Mohon Maaf Kepada Semua Pihak Apabila Ada Kesamaan Dalam Penulisan Ataupun Isi Lainnya, "Kritik & Saran" Kami Tunggu, Terima Kasih...!

Kamis, 23 Februari 2012

MEMAHAMI PARADIGMA SEBAGAI DASAR GERAKAN


Oleh: Abdur Rohim Mawardi, S.HI.

Pendahuluan
Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan prilaku organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.    
Konsep pengkaderan yang baik selalu berangkat dari kenyataan riil sebuah zaman dan selalu mengarah pada tujuan organisasi. Sehingga kader yang telah dididik oleh organisasi mampu memahami keadaan zamannya, mampu mengambil pelajaran dan mampu mengambil posisi gerak sesuai tujuan organsasi.
Selain itu sebuah konsep pengkaderan yang baik juga senantiasa berorientasi  untuk meningkatkan tiga aspek utama, yakni keilmuan, pengetahuan dan keterampilan. Keimanan mendorong kader untuk berani dan tidak mau tunduk dihadapan segala bentuk kemapanan serta ancaman duniawi. Pengetahuan membekali kader atas keadaan zaman dimana dia bergerak, dan keterampilan merupakan bekal bagi kader agar mampu survive sekaligus bergerak dizamannya.

Pengertian Paradigma
Dalam  khazanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh para pimikir sosiologi. Salah satu diantaranya adalah G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan kesatuan consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat di dalamnya. Mengingat banyaknya difinisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak dimabil oleh PMII. Hal ini peril dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma.
Berdasarkan pemikiran dan rumusan yang disusun oleh para ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah. Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam “mendekati”obyek kajianya (the subject matter of particular dicipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realitas” dilihat. Perbedaan paradigma yang digunakan oleg seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalamm menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara pandang, sampai pada aksi dan solusi yang diambil.

Refleksi Paradigma Pergerakan
Paradigma gerakan adalah alat dalam membedah pola, arah dan tujuan ber-PMII, ber-Islam dan ber-Indonesia. Paradigma kritis tansformatif yang selama ini dipakai sebagai pisau analisa di anggap mampu dalam menghadapi tekanan baik internal maupun  eksternal.
Dengan kritisismenya, PMII terbukti masih bisa tegak berdiri ketika sejumlah badai mengahadang. PMII juga masih mampu mentransformasikan sistem nilai yang berakar pada tradisi saat sistem nilai naru bermunculan. Tetapi dunia terus berubah-bergerak ke arah yang kadang sulit diprediksi. Arus globalisasi, neoliberalisme, dam fundamintalisme ekstrim tak hentinya menggempur. Ada banyak tantangan saat dunia semakin datar, persaingan kian ketat. Karena itu, PMII perlu terus melakukan men-formulasi ulang paradigma gerakannya agar tidak gagap terhadap perubahan dunia yang terus mengealami percepatan.
Bahwa nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun sistematis pada masa kepengurusan Sahabat Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (Sekjend). Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang populer dibidang sosiologi digunakan untuk menyatakan prinsip dasar PMII yang dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang. Dimuat dalam buku Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (November 1997), Paradigma Pergerakan disambut massif oleh seluruh anggota dan kader PMII di seluruh Indonesia. Paradigma Pergerakan, demikian ‘judul’nya dirasa mampu menjawab kegelisahan anggota pergerakan yang gerah dengan situasi sosial politik nasional kala itu.
Adapun titik tolak dari paradigma pergerakan (atau populer dengan nama paradigma arus balik) ini adalah kondisi sosio-politik bangsa Indonesia yang ditandai oleh: 1). Munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya. 2). Menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik. 3). Semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat, termasuk intelektual. 4). Diterapkannya model politik eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik. 5). Penggunaan secara efektif hegemoni secara ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada. Lima ciri diatas tak jauh beda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist state) (1997; hal. 3).
Medan politik Orde Baru merupakan arena subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara. Sikap ini didorong oleh konstruksi (bangunan pemikiran) teologi antroposentrisme transendental yang menekankan posisi khalifatullah fil ardh sebagai perwujudan penghambaan kepada Allah SWT.  Tapi selain dasar ini, sikap perlawanan itu di dorong dua tema pokok. Pertama, tidak setuju adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat. Kedua, menentang ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu dan masyarakat (1997; hal.17).

