qad madlat al-sunnah, al-sunnah ‘indana, alsunnah
allati la ikhtilafa ‘indana, al-amru almujtama ‘alaih indana, al-amru alladhi la ikhtilafa fihi ‘indana”. Ini
menunjukkan bahwa Imam Malik memandang kesepakatan sosial menjadi bagian dari mekanisme pemahaman
keagamaan.
Proses pembentukan kesepakatan sosial yang terjadi secara alami ini kemudian disanggah oleh Imam al-Syafi’i. Ia
tidak mau menggunakan tradisi yang hidup (kesepakatan sosial) sebagai sandaran untuk membangun hukum Islam.
Ia kemudian mengambil langkah dengan cara melakukan formalisasi kesepakatan sosial kedalam bentuk Ijma’.
Kesepakatan sosial yang pada masa Imam Malik berorientasi ke depan dan terjadi secara informal (sukuti), menjadi
ijma yang berorientasi ke belakang dan berwatak formal.
Bukan saat yang tepat untuk membicarakan secara detail pola-pola pendekatan Ushuli baik yang dilakukan oleh Imam
Malik maupun al-Syafi’i. Dengan gambaran singkat di atas, kami hanya ingin menunjukkan bahwa baik Imam Malik
maupun al-Syafi’i, meskipun berbeda secara mendasar, tatapi memiliki concern yang sama dalam mensikapi arti
pentingnya sebuah jama’ah. Jadi meskipun Imam al-Syafi’i lah yang memotong proses pembentukan sunnah dalam
pengertian tradisi yang hidup (living radition) dan telah menghentikan aktivitas ro’y sebagai alat untuk menafsirkan
Sunnah Nabi menjadi Sunnah yang hidup, motivasinya jelas untuk tujuan stabilitas jama’ah (social stability). Bisa
dibayangkan, betapa kacaunya pemahaman keagamaan jika Imam al-Syafi’i tidak melakukan hal demikian. Jadi
konsep stabilitas jama’ah inilah yang menjadi watak Aswaja, dan inilah inti Aswaja sebagai sebuah metoda
pemahaman keagamaan.
Penutup
Pemahaman Aswaja di kalangan warga NU sudah saatnya dilakukan perubahan orientasi dari Aswaja sebagai doktrin
menjadi Aswaja sebagai metoda pemahaman keagamaan. Hal ini penting dilakukan guna memberikan pemaknaan
konteks kesejarahan yang benar terhadap Aswaja. Karakter Aswaja yang tawasut, i’tidal, tawazun dan penekanannya
pada stabilitas jama’ah itu secara historis ilmiyah dapat dipertanggung-jawabkan. Karena ekstrimitas (tatharruf) tidak
dikenal dalam sejarah Aswaja, maka aliran Islam keras yang mengklaim dirinya selaku penganut Aswaja bukan hanya
paradoksal tetapi ahistoris.
Melakukan kajian kesejarahan terhadap Aswaja dengan bantuan ilmu-ilmu sosial sebagai pisau analisanya sangat
perlu dilakukan. Dengan demikian, saat kita harus melakukan pembenaran doktrinal, pembenaran itu tidak terkesan
normatif, apologetik dan emosional tetapi benar-benar suatu pembenaran yang didasarkan pada cara-cara ilmiyah.
Untuk tujuan ini, sudah selayaknya jika GP Ansar sebagai angkatan muda NU memiliki keperdulian untuk
mengususng gerakan akademik ilmiyah yang selama ini terrasa sudah mati. Munculnya berbagai macam kelompok
yang mengatas-namakan pengikut Aswaja, tidak hanya cukup disikapi secara bijaksana tetapi juga harus disertai
dengan argumen-argumen ilmiyah.
Jum`at, 18 Mei 2007 00:00:00
Oleh : Ust. A. Zainul Hakim,SEI.

I. PENGERTIAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh
Rasululloh SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa :"Bani
Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk
nereka kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai rasululloh?", lalu
Rosululloh menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku
lakukan dan juga dilakukan oleh para sahabatku.
Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa
yang dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual,
tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau
Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" ( metode atau
cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).
Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi
bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep
Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam
Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang
aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi
oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.

II. RUANG LINGKUP KERANGKA BERFIKIR ASWAJA
Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Ketiganya merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian menjadi satu
kesatuan konsep ajaran ASWAJA.
Dilingkunagn ASWAJA sendiri terdapat kesepakatan dan perbedaan. Namun perbedaan itu sebatas pada penerapan dari
prinsip-prinsip yang disepakati karena adanya perbedaan dalam penafsiran sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ushulul
Fiqh dan Tafsirun Nushus. Perbedaan yang terjadi diantara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah tidaklah mengakibatkan
keluar dari golongan ASWAJA sepanjang masih menggunakan metode yang disepakati sebagai Manhajul Jami' . Hal ini di
dasarkan pada Sabda Rosululloh SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim : "Apabila seorang hakim
berijtihad kemudian ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila dia salah maka ia hanya
mendapatkan satu pahala". Oleh sebab itu antara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah walaupun terjadi perbedaan
diantara mereka, tidak boleh saling mengkafirkan, memfasikkan atau membid'ahkan.
Adapun kelompok yang keluar dari garis yang disepakati dalam menggunakan Manhajul jami' yaitu metode yang
diwariskan oleh oleh para sahabat dan tabi'in juga tidak boleh secara serta merta mengkafirkan mereka sepanjang mereka
masih mengakui pokok-pokok ajaran Islam, tetapi sebagian ulama menempatkan kelompok ini sebagai Ahlil Bid'ah atau
Ahlil Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari sebagaimana pernyataan beliau yang
memasukkan Syi'ah Imamiah dan Zaidiyyah termasuk kedalam kelompok Ahlul Bid'ah.

III. KERANGKA PENILAIAN ASWAJA
Ditinjau dari pemahaman diatas bahwa didalam konsep ajaran Ahli Sunnah Wal Jama'ah terdapat hal-hal yang disepakati
dan yang diperselisihkan. Dari hal-hal yang disepakati terdiri dari disepakati kebenarannya dan disepakati
penyimpangannya.
Beberapa hal yang disepakati kebenarannya itu antara lain bahwa;
1. Ajaran Islam diambil dari Al-Qur'an, Hadist Nabi serta ijma' (kesepakatan para sahabat/Ulama)
2. Sifat-sifat Allah seperti Sama', Bashar dan Kalam merupakan sifat-sifat Allah yang Qodim.
3. Tidak ada yang menyerupai Allah baik dzat, sifat maupun 'Af'alnya.
4. Alloh adalah dzat yang menjadikan segala sesuatu kebaikan dan keburukan termasuk segala perbuatan manusia
adalah kewhendak Allah, dan segala sesuatu yang terjadi rebab Qodlo' dan Qodharnya Allah.
5. Perbuatan dosa baik kecil maupun besar tidaklah menyebabkan orang muslim menjadi kafir sepanjang tidak
mengingkari apa yang telah diwajibkan oleh Allah atau menghalalkan apa saja yang diharamkan-Nya.
6. Mencintai para sahabat Rasulillahmerupakan sebuah kewajiban, termasuk juga meyakini bahwa kekhalifahan
setelah Rasulillah secara berturut-turut yakni sahabat Abu Bakar Assiddiq, Umar Bin Khattab, Ustman Bin "Affan
dan Sayyidina "Ali Bin Abi Thalib.
7. Bahwa Amar ma'ruf dan Nahi mungkar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim
termasuk kepada para penguasa.
Hal-hal yang disepakati kesesatan dan penyimpangannya antara lain :
1. Mengingkari kekhalifahan Abu Bakar Assiddiq dan Umar Bin Khattab kemudian menyatakan bahwa Sayyidina
Ali Bin Abi Thalib memperoleh "Shifatin Nubuwwah" (sifat-sifat kenabian) seperti wahyu, 'ismah dan lain-lain.
2. Menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam seperti yang dianut
oleh kalangan Khawarij, bahkan mereka mengkafirkan Sayyidina Ali karena berdamai dengan Mu'awiyah.
3. Perbuatan dosa betapapun besarnya tidaklah menjadi masalah serta tidak menodai iman. Pendapat ini
merupakan pendapat kaum murji'ah dan Abahiyyun.
4. Melakukan penta'wilan terhadap Nash Al-Qur'an maupun Hadist yang tidak bersumber pada kaidah-kaidah
Bahasa Arab yang benar. Seperti menghilangkan sifat-sifat ilahiyyah (Ta'thil) antara lain menghilangkan Al-Yad,
Al-Istiwa', Al-Maji' padahal disebut secara sarih (jelas) dalah ayat suci Al-Qur'an, hanya dengan dalih untuk
mensucikan Allah dari segala bentuk penyerupaan (tasybih).

IV. PERKEMBANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Pada periode pertama, yakni periode para sahabat dan tabi'in pada dasarnya memiliki dua kecenderungan dalam
menyikapi berbagai perkembangan pemikiran dalam merumuskan konsep-konsep keagamaan, terutama yang
menyangkut masalah Aqidah. Kelompok pertama senantiasa berpegang teguh kepada nash Qur'an dan Hadist dan tidak
mau mendiskusikannya. Kelompok ini dipelopori oleh antara lain; Umar Bin Khottob, 'Abdulloh Bin 'Umar, Zaid Bin
Tsabit Dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan tabi'in tercatat antara lain Sofyan Tsauri, Auza'I, Malik Bin Anas, dan
Ahmad Bin Hambal. Jika mereka menyaksiksn sekelompok orang yang berani mendiskusikan atau memperdebatkan
masalah-masalah aqidah, mereka marah dan menyebutnya sebagai melakukan "Bid'ah Mungkarah" .
Adapun kelompok yang kedua adalah kelompok yang memilih untuk melakukan pembahasan dan berdiskusi untuk
menghilangkan kerancuan pemahaman serta memelihara Aqidah Islamiyah dari berbagai penyimpangan. Diantara yang
termasuk dalam kelompok ini adalah antara lain ; Ali Bin Abi Thalib, 'Abdulloh Bin 'Abbas dan lain-lain. Sedangkan dari
kalangan tabi'in tercatat antara lain Hasan Bashri, Abu Hanifah, Harish Al-Muhasibi dan Abu Tsaur.
Kelompok kedua ini juga merasa terpanggil untuk menanggapi berbagai keadaan yang dihadapi baik yaang menyangkut
masalah Aqidah, Fiqh maupun Tasawuf karena adanya kekhawatiran terhadap munculnya dua sikap yang ekstrim.
Pertama adalah kelompok yang terlampau sangat hati-hati yang kemudian disebut sebagai "Kelompok Tafrith" Kelompok
ini memahami agama murni mengikuti Rasulillah dan para sahabatnya secara tekstual. Mereka tidak mau memberikan
ta'wil atau tafsir karena kuawatir melampaui batas-batas yang diperbolehkan. Sedangkan yang kedua yaitu kelompok
yang menggunakan kemaslahatan dan menuruti kebutuhan perkembangan secara berlebihan dan kelompok ini disebut
dengan "kelompok Ifrath"
Dalam berbagai diskusi dan perdebatan, kelompok kedua ini tidak jarang menggunakan dalil-dalil manthiqi (deplomasi)
dan ta'wil majazi. Pendekatan ini terpaksa dilakukan dalam rangka memelihara Aqidah dari penyimpangan dengan
menggunakan cara-cara yang dapat difahami oleh masyarakat banyak ketika itu, namun tetap berjalan diatas manhaj
sahaby sesuai dengan anjuran Nabi dalam sebuah sabdanya : "Kallimunnas Bima Ya'rifuhu Wada'u Yunkiruna.
Aturiiduna ayyukadzibuhumuLlahu wa rasuluh" (Bicaralah kamu dengan manusia dengan apa saja yang mereka mampu
memahaminya, dan tinggalkanlah apa yang mereka ingkari. Apakah kalian mau kalau Allah dan Rasul-Nya itu
dibohongkan?. Sebuah hadis marfu' yang diriwayatkan oleh Abu Mansur Al-Dailami, atau menurut Imam Bukhari
dimauqufkan kepada Sayyidina Ali RA.
Strategi dan cara yang begitu adaptif inilah yang terus dikembangkan oleh para pemikir Ahli Sunnah Wal Jama'ah dalam
merespon berbagai perkembangan sosial, agar dapat menghindari berbagai benturan antara teks-teks agama dengan
kondisi sosial masyarakat yang berubah-rubah.
Sehubungan dengan strategi ini, mengikuti sahabat bukanlah dalam arti mengikuti secara tekstual melainkan mengikuti
Manhaj atau metode berfikirnya para sahabat. Bahkan menurut Imam Al-Qorofi, kaku terhadap teks-teks manqulat (yang
langsung dinuqil dari para sahabat) merupakan satu bentuk kesesatan tersendiri, karena ia tidak akan mampu memahami
apa yang dikehendaki oleh Ulama-ulama Salaf.. (Al-jumud 'Alal mankulat Abadab dhalaalun Fiddiin wa Jahlun
Bimaqooshidi Ulamaa'il Muslimin wa Salafil Maadhin).

V. KEBANGKITAN (AN-NAHDHAH) AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Sebagaimana dinyatakan dimuka, bahwa ASWAJA sebenarnya bukanlah madzhab tetapi hanyalah Manhajul Fikr
(metodologi berfikir) atau faham saja yang didalamnya masih memuat banyak alaiaran dan madzhab. Faham tersebut
sangat lentur, fleksibel, tawassuth, I'tidal, tasamuh dan tawazun. Hal ini tercermin dari sikap Ahli Sunnah Wal Jama'ah
yang mendahulukan Nash namun juga memberikan porsi yang longgar terhadap akal, tidak mengenal tatharruf (ekstrim),
tidak kaku, tidak jumud (mandeg), tidak eksklusif, tidak elitis, tidak gampang mengkafirkan ahlul qiblat, tidak gampang
membid'ahkan berbagai tradisi dan perkara baru yang muncul dalam semua aspek kehidupan, baik aqidah, muamalah,
akhlaq, sosial, politik, budaya dan lain-lain. Kelenturan ASWAJA inilah barangkali yang bisa menghantarkan faham ini
diterima oleh mayoritas umat Islam khususnya di Indonesia baik mereka itu orng yang ber ORMASkan NU,
Muhammadiah, SI, Sarekat Islam maupun yang lainnya.
Wal hasil salah satu karakter ASWAJA yang sangat dominan adalah "Selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi".
Langkah Al-Asy'ari dalam mengemas ASWAJA pada masa paska pemerintahan Al-Mutawakkil setelah puluhan tahun
mengikuti Mu'tazilah merupakan pemikiran cemerlang Al-As'ari dalam menyelamatkan umat Islam ketika itu. Kemudian
disusul oleh Al-Maturidi, Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid Al-Asyari merumuskan kembali ajaran
ASWAJA yang lebih condong pada rasional juga merupakan usaha adaptasi Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Begitu pula usaha
Al-Ghazali yang menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang tasawwuf juga merupakan bukti kedinamisan dan
kondusifnya Ajaran ASWAJA. Hatta Hadratus Syaikh KH. Hasim Asy'ari yang memberikan batasa ASWAJA
sebagaimana yang dipegangi oleh NU saat ini sebenarnya juga merupakan pemikiran cemerlang yang sangat kondusif.
Bagaimana pilar-pilar pemikiran KH. Hasyim Asy'ari tentang Ahli Sunnah Wal Jama'ah? Bisa dilihat pada : kitab
karangan KH. Hasyim Asy'ari yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penulis (Ust. A. Zainul Hakim,SEI
12 Juni 2007
Ikhtiar Pemahaman Epistemologis
(Kajian Aswaja) Oleh: Ach Syaiful A’la
Secara terminologis, Aswaja merujuk terhadap suatu kelompok yang selalu berpegang teguh terhadap Al-Quran dan
Sunnah serta tradisi sahabat. Penyebutan bagi tiap kelompok tersebut berbeda-beda. Ahmad Amin misalnya, dalam
“Dluha al-Islam” menyebut kelompok tersebut dengan ahlul haq (kelompok yang benar). Sedangkan Imam Hasan al-
Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyyin” menyebut kelompok tersebut dengan “as-Sawad al-A’dzam” (kelompok
mayoritas), mengutip sebuah Hadits yang berbunyi “Ittabi’u al-Sawadal A’dzam” (Ikutilah kelmpok yang terbesar).
Ahlts sunnah wal jama’ah sendiri dimunculkan KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya “Al-Qanun al-Asasi li Nahdlati
al-Ulama”, sebagai penggambaran dari keberpihakan Nahdlatul Ulama terhadap faham keislamanan yang digariskan
oleh Nabi Muhammad dan Sahabatnya.
Ada dua prinsip ajaran Ahlussunnah wal jama’ah. Yaitu: pertama penerimaan terhadap Al-Quran dan al-Hadits secara
taken for quaranted dengan cara melestarikan tradisi (sunnah) yang kembangkan oleh Nabi. Kedua penghargaan
terhadap tradisi (al-turats) yang berkembang pada masa sahabat, tabi’in dan seterusnya. kedua ajaran tersebut
merupakan al-Tsaurah al-Ta’limiyah (kekayaan ajaran) bagi Nahdlatul Ulama sebagaimana yang digariskan KH
Hasyim Asy’ari.
Di NU, terdapat penghargaan yang luar biasa terhadap ulama salaf karena mereka dianggap sebagai penerus tradisi
Nabi. Penerimaan mereka terhadap mazhab merupakan satu indikasi bahwa dalam hal pemikiran mereka mengikuti
ulama (mujtahid) yang telah diyakini memiliki kualifikasi keilmuan yang sangat tinggi. Inilah yang membedakan NU
dengan Muhammadiyah.
Muhammadiyah dalam Majmu’ah Majlis Tarjih Muhammadiyah, menganggap mazhab tidak lebih sebagai rujukan
sekunder dalam pemikiran hukum Islam. Dengan kata lain, Muhammadiyah menganggap bahwa setiap orang dapat
memiliki kualifikasi keilmuan tersendiri tanpa harus berpijak pada mazhab, dengan doktrin “al-Ruju’ ila al-Kitab wa
al-Sunnah”. Namun begitu Muhammadiyah menyebut kelompoknya dengan ahlul haq, sebuah kelompok yang
konsisten melestarikan ajaran Nabi Muhammad. Maka apakah Ahlussunnah wal Jama’ah itu?. Lalu, siapakah yang
tergolong ke dalam ahlussunnah wal-jama’ah?
Membongkar Ambigu
Dalam Ensiklopedi Arab (al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah), didefinisikan bahwa ahlussunnah wal jamaah itu
sebagai: “al-Sunnah secara etimologis bermakna al-tariqah (jalan atau aliran). Dan secara terminologis semua yang
datang dari Nabi SAW. Baik dalam bentuk sabda, perbuatan maupun pengakuan. Ahlussunnah wal Jamaah adalah
mereka yang berpegang teguh pada ajaran tersebut, sekaligus membela dan mempertahankannya.