Pilihan Paradigma PMII
Pada periode Sahabat Syaiful Bahri Anshari, diperkenalkan Paradigma Kritis Transformatif. Hakikatnya tak jauh beda dengan Paradigma Pergerakan. Titik bedanya terletak pada pendalaman teoritik paradigma serta pengambilan eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt serta nilai kritisisme wacana intelektual muslim seperti Hassan Hanafi, Muhamad Arkoun, Asghar Ali Engineer dll. Sementara di lapangan polanya sama dengan periode sebelumnya. Gerakan PMII terkonsentrasi pada aktivitas jalanan dan wacana kritis. Semangat perlawanan oposisi (perang terbuka), baik dengan negara maupun dengan kapitalisme global terus hangat mewarnai semangat PMII.
Kedua paradigma di atas mendapat ujian berat ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden  RI  pada November 1999. para aktifis PMII dan aktfis prodem mengalami kebingungan saat Gus Dur yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society.
Secara massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa perlawana frontal baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan di atas negara (kapitalis internasional). Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperleh tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak-larut dalm persoalan temporal-spasial, sehingga gerak perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan indonesia luput dibaca.
“Membangun Sentrum Gerakan Di Era Neo Liberal”, pada masa Sahabat Malik Haramain, paradigama di atas adalah melanjutkan kegagapan PMII dalam bersinggungan dengan kekuasaan. Paradigama ini oleh banyak kader di anggap sesisten terhadap pembacaan otoritarisme tanpa melihat kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan ditingkat global dan siklus politik ekonomi yang terjadi. Dengan kata lain, paradigma yang dibangun ini di anggap hanya sebagai bunyi-bunyian yang tidak pernah secara riil menjadi habitus atau laku di PMII.
Begitu juga dengan kepenurusan Sahabat Heri Haryanto Azumi yang dengan susah payah membangun paradigma dengan nama “Multi Level Strategi”. Hakikatnya paradigma yang dibangun mulai dari Sahabat Muhaimin Iskandar sampai pada Sahabat Heri Azumi adalah pencarian identitas (berdialektika) yang tepat bagi PMII untuk melangkah, melihat dengan cermat, menuju organisasi pergerakan yang lebih dinamis dan kompetetif yang membela kaum mustad’afin dan anti kemapanan (sivil cosiety-nation state).


[1] Makalah ini disajikan pada Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PK. PMII STAI Zainul Hasan Genggong, kamis, 12 desember 2008 di MWC NU Pakuniran Probolinggo.
[2] Alumni PMII STAI Zainul Hasan Genggong dan PMII Probolinggo. Presiden Mahasiswa STAI Zainul Hasan Genggong 2005-2006

Senin, 20 Februari 2012

DAFTAR ISI


Rabu, 15 Februari 2012

SEJARAH MAJAPAHIT

Setelah raja S’ri Kerta-negara gugur, kerajaan Singhasa-ri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan penguasa Singhasa-ri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singha-sa-ri pertama dan anak dari Dyah Le(mbu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Ke(rtana-gara yang masih terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Na-garakerta-gama menyebutkan bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Ke(rtana-gara dinikahinya semua. Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasa-ri, Raden Wijaya diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singhasa-ri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Te(rik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Berkat bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja Jayakatwang.
Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasa-ri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.
Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar S’ri Ke(rtara-jasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar S’ri Parames’wari Dyah Dewi Tribhu-wanes’wari, S’ri Maha-dewi Dyah Dewi Narendraduhita-, S’ri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnya-paramita-, dan S’ri Ra-jendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari Tribhu-wanes’wari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhu-wanottunggadewi Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Ra-jadewi Maha-ra-jasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya yang diberi nama Kalage(me(t. Seorang perempuan lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Ke(rtana-gara kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, S’rimat Tribhu-wanara-ja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja Singhasa-ri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayana-gara. Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayana-gara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayana-gara juga terpengaruh oleh hasutan Maha-pati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal raja (be(ke(l bhayangka-ri). Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.
Pada masa Jayana-gara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Jayana-gara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.
Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayana-gara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sade(ng dan Keta tahun 1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.
Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singha-sari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar S’ri Rajasana-gara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhu-mi (maha-patih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitaloka-, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitaloka- bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala.
Setelah peristiwa Bubat, Maha-patih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Pa-duka S’ori, anak dari Bhre We(ngke(r yang masih terhitung bibinya.
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Maha-patih Gajah Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhu-mi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhu-mi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Pare(gre(g. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumape(l ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhu-mi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhu-mi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut.
Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumape(l Dyah Ke(rtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar S’ri Ra-jasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Su-ryawikrama Giris’awardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhu-mi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singha-sari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.
(Disarikan dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, 1984, halaman 420-445, terbitan PP Balai Pustaka, Jakarta)