Dr. Jalal M Abdul Hamid Musa, mengemukakan ciri wawasan ahlussunnah wal jamaah dengan: “mengikuti jalan atau
aliran para Sahabat dan Tabi’ien dalam berserah diri dalam menghadapi masalah-masalah mutasyabihat yang terdapat
di dalam Al-Quran, dan menyerahkan hakikat artinya kepada Allah sendiri, tidak suka mengembangkan pengertian
metaforis (ta’wil) seperti kebiasaan Mu’tazilah”. Kata al-Jama’ah dalam konteks ini diartikan sebagai pencirian bahwa
mereka menggunakan dalil-dalil syar’iyah berupa kitabullah, sunnah rasul, ijma’ dan qiyas, mereka memandangnya
sebagai hal yang prinsip.
Penggambaran di atas merupakan metode pendekatan terhadap pemahaman yang berkembang di kalangan
Ahlussunnah wal jama’ah yang dinisbatkan kepada Hasan al-Asy’ari. Dengan demikian berarti sebenarnya
merupakan aliran pemikiran (the school of thought) yang memiliki kerangka tersendiri dengan tetap mengacu kepada
Al-Quran dan al-Sunnah. Dengan sendirinya Ahlussunah wal-jama’ah bukanlah mazhab, sebagaimana polemik yang
terjadi belakanan ini. Dr. Sa’id Aqil berargumentasi bahwa kalau ahlussunnah wal jama’ah itu adalah mazhab, maka
ada mazhab di dalam mazhab dan ini tidak dibenarkan. Selanjutnya dia mengemukakan bahwa Ahlussunnah wal
jama’ah adalah manhaj al-fikr (kerangka berfikir) dengan metodologi konsistensti terhadap akar tradisi Nabi dan
Sahabatnya.
Rasulullah sendiri tidak pernah merujuk secara spesifik terhadap firqah yang dimaksudkan sebagai al-firqah alnajiyah
(kelompok yang selamat. Beliau hanya menggambarkan bahwa pada saatnya umat Islam akan terpecah
menjadi 73 golongan; satu golongan selamat sementara yang lain tidak, yang kelompok tersebut adalah ahlussunnah
wal jama’ah. Ketika Sahabat bertanya siapa ahlussunnah wal jama’ah itu? Rasulullah menjawab mereka adalah
kelompok yang berpedoman kepada saya (Al-Quran dan al-sunnah) dan sahabat saya (ijma’). Maka dari sini dipahami
bahwa ahlussunnah wal jama’ah tidak hanya merujuk pada satu kelompok tertentu, melainkan pada kelompok apa
saja yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan al-Hadits.
Aswaja ala NU
Pemikiran ahlussunnah yang berkembang di kalangan Nahdlatul Ulama adalah pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang
dikutip dari kitabnya “al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nahdlati al-Ulama”, yaitu : kelompok yang dalam hal aqidah
merujuk pada Imam Hasan al-Asy’ari dan Abbu Mansur al-Maturidi; dalam hal fiqh mengikuti pendapat salah satu
imam mazhab yang empat (al-a’immah al-arba’ah), sedangkan dalam hal tasawwuf berafiliasi kepada Abu Hamid,
Ahmad Al-Ghazali, dan Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran ini menjadi grand thougt yang diterima dan diyakini final oleh mayoritas warga
Nahdliyyin. Sehingga tidaklah heran kalau Dr. Sa’id Aqil Siraj ketika mengatakan bahwa definisi ini tidak sempurnya
(jami’ dan mani’). Menuruntya, definisi ini akan mengkaburkan pemahaman tentang Aswaja yang sebenarnya.
Ketika pemikiran ini digulirkan, berbagai macam respon bermunculan, baik yang bersifat memuji ataupun memaki.
Bahkan beliau oleh beberapa kiai sepuh dituduh menyebarkan paham Syi’ah. Sa’id Aqil menjelaskan bahwa
ahlussunnah bukanlah mazhab, melainkan manhaj al-fikr. Karena definisi yang dirumuskan oleh KH. Hasyim As’ari
lebih menggambarkan bahwa ia adalah mazhab qauli. Sehingga definisi tersebut perlu diredifinisikan kembali.
Pemikiran seperti ini terus mengalir bak bola salju yang semakin lama semakin besar dan menjadi diskursus yang
tidak melelahkan di kalangan warga Nahdliyin, terutama di kalangan muda NU. Hingga pada akhirnya pemikiran
Sa’id Aqil menempati porsi tersendiri pada halaqah-halaqah Aswaja yang diadakan oleh PBNU, untuk
mengklarifikasikan pemikiran yang ditawarkan beliau di hadapan kiai sepuh.
Setidaknya, pada bagian tertentu merupakan upaya reposisi pemikiran tentang ahlussunnah wal jama’ah, untuk
mencairkan kebekuan yang selama ini terjadi akibat klaim kebenaran (the truth claim) dan upaya apologetik warga
Nahdliyin terhadap pemahaman ahlussunah wal jama’ah. Namun begitu, saya tidak ingin membuka kembali ruang
polemik seputar ahlussunah wal jama’ah, karena proses pemikiran, menurut Michael Faucoult dalam bukunya The
Archaeology of Knowledge menempati ruang yang terpisah dari teks (objek), sehingga setiap orang memiliki otoritas
tersendiri untuk mengamati dan menilai sebuah teks. []
*) Penulis, Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) IAIN Sunan Ampel Surabaya.
ASWAJA Sebagai Manhajul Harakah
Oleh : Adien Jauharudin*
Pendahuluan
Sebelum panjang lebar menjelaskan soal ASWAJA dan problem kekiniannya, ada baiknya bagi kalangan nahdliyyin
untuk mengirimkan al-fatihah untuk para pendiri NU, para pejuang NU; Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Hasyim, Mbah
Wahab, Mbah Ahmad Siddiq, dll.......bagaimanapun tanpa mereka NU tidak akan hadir, Islam Indonesia tidak akan
seperti ini. Mereka semua adalah panutan dan panduan yang selalu hidup. Mbah Kholil Bangkalan adalah gurunya para
guru, tanpa restunya tidak mungkin NU akan muncul sebagai organisasi, Mbah Hasyim adalah rois akbar NU pertama,
sebagai pahlawan nasional juga sebagai sentrum ulama se-Jawa. Mbah Wahab adalah seorang organisator, dinamisator,
motivator dan inisiator ulung, ditangannya sebuah organisasi yang kecil dapat menjadi organisasi yang besar, kuat dan
rapih dan Mbah Ahmad Siddiq adalah konseptor ulung NU, ditangannya telah lahir torehan-torehan sejarah; Deklarasi
Hubungan Pancasila dan Islam, Pedoman Berfirkir Nahdlatul Ulama, Khittah Nahdliyyah.....semoga mereka akan selalu
menyertai derap langkah, gerak dan dakwah kita.....dan mereka ditempatkan disisi-Nya secara mulia. Amien.
Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) pada awalnya adalah sebuah gambaran simple tentang Islam, dimana ada beberapa
hadits nabi yang menjelaskan tentang kata-kata “Ahlussunnah wal Jama’ah, kalau mau selamat harus mengikuti pola
keagamaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW, dengan berpegangan teguh terhadap al-Qur’an, As-sunnah,
mengikuti jejak sunnah beliau, dan para sahabat khulafaurrosyidin. ASWAJA menjadi rumit adalah pada tahap
berikutnya ketika masalah-masalah ummat Islam mulai bermunculan dan tidak ada model pemecahannya pada zaman
Rasul; dari mulai masalah politik kenegaraan, pemberontakan, munculnya ilmu kalam, mantiq, motodologi hukum Islam,
dan problem-problem lainnya. Disinilah arus baru dimulai, yaitu sebuah arus dimana perpecahan antar kelompok ummat
Islam tidak bisa dihindari, terlebih lagi ketika pandangan, pemahaman, dan ajaran sudah menjadi ideologi, maka
konsekuensinya adalah membuat seperangkat aturan, kode etik, pedoman berfikir, teori pengetahuan yang akan
difungsikan untuk mengawal, mengamalkan dan menyebarkan ideologi tersebut hingga akhir hayat.
Apabila kita cermati akan tahapan-tahapan sejarah perkembangan ummat Islam, maka akan terlihat terbagi dalam Lima
(5) tahapan, Pertama, Masa awal Islam, pada masa ini teks keagamaan masih hidup, dimana ada Rasulullah yang masih
bisa menjadi pusat ummat Islam, ada para sahabat yang senantiasa menjaga dan mengamalkan sunnah-sunnah rasul.
Semua persoalan ummat dapat ditanyakan secara langsung kepada sumbernya. Tetapi pada masa ini hasil ijtihad sahabat
sudah diakui dan direstui oleh Rasul sebagai produk hukum, hal ini pernah terjadi pada sahabat Mu’adz bin Jabal. Kedua,
Munculnya perpecahan ummat Islam, ini terjadi setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib dan
pengangkatan Muawiyah sebagai Khalifah. Disini sudah mulai terjadi pertanyaan-pertanyaan, soal dosa besar; bagaimana
hukumnya orang mukmin membunuh orang mukmin, pakah termasuk dosa besar. Dari sini pula mulai muncul firqahfirqah;
Khawarij, Murji’ah, Syi’ah. Ketiga, Masa munculnya ilmu-ilmu kalam, ini terjadi pada abad.....ketika ilmu kalam
dan filsafat bercampur dengan persoalan ketauhidan, pada masa ini muncullah aliran Mu’tazilah yang merupakan arus
dominan bahkan menjadi madzhab resmi negara pada waktu itu, setelah itu perbedaan pendapat pun tidak bisa
dihindari, munculah Asy’ariyah dan Maturidiyah. keempat, runtuhnya khilafah Utsmani di Turki. Keruntuhan khilafah
ini membawa dampak luar biasa, baik itu pada soal sikap keagamaan, pemerintahan. Pada masa ini terjadi dua persoalan
besar apakah perlu mendirikan kehilafahan yang baru atau negara-negara muslim menentukan sendiri jalan hidupnya,
dari sinilah lahir kongres ummat Islam di Arab Saudi dan Mesir dan memunculkan aliran Wahabi penganut Abdul
Wahab, di Indonesia berdirinya “Nahdlatul Ulama” sebagai benteng kaum tradisional, Kelima, mencuatnya gerakan–
gerakan Islam kontemporer. Tema sentral dari munculnya gerakan-gerakan Islam ini adalah persoalan “pemurnian ajaran
Islam dari unsur Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat, dan sistem politik Islam”. Terhadap sistem politik Islam terbagi dua,
mereka yang memaksakan Islam harus menjadi negara dan sebagian lagi Islam cukup menjadi syariah, ibadah dan etika
sosial.
Dari lima tahapan sejarah perkembangan gerakan Islam ini telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan, kenapa selalu
terjadi perpecahan dalam diri ummat Islam?, kenapa kebesaran sejarah ummat islam selalu lahir dari benturan politik?
Kenapa sejarah kejayaan ummat Islam selalu terputus?, adakalanya sejarah kekuatan politik yang muncul, sejarah
pergulatan pengetahuan yang muncul, tetapi habis itu hilang tanpa ada jejaknya!
Bangunan sejarah ummat Islam selalu menampakan sisi sejarah yang timpang, kini tidak ada bangunan sejarah yang terus
“menjadi”, yang ada adalah sejarah yang selalu terputus, bahkan mengulang perdebatan-perdebatan yang pernah ada
sebelumnya; seputar bagaimana hukumnya bid’ah, takhayul dan khurafat, bagaimana mendialogkan agama dan negara.
Dalam sejarah gerakan ummat Islam dunia yang terjadi adalah tragedi-tragedi konspirasi, saling bunuh-membunuh,
eksploitasi, ekspansi, dan terlibat perselingkuhan dan persekongkolan yang besar antara kekuatan gerakan Islam dengan
negara-negara barat.
Apa yang terjadi pada perkembangan ummat islam di dunia, Indonesia pun mengalami sejarah yang serupa. Sejarah
perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami beberapa tahapan, pertama, terjadinya proses penyebaran Islam
oleh walisongo, pada fase ini terjadinya proses dialog antara kebudayaan lokal dan Islama, proses ini terus “menjadi”
yang akhirnya menjadi wajah Islam Indonesia. Kedua, pada awal abad 20, munculnya organisasi-organisasi massa islam,
Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Irsyad, baik
yang berbasis keagamaan maupun politik. Kemunculan organisasi ini adalah sebagai bagain dari upaya membebaskan
bangsa Indonesia dari cengkraman kolonial dan menyebarkan faham keagamaan menurut pemahaman organisasinya
masing-masing. Ketiga, Fase perumusan konstitusi dasar bangsa Indonesia dan mulai munculnya perdebatan ideologi
tentang perlu tidaknya piagam Jakarta menjadi salah satu butir dalam pancasila. Keempat, munculnya Islam politik.
Kelima, mencuatnya gerakan-gerakan Islam, baik karena perbedaan pemahaman keagamaan, faktor kepentingan politik,
maupun karena motif ekonomi, seperti; Daarul Arqom, LDII, Islam Jama’ah, dll. Keenam, pada fase ini, umat Islam
dihadapkan pada berbagai gagasan-gagasan yang bersumber dari barat, seperti; modernisasi, pembangunan,
demokratisasi, keadilan, gender, Hak Asasi Manusia, multikulturalisme. Disamping dihadapkan pada isu, muncul pula
gerakan-gerakan Islam puritan yang mengetengahkan isu politik Islam dan “pemurnian ajaran Islam”, seperti ; Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jama’ah (FKAWJ). Pada
saat ini varian isu dan gerakannnya lebih luas.
Dari perkembangan sejarah ummat Islam ini, dimanakah posisi Nahdlatul Ulama? Nahdlatul Ulama dalam sejarahnya
telah membuktikan diri sebagai kekuatan bangsa Indonesia yang sangat diperhitungkan, nasionalismenya bisa menjadi
titik temu antara Islam dan nasionalis, agama dan negara. Pola keagamaannya dapat menjadi titik temu antara
kebudayaan lokal dan Islam. fikroh Nahdliyahnya bisa menjadi titik temu antara kepentingan agama, masyarakat, negara
dan pasar. Dengan jaringan modal sosial, politiknya yang kuat, NU menjadi kekuatan bangsa yang diperhitungkan dan
menjadi mediator kepentingan kelompok-kelompok Islam dunia.
ASWAJA menjadi kata kunci dalam membangun NU dan Indonesia ke depan, sejauhmana nilai-nilai ASWAJA bisa
ditransformasikan keluar dan diinternasilasikan kedalam NU sendiri dan ASWAJA menjadi ruh dari Islam Indonesia itu
sendiri. Kiranya perlu untuk mengkaji beberapa pemikiran tokoh-tokoh NU, agar ASWAJA dapat diformulasikan menjai
manhajul harakah, mereka antara lain; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Syamsuri, KH. Achmad Siddiq, KH. Bisri Musthofa,
KH. Dawam Anwar, KH. Muchit Muzadi, KH. Wahid Zaini, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Sahal Mahfudz, KH. Tolchah
Hasan dan Kh. Said Aqil Siradj
Aswaja dalam Ruang Lingkup dan Tradisi NU
Setting sosial, politik, ekonomi yang melandasi lahirnya NU
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) adalah hasil dari proses sejarah yang sangat panjang, yang sebelumnya sudah ada
berbagai embrio menjelang kelahirannya. Embrio-embrio tersebut adalah:
1. Pada bidang ekonomi, kalangan ulama-ulama NU sudah memikirkan jauh sebelum lahirnya bayi Nahdlatul Ulama
dengan membentuk mata rantai, jaringan saudagar santri yang disebut dengan “Nahdlatut Tujjar” pada tahun 1918.
Kelahirannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda dan para pengusaha Cina.
2. Pada bidang politik adalah dengan menggalang tokoh-tokoh nasional dan lokal pada waktu itu untuk turut serta
membangun kesadaran kebangsaan melalui pendidikan, maka muncullah “Nahdlatul Wathan” pada tahun 1916 yang
dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang sangat pesat.
3. Pada bidang intelektual dan diskusi pemikiran telah lahir “Taswirul Afkar” pada tahun 1922, meskipun Taswirul
Afkar ini pada pase selanjutnya melebur menjadi lembaga pendidikan bergabung bersama Nahdlatul Wathan, tetapi
dari hasil diskusi gagasan dan pemikirannya cukup mempengaruhi dalam membangkitkan kesadaran nasionalisme
rakyat.
4. Lahirnya Nahdlatul Ulama adalah mata rantai dari perjuangan panjang Wali Songo, dimana Wali Songo menyebarkan
Islam melalui cara-cara persuasif melalui pendekatan kebudayaan (asimilasi budaya) bukan dengan kekerasan seperti
penyebaran Islam di berbagai belahan dunia lainnya. Nahdlatul Ulama menjadi besar karena kemampuannya dalam
mengakomodir dan mengapresiasi kebudayaan lokal dan menjadikannya sebagai basis kekuatan kebudayaan dan
tradisi bangsa.
5. Lahirnya Nahdlatul Ulama adalah sebagai bentuk “perlawanan” terhadap ideologi trans-nasional “Wahabi” yang
hendak menyeragamkan ideologi tersebut ke seluruh penjuru dunia dan menjadikan Saudi Arabia sebagai satusatunya
pusat kekhalifahan Islam.
Secara bahasa, ada tiga kata yang membentuk istilah Ahlussunnah wal Jama’ah;
1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maksudnya, semua yang datang dari Nabi,
berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi Muhammad SAW (Fath al-Bari, juz XII, hal. 245)
3. Al-Jama’ah, yakni apa yang disepakati oleh oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin
(Khalifah Abu Bakr, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Kata al-Jama’ah ini diambil dari
sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti aljama’ah
(kelompok yang menjaga kebersamaan)”. (HR. Al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang nilainya shahih
dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi).
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (471-561 H /1077-1166 M) juga menjelaskan:
“Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan al-
Jama’ah adalah sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi
hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua)”. (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 800).
Lebih jelas lagi, Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari (1287-1336 H/ 1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadah at-
Ta’liqat (hal. 23-24) sebagai berikut:
“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang
teguh dengan sunnah Nabi Muhamad SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (alfirqah
al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut
Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali.”
Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad
SAW dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun
divisional (furu’). Sebagai bandingan Syi’ah. Di antara mereka ada yang disebut “Salaf”, yakni generasi awal mulai dari
para Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in, dan ada juga yang disebut “Kholaf”, yaitu generasi yang datang kemudian. Di
antaranya ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Di
antara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujaddidun) dan di antaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun).
Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam.
ASWAJA dan Tradisi Berfikih
Kalau pada masa Asy’ariyyah dan Maturidiyyah perdebatan ASWAJA lebih banyak pada persoalan teologi, maka pada
fase munculnya jam’iyyah Nahdlatul Ulama perdebatan ASWAJA lebih pada persoalan fiqih (persoalan furu’) termasuk
bagian di dalamnya adalah persoalan khilafiyah (variable-variable furu’).
Secara definisi ilmu fiqih adalah:
“Ilmun bi al-ahkam al-syar’iyyah al-‘amaliyyah al-muktasabu min adillatiha al-tafsiliyyah”, (fiqih adalah ilmu hukum-hukum
syara’ yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci).