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN


MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN

Fungsi Pendidikan Dalam Kehidupan Manusia Sebagai Makhluk Biologis




Dosen Pembimbing:
SALAMAH EKA SUSANTI, M.Si






( V - E / UTAMA ) 
Oleh:    Zet Affan


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ZAINUL HASAN
KRAKSAAN - PROBOLINGGO
FAKULTAS TARBIYAH
2009-2010
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………….
Kata Pengantar ……………………………………………………………
Daftar Isi ……………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................
A.      Latar Belakang Masalah ..................................................
B.      Rumusan Masalah …………………………………………..
C.     Tujuan Penulisan ……………………………………………
D.     Metode Penulisan …………………………………………...
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................
                Fungsi Pendidikan Dalam Kehidupan Manusia Sebagai Makhluk Biologis”.........
BAB III Penutup..................................................................................
A.      Kesimpulan ......................................................................
B.      Saran ...............................................................................
C.     Daftar Pustaka..................................................................


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Rasa Syukur senantiasa kami haturkan kepada Tuhan dari segala tuhan (Allah) yang telah mengamanatkan kepada kita untuk senantiasa berproses melanjutkan perjuangan pendahulu demi kedamaian dan keadilan. Sholawat serta salam semoga tercurah limpahkan pada sang presiden islam dunia, sang revolusioner sejati nabi Muhammad SAW. berkat kegigihannya kita bisa merasakan suasana zaman yang penuh dengan nuansa perubahan dan tetap dalam dialektika pengetahuan untuk melawan ketidak adilan dan dalam hal ini penulis juga dapat merampungkan makalah ini dengan judul Fungsi Pendidikan Dalam Kehidupan Manusia Sebagai Makhluk Biologis
Selain itu kami mengucapakn ribuan terima kasih kepada yang terhormat dan kami ta’dimi.
1.        KH. Mutawakkil Alallah, SH,. MM. selaku pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, beserta keluarga yang dengan keikhlasan, kelembutan dan kesabarannya yang telah mengajarkan dan membuat kami memahami arti dari sebuah pengabdian.
Selanjutnya jami ucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat dan sangat terpelajar.
2.       Drs. H. M. Su’ud Agaf, SH,. MH. Selaku Rektor Sekolah Tinggi Agama Islam Zainul Hasan yang telah memotivasi kami dengan etos kerja dan disiplin ilmu yang baik.
3.       Salamah Eka Susanti, M.Si. selaku dosen pembimbing kami, yang dengan sabar telah mendidik dan mengasah otak kami.
4.       Kepada yang membawa kami menuju ilmu pengetahuan dari sejak kecil hingga saat ini, yaitu Ayahanda dan Ibunda tercinta.
5.       Dan tak lupa pula kami mengucapkan banyak terima kasih kepada sahabat-sahabat kami, yang telah menciptakan tawa dan emosi yang membuat penulis menjadi orang yang dapat memahami apa arti dari sebuah kehidupan bersama orang lain dan juga yang selama ini telah membantu kami untuk menyelesaikan makalah ini dan yang selalu memberi kami imajinasi dan pandangan ke depan untuk menuju kesuksesan yang lebih baik.
Demikian dari kami, dengan kerendahan bahasa dan hati penulis menyadari bahwa untuk mencapai kesempurnaan itu melalui banyak proses, dengan satu harapan yang sederhana, semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca dan penulis, dan semoga tugas makalah ini dapat memperkaya referensi keilmuan dan khasanah pendidikan khususnya mahasiswa – mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Zainul Hasan Genggong. Amin...


Mahasiswa…!

“Bila dirimu bangga dengan bangku kuliah yang kau duduki sampai senyummu terbahak, nyaring terdengar diantara sahabat-sahabatmu, “menolehlah…!!! Ternyata di belakangmu masih menyisakan luka dan tangis yang tak mampu negeri ini menghapusnya”.