Definisi ini mengandung tiga substansi dasar yang sangat krusial, pertama, ilmu fiqih adalah ilmu yang paling dinamis
karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial (af’alul mukallafin) yang selalu berubah dan kompetitif. Kedua, ilmu
fiqih sangat rasional, mengingat ia adalah ilmu iktisabi (ilmu hasil kajian, analisis, penelitian, generalisasi, konklusiasi). Di
sini terjadi kontak sinergis antara sumber transendental (adillah) dan rasionalitas (mujtahid). Ketiga, fiqih adalah ilmu yang
menekankan pada aktualisasi, real action, atau bisa dikatakan amaliyah, bersifat praktis sehari-hari. Fiqih juga harus
berhubungan erat dan sinergis dengan problematika manusia, karena fungsi fiqih adalah mengarahkan, mendorong, dan
meningkatkan perilaku manusia agar sesuai dengan tuntutan agama. Perilaku manusia tentu tidak terbatas pada wilayah
ibadah mahdhah yang sangat terbatas, namun juga mencakup aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup,
kependudukan dan sosial tersebut. Fiqih harus tampil menjadi solusi atas berbagai problem sosial tersebut.
Tradisi berfikih NU mengukuti empat madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibnu
Hambal
ASWAJA dan Tradisi Tasawwuf
Kemunculan tasawuf bukan baru terjadi pada generasi muta’akhirin, tetapi sudah ada pada zaman Rasulullah SAW.
Bedanya, istilah ke-tasawuf-an baru dikenal pada generasi muta’akhirin, sementara pada masa Rasulullah istilah ketasawuf-
an belumlah dikenal, melainkan yang disebut “ke-zuhud-an”.
Dalam tradisi NU, ada empat puluh lima (45) Thariqat Mu’tabarah (Tarekat yang diakui dan dianggap pegangan), dan
dianggap sanadnya muttashil (bersambung) ke rasulullah SAW, yaitu; 1) Rumiyyah, 2) Rifa’iyyah, 3) Sa’diyah, 4) Bakriyah,
5) Justiyah, 6) Umariyah, 7) Alawiyah, 8) Abbasiyah, 9) Zainiyah, 10) Dasuqiyah, 11) Akbariyah, 12) Bayumiyah, 13)
Malamiyah, 14) Ghaibiyah, 15) Tijaniyah, 16) Uwaisiyah, 17) Idrisiyah, 18) Samaniyah, 19) Buhuriyah, 20) Usyaqiyah, 21)
Kubrawiyah, 22) Maulawiyah, 23) Jalwatiyah, 24) Baerumiyah, 25) Ghazaliyah, 26) Hamzawiyah, 27) Haddadiyah, 28)
Matbuliyah, 29) Sunbuliyah, 30) ‘Idrusiyah, 31) Utsmaniyah, 32) Syadziliyah, 33) Sya’baniyah, 34) Kalsyaniyah, 35)
Khadhiriyah, 36) Syathariyah, 37) Khalwatiyah, 38) Bakdasyiyah, 39) Syahrawardiyah, 40) Ahmadiyah (Thariqah), 41)
‘Isawiyah Gharbiyah, 42) Thuruqi Akabiril Auliya’, 43) Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, 44) Khalidiyah wa
Naqsyabandiyah, 45) Ahli Mulazamat al-Qur’an was Sunnah wa Dalailil Khairati wa Ta’limi Fathil Qaribi aw Kifayat al-
Awami. Thariqat-thariqat tersebut dijadikan pegangan dan rujukan oleh organisasi “Jam’iyyah Ahli Thariqah al-
Mu’tabarah an-Nahdliyah”, Organisasi Tarekat se-Indonesia, yang berada di bawah payung organisasi Nahdlatul Ulama.
NU dan Wawasan Strategis
Konsepsi Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) yang telah diintegrasikan ke dalam tubuh Nahdlatul Ulama dan
dijadikannya sebagai pedoman, dalam perkembangannya bukan hanya melandasi sebatas persoalan-persoalan
keagamaan (baik itu menyangkut aqidah maupun masalah-masalah fiqihiyyat) tetapi lebih dari itu menjadi landasan
dalam bersikap, bertindak, berpikir dan beragama. Dalam beberapa kali Muktamar NU, ASWAJA selalu menjadi
pembahasan yang sangat hangat dan menarik, bahkan forum-forum kaum muda NU non-struktural (mereka adalah anakanak
muda NU yang berada di jalur kultural) selalu menyita perhatian dan menjadikannya topik-topik diskusi yang
menarik.
Pembahasan yang cukup menghangat adalah apakah ASWAJA ini sebagai teologi-dogmatik, ataukah sebagai Manhajul Fikr,
Manhajun Nahdlah, atau mungkin sebagai Harakah? Cukup menarik mencermati berbagai pertanyaan KH. A. Mustofa Bisri
(Gus Mus), bagaimana sikap ASWAJA dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana ASWAJA dalam berpolitik, dalam
berekonomi dan berbudaya? Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ASWAJA diartikan sangat sederhana sekali, baik itu
oleh kalangan para da’i-da’i NU; orang NU yang berhaluan ASWAJA adalah yang mengikuti salah satu dari empat
madzhab, yang bertasawuf mengikuti Thariqat Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali, yang suka tahlilan,
barjanzian, ziarah kubur, manakiban, qunutan, tarawih 20 rakaat.
Kekhawatiran ini bisa dipahami, karena memang Nahdlatul Ulama dari awal pendiriannya, termasuk dalam “Qanun
Asasi”-nya KH. Hasyim Asy’ari tidak menyebutkan secara jelas mengenai konsepsi ASWAJA, yang dijelaskan hanya
Madzhab al-‘Arba’ah (madzhab yang empat), selebihnya, tidak ada rumusan baik dalam pergaulan sosial, politik, ekonomi
maupun kebudayaan. Tafsiran-tafsiran ASWAJA berikutnya dilandask`n pada nilai-nilai, manhajul fikr, sehingga menjadi
rumusan yang hadir seperti sekarang ini. Pelembagaan ASWAJA sehingga menjadi seperti sekarang ini, disusun setelah
Mbah Hasyim wafat, pada eranya KH. Bisyri Samsuri yang kemudian disistematisir lagi pada eranya KH. Achmad Siddiq.
Karena dari awalnya ASWAJA bukan sebagai lembaga, hanya sebagai landasan berfikir dan landasan bergerak, maka
lebih tepat lagi kalau disusun ASWAJA sebagai manhajul harakah yang akan berfungsi untuk menggerakkan roda
jam’iyyah dan jama’ah NU.
Harus dipahami, bahwa ASWAJA dalam tubuh NU selama ini masih menjadikan NU stagnan dengan segala potensinya
yang ada, baik itu potensi ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dari banyak potensi ini semuanya belum
menggerakkan NU menjadi sebuah organisasi yang solid, rapih dan sejahtera. Selama ini yang menjadikan NU mengakar
adalah karena adanya ikatan-ikatan tradisional yang semuanya tidak terlepas dari hubungan guru-murid maupun ulamarakyat.
Sistem patronase kepemimpinan ulama inilah yang menguatkan kelembagaan ASWAJA dalam masyarakat NU.
PBNU pernah melakukan rumusan-rumusan ASWAJA dalam empat wawasan strategis dalam Muktamar NU ke-27 No.
002/MNU/1984, yaitu: wawasan tentang ke-NU-an sendiri, wawasan tentang ke-Islam-an, wawasan tentang ke-
Indonesia-an. Dan wawasan tentang ke-Semesta-an (universalitas = internasionalitas = seluruh kemanusiaan). Empat
wawasan strategis inilah yang coba menghadirkan NU pada setiap masa dan dengan wawasan inilah NU masih dianggap
sebagai organisasi massa Islam yang moderat, meskipun anggapan ini terkadang ada untungnya tetapi juga ada ruginya.
Untungnya adalah dengan dianggapnya NU sebagai organisasi yang moderat maka percaturan politik ekonomi dan sosial
nasional tetap harus melibatkan NU, tetapi nilai ruginya adalah dengan anggapan ini menjadikan NU selalu berada pada
pihak yang dikorbankan, baik oleh negara, pemilik modal maupun kekuatan jaringan internasional.
Aswaja dari Madzhabi ke Manhaji
Ada beberapa konsep - konsep yang beberapa di antaranya pernah menjadi keputusan dalam Muktamar dan Munas NU,
seperti Khittah Nahdliyah, Mabadi Khaira Ummah, Fikrah Nahdliyah dan Maslahah Ummah. Tiga konsep dari keempat
konsep tersebut menjadi keputusan Nahdlatul Ulama (Khittah Nahdliyah merupakan keputusan Muktamar NU ke 26,
Mabadi Khaira Ummah merupakan keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1992, Fikrah Nahdliyah
merupakan keputusan Msyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 2006), sementara Maslahah Ummah belum menjadi
keputusan Muktamar NU, hanya saja persoalan kemaslahatan ummah sudah ada rumusan dari beberapa tokoh-tokoh
NU.
Adanya konsep-konsep ini menurut penulis adalah sebagai wujud dari transformasi dan internalisasi nilai-nilai ASWAJA
agar lebih dapat dipahami, dan bagi warga Nahdlatul Ulama dapat menjadi panduan dalam berfikir dan bertindak. Pada
kenyataannya konsep-konsep ini bukan hanya sebatas menjelaskan pada aturan-aturan keagamaan, tetapi juga
menyentuh pada persoalan kebudayaan, kebangsaan, politik, dan ekonomi. Hanya saja rumusan-rumusan ini terkadang
tidak disertai dengan turunan konsep yang utuh sehingga menjadi program NU yang aplikatif.