Wallahulmuwafieq ila aqwamittharieq
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Kraksaan, 08 Januari 2010


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Allah Yang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Ahmad D. Marilba mengatakan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Dalam tujuan Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan ditujukan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas yang dideskripsikan dengan jelas dalam UU No. 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, berjiwa patriotik, cinta tanah air, mempunyai semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, menghargai jasa pahlawan, dan berorientasi pada masa depan.
B. Rumusan Masalah
Setelah melihat beberapa pernyataan di atas, sehingga muncul di benak penulis untuk merumuskan masalah sebagai berikut: Apa itu Pendidikan, dan Hubungannya dengan Manusia Sebagai Makhluk Biologis.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan kami menulis makalah ini yang berjudul “Fungsi Pendidikan Dalam Kehidupan Manusia Sebagai Makhluk Biologis” adalah agar supaya dapat memahami Sub Bahasan Filsafat ilmu Pendidikan ini dapat didekati dari permasalahan pokok tentang apa itu Filsafat, Ilmu dan Pendidikan.


D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deduktif yaitu penulis menarik kesimpulan dari pernyataan unun menuju pernyataan khusus.


BAB II
PEMBAHASAN
 Fungsi Pendidikan Dalam Kehidupan Manusia Sebagai Makhluk Biologis

Pendidikan dalam gerak sejarahnya selalu mengarah pada  progresivitas dan transformativitas kehidupan manusia, sehingga eksistensinya pun mesti pula memuat segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, tidak saja yang berdimensi pragmatis, tetapi juga idealis; tidak saja bercorakkan yang profan, tetapi juga yang sakral; tidak saja sarat dengan muatan pengetahuan, tetapi juga moral;  untuk kepentingan individu maupun sosial yang mencakup kepentingan kehidupan  sekarang ataupun mendatang.
Esensi  pendidikan sebagai pengupayaan ke arah perubahan-perubahan perilaku yang lebih “baik”, menircayakan adanya perubahan-perubahan sebagaimana yang diinginkan, sesuai dengan  tujuan-tujuan yang telah digariskan oleh  suatu lembaga pendidikan sekolah, sebagai bukti nyata adanya aktivitas pendidikan itu sendiri. Perubahan yang dimaksud tentukan bernuansakan progresivitas humanitas, baik konteks hubungan dirinya dengan masyarakat, alam maupun Tuhannya.
Pendidikan sekolah sebagai lembaga yang ditugaskan untuk pengembangan humanitas manusia, pada dasarnya juga mengemban tugas pembinaan biologis, karena memang manusia diciptakan Tuhan untuk biologis, sehingga dalam pendidikan, nilai-nilai biologis mestilah menjadi bagian yang integral dalam setiap usaha kependidikannya. Secara struktural-formal tidak mesti hanya sekedar tercantum dalam orientasi dan tujuan  pendidikan semata, tetapi  hendaklah juga terjalin kelindan dalam setiap  denyut nadi aktivitas kependidikan itu sendiri.
Adanya indikasi keterasingan biologis dan nilai-nilai humanitas dalam lembaga kependidikan sekolah yang ditandai dengan orientasi keilmuan yang semata-mata untuk ilmu-an sich dan pemisahan yang tajam antara ilmu pengetahuan dan moral merupakan sesuatu indikasi yang menunjukkan telah bergesernya ideologi dan biologis pendidikan kepada sesuatu yang bukan esensinya. Melalui analisis filosofis dengan gaya penalaran deduktif-induktif dan induktif-deduktif, tulisan ini berupaya mencarikan solusi atas persoalan apa dan bagaimana bentuk dan corak biologis kependidikan yang difokuskan pada permasalahan, idealitas  manusia dan kemanusiaan serta hal-hal yang berkenaan dengan masalah esensi pendidikan dan pemanusiaan.
Identitas Manusia Karena upaya kependidikan tidak lain adalah suatu upaya pemanusiaan, maka untuk melihat biologis kependidikan itu mesti diawali dengan mendudukkan makna dan orientasi humanitas agar segala yang akan ditempuh dalam kegiatan kependidikan tidak lari dari esensinya.
Kata  insan dikaitkan dengan aspek utama kemanusiaan, yaitu kemampuan penalaran yang dengan dayanya ini, manusia mampu mengamati, mencermati, menangkap, mengidentifikasi dan menganalisis berbagai kasus dan kondisi dengan cara menghubungkan fakta-fakta dalam berbagai realitas menuju  pengambilan suatu kesimpulan yang akan menjadi pelajaran dan hikmah yang berguna bagi kehidupannya.
Jika dilihat pula dari asal katanya al-uns atau anisa yang berarti jinak memberikan isyarat, bahwa manusia memiliki potensi biologis untuk mudah beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai lingkungan dalam realitas kehidupannya.  Manusia di sini dilihat sebagai makhluk biologis yang ditunjukkan dengan sikap ingin hidup berkelompok dan bermasyarakat, menata kehidupan dalam suatu komunitas, di samping juga ingin bersahabat dengan orang lain di luar diri dan kelompoknya serta berlaku ramah dengan lingkungan dan alam yang mengelilinginya.
Manusia  dalam konteks ini, adalah makhluk yang memiliki potensi cinta kedamaian dan keharmonisan dalam hidupnya. Oleh karena itu, perselisihan dan pertengkaran di antara manusia adalah semacam penyimpangan natural kemanusiaannya dan atau karena adanya penekanan potensial humanitas lainnya yang saling mendesak, sehingga sifat potensial ini tidak teraktualisasikan dalam tindakan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Pdndidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing.
Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak.