Sebagai sebuah organisasi massa yang besar, NU dalam pengambilan segala keputusannya memang cenderung sangat
hati-hati, selalu dipikirkan akibat, resiko dan maslahatnya. Keputusannya selalu mendasarkan pada teks-teks keagamaan,
baik itu dari al-Qur’an, al-Hadits, al-Qiyas, al-Ijma’, Qawa’id Ushul Fiqh, Istihsan, dan metodologi-metodologi lainnya.
Maka konsep-konsep strategis yang diputuskan NU seyogyanya menjadi panduan dan pegangan kita untuk dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan alur dari madzhabi ke manhaji adalah sebuah landasan konsepsional dan teoritis, dimana madzhab adalah
aliran yang di dalamnya memuat seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai, norma-norma, metodologi, dan dalam prakteknya
sudah diamalkan oleh seluruh warga NU dengan mengikuti madzhab teologi, madzhab fiqih, dan madzhab tasawuf.
Sementara manhaji adalah sebuah konsep metodologis yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan tuntutan
zaman, dalam hal ini perubahan-perubahan ini tidak sebatas pada persoalan “Fiqih-Ushul Fiqihnya” saja, tetapi juga
harus mampu mengembangkan fiqih-fiqih sektoral, detail seperti fiqih perburuhan, pertambangan, perempuan, fiqih
trafficking, fiqih nelayan, fiqih agraris, dan lain-lain. Tetapi fiqih-fiqih sektoral ini sekali lagi, tidak terlepas dari konteks
memperkuat Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, dan bukan sebaliknya memperkeruh dan memporak-porandakan konsepkonsep
fiqhiyyat yang sudah baku, terutama yang sudah diamalkan oleh kalangan pesantren dan kalangan-kalangan
ulama NU.
Apa yang telah tersusun dalam madzhab teologi, fiqih dan madzhab tasawuf sudah memuat aturan yang sudah baku,
maka yang kita kembangkan dalam hal ini hanya menyangkut persoalan-persoalan fiqih baik itu pada persoalan kaidah
ushul fiqih maupun substansi fiqih dengan tetap melandaskan pandangan intinya pada ketentuan yang sudah baku.
Banyak persoalan-persoalan yang dihadapi umat saat ini membutuhkan penyelesaian dengan cepat dan tepat yang bukan
hanya berkutat pada persoalan ‘ubudiyah saja, melainkan pada aspek penataan keadilan ekonomi dan kesejahteraan.
Bagaimana menyelesaikan sengketa buruh-majikan dalam sebuah kasus perusahaan dalam perspektif fiqih, bagaimana
fiqih menyusun konsep-konsep keadilan ekonomi masyarakat kecil yang saat ini dilanda berbagai kesulitan ekonomi
karena dihadapkan pada krisis yang berkepanjangan dan pasar yang tidak berpihak, bagaimana penyelesaian para
TKW/TKI yang tidak bisa diselesaikan oleh negara, sementara negara dan kalangan pengusaha PJTKI swasta hanya
memeras keringat para TKW/TKI tersebut, bagaimana menyelesaikan persoalan trafficking perempuan, anak, dan apa
konsep-konsep konkrit menurut fiqih, termasuk bagaimana menyelesaikan kemelut politik dalam tubuh partai politik
seperti PKB dan jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) ditantang untuk bisa menyelesaikan
persoalan-persoalan tersebut.
Khittah NU adalah landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU, secara individual maupun secara organisatoris.
Landasan itu adalah paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang diterapkan menurut kondsi kemasyarakatan Indonesia.
Khittah ini juga digali dari sejarah perjuangan NU.
Muatan isi Khittah adalah ; Dasar-dasar paham keagamaan NU, Sikap Kemasyarakatan NU, Perilaku keagamaan dan
sikap kemasyarakatan NU, Ikhtiar-ikhtiar yang sudah dilakukan NU, Fungsi organisasi dan pelayanan kepemimpinan
ulama, Hubungan NU dan Kehidupan bernegara.
Nilai-nilai Khittah sendiri sebenarnya menemukan momentumnya saat ini, pertama, adanya kampanye perlawanan
terhadap ideologi transnasional yang saat ini sudah merasuk ke dalam sendi-sendi bangsa Indonesia, kedua, adanya krisis
kebangsaan yang cukup akut, dimana kesadaran kebangsaannya mulai luntur, Pancasila tidak lagi dijadikan landasan
atau falsafah hidup dan bernegara, pelaksanaan otonomi yang berlebihan sehingga hampir-hampir kita tidak hafal lagi
berapa jumlah propinsi di Indonesia, berapa jumlah kabupaten atau kota di seluruh Indonesia, dan berapa jumlah
lembaga-lembaga ataupun komisi tinggi negara.
Kaitannya dengan pengamalan Khittah saat ini adalah sudah saatnya Nahdlatul Ulama dan organisasi underbow-nya
merumuskan dan menentukan langkah-langkah strategis dalam menjaga keutuhan NKRI dan juga mempertahankan kenusantara-
an kita yang saat ini sudah terkoyak-koyak dengan adanya berbagai proyek internasionalisasi kasus-kasus yang
terjadi di dalam negeri.
Sekali lagi, bahwa Khittah adalah “pedoman” yang merupakan induk dari konsep-konsep turunannya; “Mabadi Khaira
Ummah, Fikrah Nahdliyah dan berbagai konsep Maslahah ummah” yang harus diimplementasikan dan dijadikan rujukan
dengan tetap menggunakan asas-asas kepeloporan, kemandirian dan kesinambungan. Artinya, bagaimana dengan
Khittah NU mampu menjadi garda depan dalam merespon setiap perkembangan zaman, bukan sebagai kuda tunggangan
kekuasaan atau kepentingan kelompok-kelompok lain. Meminjam istilah Ahmad Baso, NU harus menjadi “Fa’il” bukan
“Maf’ul” menjadi subyek bukan obyek.
Sementara Konsepsi Dasar Mabadi Khaira ummah adalah sebuah konsep yang berangkat dari kegagalan membangun
perekonomian NU, penataan organisasi dan memperkuat pola silaturahmi antara warga NU dan para pimpinan NU.
Pada mulanya, prinsip dasar Mabadi Khaira Ummah hanya mengenal tiga prinsip dasar, yaitu; as-Sidq (kejujuran), al-
Amanah wal Wafa’ bil ‘Ahdi (dapat dipercaya dan teguh memegang janji) dan at-Ta’awun (gotong royong), tetapi dalam
perjalanannya, penjabaran atas konsep ini semakin sistematis dan terumuskan, sehingga terjadi penambahan prinsip
menjadi lima prinsip, yaitu: As-Sidq, al-Amanah wal Wafa’ bil ‘Ahdi, al-‘Adalah, at-Ta’awun, danIstiqomah.
Lima nilai di atas tersebut jika dilaksanakan, maka akan menjadi seorang muslim yang sempurna, dimana seorang muslim
yang sempurna adalah yang terdapat kesesuaian antara ucapan, pikiran dan tindakan. Segala perbuatan baik yang
dilakukan oleh seorang muslim haruslah berkesinambungan, jangan setengah-setengah, diperlukan adanya totalitas dan
kesungguhan, karena itulah kunci dari keberhasilan. Diperlukan sebuah nilai ketulusan, keikhlasan, dan keberanian untuk
memulai sesuatu yang diyakini benar dan akan bermanfaat buat diri sendiri dan masyarakat.
Keberadaan Fikrah Nahdliyyah sendiri dilandaskan pada beberapa hal, pertama, adanya landasan historis mengenai
berdirinya Nahdlatul Ulama, bahwa berdirinya NU adalah respon terhadap adanya pertarungan ideologi, antara ideologi
Islam tradisional dan Islam modernis, kedua, banyaknya kejadian-kejadian yang berkembang, dimana banyak kelompokkelompok
atau individu-individu yang mengatasnamakan NU tetapi sikap, pikiran dan tindakannya sudah tidak lagi
mencerminkan kepentingan jam’iyyah NU. Oleh karena itu Fikrah Nahdliyyah ini adalah semacam panduan yang
dinetralisasi dari nilai-nilai ASWAJA NU. Yang dimaksud dengan Fikrah Nahdliyyah adalah kerangka berfikir yang
didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijadikan landasan berfikir Nahdlatul Ulama (Khittah
nNahdliyyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlah-ummah (perbaikan umat).
Khashaish (ciri-ciri) Fikrah Nahdliyyah adalah:
1. Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap Tawazun (seimbang) dan
I’tidal (adil) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath.
2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan
pihak lain walaupun aqidah, cara berfikir, dan budayanya berbeda.
3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke
arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah).
4. Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam
merespon berbagai persoalan.
5. Fikrah Manhajiyyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berfikir
yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.
Selain “Fikrah Nahdliyah” yang sudah menjadi ketetapan Nahdlatul Ulama, barangkali penulis juga perlu mengemukakan
“beberapa pokok-pokok fikiran KH. Achmad Siddiq yang berkaitan dengan Fikrah Nahdliyyah”. KH. Achmad Siddiq merumuskan
“Lima Dalil Perjuangan dan Lima Dalil Hukum”, hasil rumusan ini ditujukan untuk; 1) Mempersamakan alam pikiran di
dalam NU dan menciptakan norma di dalam menilai dan menanggapi segala persoalan kehidupan, 2) Menjaga alam
pikiran NU dari penetrasi modernisme, westernisme, dan aliran-aliran lain yang merusak kemurnian Islam dan
kepribadian NU, 3) Memelihara dan mengembangkan watak, kepribadian NU dan Khittah NU.
Pokok-pokok pikiran KH. Achmad Siddiq ini muncul pada masa itu, dimana westernisasi, kolonialisasi dan komunisme
masih menggejala di berbagai belahan negara muslim di dunia termasuk Indonesia dan khususnya kepentingannya dalam
memperkuat jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Meskipun “Fikrah Nahdliyah” versi KH. Achmad Siddiq ini belum resmi
menjadi keputusan NU, tetapi sebagian rumusannya dipakai oleh kalangan NU bahkan termasuk dalam “Fikrah
Nahdliyah” hasil keputusan Munas NU Surabaya yang menambahkan “amar ma’ruf nahi munkar” dalam klausulnya.