B. Saran
Sehubungan dengan adanya makalah fungsi pendidikan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk biologis, maka diberikan saran yang berkaitan dengan Identitas Manusia Karena upaya kependidikan tidak lain adalah suatu upaya pemanusiaan, maka untuk melihat biologis kependidikan itu mesti diawali dengan mendudukkan makna dan orientasi humanitas agar segala yang akan ditempuh dalam kegiatan kependidikan tidak lari dari esensinya.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini baik dari segi susunannya, tulisannya dan atau isinya tidak terlepas dari kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan dan kami tunggu dalam upaya penyempurnaan agar makalah ini menjadi lebih baik.


Daftar Pustaka / Rujunkan
  1. Abul `Ainain, `Ali Khalil, Falsafah al-Tarbiyat al-Islamiyah fi nal-Qur`an al-Kar?m, Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1980.
  2. Al-Abrasyi, Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1987.
  3. Al-Syaibani, Omar Muhammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
  4. Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, al-Husn Zikra, Jakarta, 1995.
  5. Muhammad, Abu Bakar, Membangun Manusia Seutuhnya Menurut al-Qur`an, al-Ikhlas, Surabaya, 1987.
  6. Dt. Mangkudum, N.A.Rsyid, Manusia dalam Konsep Islam, Karya Indah, Jakarta, 1983.
  7. Al-`Aqad, Abbas Mahmud, al-Insan Filsafat al-Qur`an al-Karim, Dar al-Qalam, Kairo, 1973.
  8. Al-Quran dan terjemahnya, 1977. Jakarta: PT. Bumi Restu.

ANALISIS SOSIAL DAN REKAYASA SOSIAL


ANALISIS SOSIAL
Mengapa perlu Ansos?
Disekitar kita banyak sekali fenomena dan problem-problem sosial, seringkali ketika berhadapan dengan berbagai masalah sosial kita sulit untuk mengurai latar belakang masalah, pengaruh kepentingan serta implikasi logis yang mungkin muncul. Kesulitan memahami kaitan masalah sosial disebabkan karena keterbatasan kemampuan dalam memetakan variable yang saling mempengaruhi. Untuk itu, diperlukan kecerdasan dalam melakukan analisis sosial agar mampu membaca dan memahami realitas sosial secara utuh.
Organisasi mahasiswa, adalah bagian dari kehidupan sosial, senantiasa bersinggungan dengan realitas sosial, atau salah dalam memahaminya, maka perubahan sosial yang dilakukan tidak akan efektif, bahkan jauh dari sasaran.

1)                  Pengertian Ansos
Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan histories, structural dan konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial, mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial, bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial.

2)                  Ruang lingkup ansos
Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks transformasi sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai dengan visi atau misi organisasi. Secara umum objek sosial yang dapat di analisis antara lain;
Masalah-masalah sosial, seperti; kemiskinan, pelacuran, pengangguran, kriminilitas
Sistemsosial seperti: tradisi, usha kecil atau menengah, sitem pemerintahan, sitem pertanian
Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pedesaan.
Kebijakan public seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah UU.