KH. Achmad Siddiq menyusun Fikrah Nahdliyah berangkat dari sejarah modernisme barat, mencakup watak, arah dan
hakikatnya, dengan cara:
1. Menelaah latar belakang perkembangannya.
2. Kesejajarannya dengan kepentingan penyebaran agama Kristen.
3. Watak imperialismenya.
4. Strategi dan skenario imperialisme barat dalam menghancurkan Islam.
5. Proyek-proyek imperialisme yang bersifat internasional yang dapat menghancurkan umat Islam dengan cara
mendirikan suatu perguruan tinggi dengan nama ”al-Kulliyyah al-Injliziyyah al-Syarqiyyah al-Muhammadiyah” dan
membina seorang yang bernama “Mirza Ghulam Ahmad”, yang kemudian mendirikan gerakan AHMADIYAH
QADIAN.
6. Imperialisme barat melakukan pembinaan terhadap “Orang-orang Islam”, salah satunya adalah MUSTHAFA KAMAL
AT-TATURK yang berhasil menguasai Turki pada tahun 1924 dan mensekulerkan Turki.
Bahwa modernisme barat selalu berusaha untuk melemahkan jiwa Islam, fanatisme Islam, nilai-nilai ajaran Islam,
semangat jihad Islam, harga diri umat Islam, menimbulkan dan mengembangkan mental pemujaan terhadap barat dan
segala yang datang dari barat, dengan perkataan lain, gejala-gejala yang lebih berbahaya sekarang ini bagi kita umat Islam
Indonesia dan umat Nahdliyyin khususnya ialah Westernisasi-modernisme, terutama di bidang culture (kebudayaan, peny),
civilitation (peradaban, peny) dan pemikiran, dan Materialisme-Marxisme-Komunisme, di bidang filsafat, politik dan ekonomi.
Pembentengan terhadap umat Islam dan Front Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya dari bahaya-bahaya ini, haruslah
dilakukan dengan pemberian pengertian dan kesadaran seluas-luasnya kepada arah, watak dan hakikat modernismewesternisme
yang jelas ingin melemahkan Islam dan umatnya. Dan pemberian “Pedoman Berfikir Positif” ala Islam, ala
Ahlussunnah wal Jama’ah, ala Nahdlatul Ulama (Fikrah Islamiyah, Fikrah Sunniyah, Fikrah Nahdliyah).
Sikap yang harus diambil oleh kalangan generasi ASWAJA adalah:
1. MENILAI MASA LALU, berarti: a) Mempertahankan nilai-nilai positif, hasil pemikiran atau ijtihad generasi yang lalu
(sahabat dan ulama mujtahidin), b) Memurnikannya dari pengaruh atau percampuran unsur-unsur khurafat, israiliyyat
dan nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam.
2. MENGEMBANGKAN MASA KINI, berarti: a) Menerima hal-hal baru yang bermanfaat yang tidak bertentangan
dengan Islam, serta mengembangkannya ke arah yang bermanfaat dan sesuai dengan ajaran Islam, b) Menolak dan
mencegah hal-hal baru yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam.
3. MERINTIS MASA DEPAN, berarti: a) Menciptakan konsepsi dan inisiatif baru di bidang teknik perjuangan yang
tidak bertentangan dengan azas dan haluan perjuangan ISLAM ALA MADZHABI AHLUSSUNNAH WAL
JAMA’AH, b) Mendorong untuk berinisiatif dan berikhtiar untuk mengembangkan dan memenangkan azas dan
haluan perjuangan tersebut, c) Mengadakan usaha atau langkah preventif untuk menutup atau mempersempit jalan
berkembangnya hal-hal yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam.
Lima dalil perjuangan adalah patokan-patokan pikiran di dalam menanggapi soal perjuangan di bidang politik, ekonomi,
sosial, kebudayaan, dan lain-lain, penyusunan program perjuangan, pelaksanaan program perjuangan.
Tanggapan, sikap dan program Nahdlatul Ulama tentang masalah-masalah perjuangan didasarkan atas prinsip-prinsip,
patokan atau kaidah yang disebut “Lima Dalil Perjuangan”, yaitu: Jihad fi Sabilillah, ‘Izzul Islam wal Muslimin, At-
Tawassuth atau al-I’tidal atau at-Tawazun, Saddudz Dzari’ah, Amar Ma’ruf-Nahi Munkar.
Lima dalil hukum adalah patokan-patokan fikiran yang dipergunakan imam-imam Mujtahid di dalam berijtihad atau
beristinbath tentang masalah-masalah hukum agama Islam, terutama oleh Imam-imam madzhab Syafi’i, antara lain ; Segala
sesuatu dinilai menurut niatnya, Bahaya harus disingkirkan, Adat kebiasaan dikukuhkan, Sesuatu yang sudah yakin tidak
boleh dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, Kesukaran (ke-masyakkat-an) membuka kelonggaran.
Fikrah Nahdliyah yang disusun oleh KH. Achmad Siddiq menjadi lebih detail dan sistematis, lebih jelas dimana posisi NU
harus berada, meskipun akan banyak bersinggungan dengan kelompok-kelompok lain bahkan kalangan orang-orang NU
sendiri yang selama ini sudah banyak keluar dari rel NU.
Seperti diketahui, bahwa fakta kita hari ini adalah terjadinya arus perang pemikiran dan paradigma besar-besaran di
kalangan kaum muda NU, sebagian dari mereka ada yang mengusung mati-matian isu-isu demokrasi, pluralisme, gender.
Sebagian di antara mereka melakukan perlawanan-perlawanan naratif atau membuat pemikiran-pemikiran tandingan.
Bisa jadi arus perang pemikiran ini memang sengaja diciptakan atau menjadi skenario besar dalam mencairkan dan
meruntuhkan narasi-narasi yang dimiliki oleh NU. Bangunan dari narasi ini semuanya terpusat dari kitab kuning, sebuah
kitab yang menjadi panduan kalangan ulama NU baik dalam pengajaran, ta’lim-ta’lim di pesantren-pesantren, masjidmasjid,
madrasah-madrasah maupun majelis ta’lim, bahkan kitab kuning ini juga menjadi rujukan dalam pengambilan
hukum keagamaan di lingkungan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Maka dengan melakukan reformasi isi kitab kuning, apalagi kitab-kitab yang sangat private menyangkut hubungan suamiistri
dan guru-murid, yaitu “kitab ‘Uqud al-Lujain” dan “kitab Ta’lim Muta’allim” yang keduanya merupakan kitab rujukan
di kalangan pesantren telah menimbulkan reaksi berbagai ulama NU. Jika sudah demikian, apakah NU diuntungkan
dengan cara seperti ini? Ataukah kehancuran sistematis sedang melanda NU? Kiranya Fikrah Nahdliyah ini layak untuk
direnungkan.
Sementara untuk Persoalan “Masalahah Ummah” sudah menjadi perhatian kalangan ulama-ulama Ahlussunnah wal
Jama’ah dari sebelum NU didirikan, hal ini sesuai dengan peran dan fungsi keberadaan ulama yang memang menjadi
tempat mengadu rakyat, mengayomi dan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat sehari-hari, dari
mulai persoalan tata cara beribadah, menikah, mendoakan banyak rizki, menangani kelahiran, sunatan, aqeqahan, qurban,
menshalati, mengkafankan dan menguburkan orang meninggal sampai mentahlilkan orang yang sudah meninggal.
Konsepsi dasar “Maslahah Ummah” ini berangkat dari konsep penguatan, pengembangan, fasilitasi dan memperjuangkan
kepentingan umat baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan, keadilan dan kesejahteraan. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama
yang didirikan oleh kalangan ulama tentunya tidak bisa melepaskan diri dari fungsi ini, karena “Maslahah Ummah” ini
juga menjadi tujuan ditegakkannya syari’ah “Maqashid as-Syari’ah”.
Kemaslahatan sendiri adalah sebuah perintah yang mendorong kepada ajakan kebaikan (amar ma’ruf), kebajikan, dan
menghindari dampak buruk, dan negatif (nahi munkar). Salah satu ciri pemenuhan terhadap kemasalahan rakyat adalah
adanya pemenuhan tiga kebutuhan pokok; pemenuhan, sandang, pangan dan papan. Ketiga kebutuhan ini adalah
kebutuhan dasar setiap orang yang harus diperjuangkan, bahkan dalam perintah-perintah al-Qur’an maupun kisah-kisah
nabi dan para sahabat bahwa pemenuhan hak-hak dasar ini menjadi lebih utama didahulukan ketimbang berdakwah,
sebagaimana sabda Nabi : “Kada al-fakru an yakuna kufran”, (Kefakiran mendekatkan diri pada kekufuran). (HR. Abu Naim dari
Anas).