3)                  Pentingnya teori sosial
Teori dan fakta berjalan secara simultan, teori sosial merupakan refleksi dari fakta sosial, sementara fakta sosial akan mudah di analisis melalui teori-teori sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat, untuk memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku manusia yang ditempatkan dalam realitas empiris.  Charles lemert (1993) dalam Social Theory; The Multicultural And Classic Readings menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan teknis untuk bisa survive.
Teori sosial merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu yang berakar pada positivisme. Menurut Anthony Giddens secara filosofis terdapat dua macam analisis sosial, pertama, analisis intitusional, yaitu ansos yang menekan pada keterampilan dan kesetaraan actor yang memperlakukan institusi sebagai sumber daya dan aturan yang di produksi terus-menerus. Kedua, analisis perilaku strategis, adalah ansos yang memberikan penekanan institusi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial.
4)                  Langkah-Langkah Ansos
Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain:

M Memilih dan menentukan objek analisis
Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam arti realitas yang dianalsis merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi.

M Pengumpulan data atau informasi penunjang
Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data dan informasi penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media massa, kegiatan observasi maupun investigasi langsung dilapangan. Re-cek data atau informasi mutlak dilakukan untuk menguji validitas data.

M Identifikasi dan analisis masalah
Merupaka tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Pemetaan beberapa variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek.

M Mengembangkan presepsi
Setelah di identifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang objektif. pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan beberapa alternative sebagai kerangka tindak lanjut.

M Menarik kesimpulan
Pada tahap ini telah diperoleh kesimpulan tentang; akar masalah, pihak mana saja yang terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan, akibat yang dimunculkan secara politik, sosial dan ekonomi serta paradigma tindakan yang bisa dilakukan untuk proses perubahan sosial.

5)                  Peranan Ansos Dalam Strategi Gerakan PMII
Ingat, paradigma gerakan PMII adalah kritis transformatif, artinya PMII dituntut peka dan mampu membaca realitas sosial secara objektif (kritis), sekaligus terlibat aktif dalam aksi perubahan sosial (transformatif). Transformasi sosial yang dilakukan PMII akan berjalan secara efektif jika kader PMII memiliki kesadaran kritis dalam melihat realitas sosial. Kesadaran kritis akan muncul apabila dilandasi dengan cara pandangan luas terhadap realitas sosial. Untuk dapat melakukan pembacaan sosial secara kritis, mutlak diperlakukan kemampuan analisis sosial secara baik. Artinya, strategi gerakan PMII dengan paradigma kritis transformatif akan dapat terlaksana secara efektif apabila ditopang dengan kematangan dalam analisis sosial (ANSOS).