Selain tercukupinya tiga hal di atas tadi, indikator lain keberhasilan maslahah adalah apabila mampu memenuhi lima hak
dasar manusia, yaitu menjadi kebebasan beragama (hifzhu al-din), melindungi keselamatan jiwa (hifzhu al-nafs), menjaga
keamanan harta (hifzhu al-mal), menjaga kebebasan berfikir (hifzhu al-aqli), menjaga kelangsungan keturunan dan prestise
(hifzhu al-nasli wa al-ird). Untuk menjaga realisasi lima hak dasar ini, Islam mempunyai bany`k instrumen. Qishas
disyari’atkan untuk menjaga keselamatan jiwa, orang murtad dibunuh untuk menjaga agama, zina dihukum untuk
menjaga nasab, orang yang menuduh zina dihukum untuk menjaga sirik, pencuri dihukum untuk menjaga harta, dan
minum-minuman dihukum untuk menjaga akal. Dasar kaidah ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW: “Apa yang
dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka dalam pandangan Allah, hal itu juga baik.” (HR. Ahmad bin Hambal)
Aswaja dari Manhajul Fikr ke Manhajul Harakah
Untuk mensistematisir dan menyusun secara konsepsional dari fikroh ke harakah maka basis argumentasinya harus
melandaskan pada akar-akar historis Nahdlatul Ulama dengan menyusun secara lebih sistematis dan konsepsional
gagasan-gagasan baru yang bersifat kritis, dan kontektual, diantaranya adalah; bagaimana upaya menggerakkan Trilogi
NU yang pernal muncul dalam sejarah ke-NU-an; Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathon dan Taswirul afkar, menggerakkan
wawasan strategis ke-Aswaja-an; tradisi nusantara, Menggerakkan kaum mustadh’afin, Menggerakkan pribumisasi Islam
dan Menggerakkan semangat kebangsaan
Pertama, bahwa secara historis ASWAJA adalah sebuah “proses” yang lahir bukan terus “menjadi” tetapi terus
“berkembang” mengikuti dinamika zaman yang selalu berubah. ASWAJA secara historis kelahirannya terbagi dalam dua
fase; sebagai sebuah ajaran dan pemikiran yang sudah lahir dari masa Rasulullah SAW, hal ini dibuktikan dengan adanya
hadits nabi yang menyebut kata “Ahlussunnah wal Jama’ah” sebagai golongan umat yang akan selamat dari 72 golongan
yang akan masuk neraka. Tetapi secara pelembagaan, ASWAJA mulai hadir pada masa muculnya perpecahan aliranaliran
ilmu kalam yang berujung pada “munculnya perumusan ilmu-ilmu fiqih”.
Kedua, ASWAJA dalam lingkup dan tradisi NU menjadi sebuah konsep “pelembagaan ASWAJA” yang di dalamnya
menyangkut rumusan fiqih, akidah, dan rumusan tasawuf. Rumusan-rumusan ini lembentuk “rumusan pemikiran dan
gerakan”. Disebut pemikiran, karena NU dengan konsep ASWAJAnya mampu mengembangkan berbagai metodologi
hukum-hukum syari’ah yang sebelumnya tidak ada. Sementara disebut sebagai gerakan, karena ASWAJA selalu menjadi
ruh pergerakan para ulama, dari mulai membuat gerakan ekonomi, gerakan politik, gerakan kebudayaan, gerakan
keagamaan, gerakan pendidikan dan gerakan keba
Ketiga, dalam perjalanannya, ASWAJA Nahdlatul Ulama menjadi ruh dalam menuangkan gagasan-gagasan strategis,
yang kemudian gagasan-gagasan ini juga diakui diakomodir sebagai agenda pembangunan nasional, seperti; a) dengan
adanya gagasan kembali ke Khittah Nahdliyah 1926, NU berhasil membangun kemandirian organisasi, NU berhasil
menjaga stabilitas pembangunan, dan NU berhasil menjadi garda terdepan dalam menyebarkan Islam rahmatan lil ‘alamin
melalui gerakan Islam damai, dan Islam kebangsaan. Dengan konsep pribumisasi Islam, NU telah menghadirkan dirinya
menjadi kekuatan tradisional yang progressif, transformatif, kritis dan konstruktif. Dan pada akhirnya NU menjadi
pelopor bagi terbentuknya “Islam Indonesia” dan menjadikannya sebagai model bagi pengembangan Islam di negaranegara
muslim lainnya di dunia, b) dengan adanya gagasan strategis “Mabadi Khaira Ummah”, telah berimplikasi pada
adanya penataan kembali struktur organsiasi NU dari mulai tingkat ranting sampai pengurus besar, membagun kembali
pola komunikiasi antara NU dengan warganya dan membangun gerakan ekonomi kerakyatan, c) dengan adanya gagasan
“Fikroh Nahdliyah”, NU mensistematisir dirinya menjadi sebuah sistem yang meberikan kerangka metodologis dan
solusi-solusi yang konkrit dalam memecahkan kebekuan dan kejumudan umat, d) dan dengan adanya gagasan “Maslahah
Ummah”, NU berupaya menegaskan dirinya sebagai organisasi pemberdayaan umat dan perjuangan umat menuju umat
yang sejahtera dan pelopor bagi pembangunan manusia Indonesia yang cerdas, beriman dan bertaqwa.
Keempat, dalam perkembanganya, ASWAJA harus mampu menjadi garda terdepan dalam menggerakkan sendi-sendi
kebangsaan. Semuanya demi kemaslahatan, kemajuan bangsa dan kejayaan Islam. Dalam tataran ini ASWAJA harus
memiliki kemampuan untuk menyusun wawasan strategis ke-ASWAJA-an yang meliputi; bagaimana tradisi kenusantara-
an, bagaimana menggerakkan kaum mustadz’afin, bagaimana menggerakkan pribumisasi Islam, dan
bagaimana menggerakkan solidaritas kebangsaan.
Kelima, ASWAJA dituntut kemampuannya untuk merumuskan strategi-strategi konkrit, realistis dan visioner, dimana
dalam hal ini ASWAJA dapat menjadi panduan, pedoman dan pandangan masyarakat umum, seperti halnya
“Madilognya Tan Malaka yang mampu menyusun gerakan nasionalisme-kiri atau Das Kapitalnya Karl Marx yang
mampu menyusun pedoman gerakan komunis”.
Aswaja dalam Praksis Gerakan
Bagaimanakah membumikan ASWAJA dalam praksis gerakan?. Pertanyaan ini menjadi penting untuk di jawab, agar
ASWAJA selalu menjadi landasan dan pedoman dalam praksis kehidupan sehari-hari. Ahlussunnah wal Jama’ah
(ASWAJA) sebagaimana telah disebutkan dalam bab-bab awal, bukan hanya sebagai konsep teologi, melainkan juga
sebagai konsep berpikir dan bergerak. Oleh karena itu, harus ada hubungan sinergis antara ajaran, landasan, sikap, pola
pikiran dan tindakan sehingga manjadi satu kesatuan yang integral sebagai wujud dari pembuman ASWAJA. Dalam
membumikan ASWAJA, terdapat enam (6) pola pengembangan; landasan keagamaan, konsepsi dasar, orientasi, pola
ukhuwah, panduan berpikir, dan panduan bergerak
I. Landasan keagamaan
Ø Berpedoman pada al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas
Ø Memantapkan ‘Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ø Mengembangkan kontektualisasi dan aktualisasi fiqh
Ø Menggerakkan fungsi-fungsi ushul fiqh
II. Konsepsi dasar
Ø Apresiasi terhadap tradisi-tradisi lokal
Ø Menggelorakan semangat kebangsaan
III. Orientasi
Ø Melakukan penilaian-penilaian masa lalu
Mempertahankan nilai-nilai positif masa lalu dan memurnikannya dari pengaruh dan pencampuran unsur-unsur
khurafat, israiliyyat, dan nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam
Ø Mengembangkan masa kini
Menerima hal-hal baru yang bermanfaat dan sesuai dengan islam dan mengembangkannya sesuai dengan Islam
dan menolak hal-hal baru yang tidak sesuai dengan islam atau membahayakan Islam
Ø Merintis masa depan
Menciptakan konsepsi-konsepsi baru yang sesuai Islam, mendorong inisiatif-inisiatif dan ikhtiar dan
mengembangkan azas dan haluan perjuangan tersebut, mengadakan usaha dan langkah preventif terhadap
sesuatu yang bertentangan dengan Islam
IV. Pola Ukhuwah
Ø Mengembangkan pola ukhuwah Islamiyah (ke-Islama-an)
Ø Mengembangkan pola ukhuwah Basyariyah (ke-manusia-an)
Ø Mengembangkan pola ukhuwah wathoniyah (ke-bangsa-an)
Ø Mengembangkan pola ukhuwah nahdliyah (ke-NU-an)
V. Panduan Berpikir
Ø Mengembangkan pola pikir Tawassuthiyah (pola pikir moderat dengan tetap mengedepankan keseimbangan dan
keadilan)
Ø Mengembangkan pola pikir Tasamuhiyah (pola pikir toleran)
Ø Mengembangkan pola pikir Ishlahiyah (pola pikir reformatif)
Ø Mengembangkan pola pikir Tathowwuriyah (pola pikir dinamis)
Ø Mengembangkan pola pikir manhajiyyah (pola pikir metodologis)
VI. Panduan bergerak
Ø Mengembangkan aspek-aspek Maslahah
Melakukan advokasi kebijakan, meminimalisir bahaya, menghindari kerusakan, melakukan gerakan preventif,
menjadi kader pelopor, mewujudkan multi effect maslahat
Ø Melakukan pembelaan terhadap kaum Mustadh’afin
Melakukan pembelaan terhadap kelompok/ perorangan yang dilemahkan dan ditindas secara struktur sosialbudaya,
ekonomi dan politik serta memberdayakan, memperkuat dan mengembangkan sepuluh kelompok; faqir,
miskin, ‘amil, mu’allaf qulubuhum, riqab, gharim, fi sabilillah, ibnu sabil, sa’il dan mahrum, dan yatim
* Sekretaris Jenderal PP IKDAR. Penulis buku “ASWAJA ; Manhajul Harakah” dan juga penulis buku “Menggerakkan
Nahdlatut Tujjar”. Keduanya di terbitkan oleh Perhimpunan Masyarakat Pesantren Indonesia (PMPI) tahun 2008.