REKAYASA SOSIAL

A.      prolog: sebuah kasus awal
                Mulanya biasa saja. Sebuah masyarakat di daerah terpencil pinggiran hutan di Kalimantan adalah  komunitas adat yang setia terhadap warisan tradisi leluhur. Pemahaman mereka atas hutan, pohon dan tanah masih bersifat sakral dan berdimensikan transendental. Tapi sejak upaya modernisasi dari negara melalui proyek pembangunan dengan program transmigrasi, pengembangan kawasan desa hutan, pariwisata, dan apapun namanya, daerah tersebut mulai terbuka bagi masuknya arus masyarakat dari luar komunitas adat, tak terkecuali masuknya Media Televisi melalui antena parabola.
                Keterbukaan masyarakat adat tersebut mulai terlihat dengan persentuhan dengan masyarakat luar yang juga membawa serta bentuk-bentuk kebudayaan; dari cara berpikir hingga perilaku. Tidak itu saja, masuknya televisi telah mampu merubah berbagai sistem nilai dan sistem makna yang terdapat dalam masyarakat terbut. Sebelum ada modernisasi (dan televisi) masyarakat tersebut memiliki kearifan lokal untuk selalu bersosialisasi, berinteraksi sosial, dan sebagainya. Ketika televisi baru memasuki desa dan jumlahnya belum seberapa, alat tersebut justru menjadi sarana yang memperkuat kebersamaan, karena tetangga yang belum mempunyai televisi boleh menumpang menonton. Namun ketika televisi semakin banyak dan hampir tiap keluarga memilikinya, maka kebersamaan itu segera berkahir, karena masing-masing keluarga melewatkan acara malam mereka di depan pesawatnya.
                Tanpa disadari media telivisi telah merubah segalanya dalam struktur maupun kultur masyarakat tersebut. Peristiwa itu meminjam istilah Ignas Kleden menunjukkan bahwa nilai-nilai (kebersamaan atau individualisme) dan tingkah laku (berkumpul atau bersendiri), secara langsung dipengaruhi oleh hadirnya sebuah benda materiil. Parahnya, pola kehidupan yang menghargai kebersamaan beralih menjadi individualis, sifat gotong royong tergantikan sifat pragmatisme dalam memaknai segala bentuk kebersamaan dan kerja. Taruhlah misalnya ketika memaknai tanah warisan. Jika dulu bermakna teologis, sekarang lebih dimaknai bersifat ekonomis belaka. Tidak jarang jika dulu masyarakat mati-matian membela tanah warisnya, sekarang tergantikan kepentingan ekonomis untuk dijual kepada pengusaha dari kota. Tak pelak lagi, hotel-hotel, villa-villa, cafe-cafe dan apapun namanya mulai bermunculan di masyarakat terpencil tersebut. Lambat laun, masyarakat tersebut sudah berubah citranya secara fundamental sebagai masyarakat adat dengan kearifan lokalnya menjadi masyarakat ’pinggiran’ berwajah metropolitan dengan segenap perubahan yang ada. Sayangnya, yang diuntungkan dalam kondisi masyarakat yang demikian ternyata tidak merata. Bahkan hampir sebagian besar masyarakat tetap menjadi ’penonton’ dalam perubahan struktur maupun kultur yang terjadi.
                Dalam kondisi yang demikian, apa yang seharusnya dilakukan? Membiarkan berada dalam situasi ketidakmenentuan, sehingga masyarakat adat kian tersisihkan atau tergerus oleh kepentingan ekonomis-pragmatis atau ikut serta terlibat merancang sebuah strategi perubahan sosial agar perubahan masyarakat tersebut dapat direncanakan?

B.      Perubahan Sosial: awal dari rekayasas sosial
                Prolog ini merupakan catatan awal untuk memberikan suatu preskripsi bahwa perubahan sosial merupakan keniscayaan yang menimpa suatu masyarakat, seberapapun dia tersisolasi. Persoalannya bagaimana perubahan sosial tersebut dirancang dengan perencanaan, sehingga yang muncul dalam masyarakat yang berada dalam order (tatanannya); meskipun didalamnay berkelindan berbagai perubahan. Artinya; tiada masyarakat yang dapat steril dari perubahan sosial. Justru perubahan sosial memberikan suatu bukti terjadinya dinamika di dalam masyarakat tersebut. Tanpa perubahan sosial, masyarakat tersebut adalah masyarakat yang ’mati’, stagnan, tanpa dinamika.
                Terdapat dua (2) bentuk perubahan sosial. Pertama, perubahan sosial yang tidak terencana (unplanned social change). Perubahan social yang terjadi terus menerus yang terjadi secara perlahan yang tanpa direncanakan yang biasanya diakibatkan oleh teknologi dan globalisasi. Perubahan dalam contoh di atas adalah salah satu bentuk adanya perubahan yang tidak disadari dengan hadirnya kebudayaan materiil, yakni televise. Kedua, perubahan social yang terencana (planned social change); yakni sebuah perubahan social yang didesain serta ditetapkan strategi dan tujuannya. Nah, dalam kasus perubahan social di desa adapt tersebut di atas juga terjadi akibat sebuah desain matang (rekayasa social) dari Negara, misalnya melalui proyek modernisasi yang berbalut ideologi pembangunanisme  (developmentalisme).
                Lalu apa sesungguhnya perubahan social tersebut. Perubahan social adalah proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Sementara Suparlan menegaskan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup; sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, serta persebaran penduduk. Selain itu terdapat tiga (3) unsur penting perubahan sosial, yakni (1) sumber yang menjadi tenaga pendorong perubahan, (2) proses perubahan, dan (3) akibat atau konsekuensi perubahan itu.
                Menurut Jalaluddin Rahmat, ada beberapa penyebab terjadinya perubahan sosial. (1) bahwa masyarakat berubaha karena ideas; pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nilai. Max Weber adalah salah satu tokoh yang percaya bahwa ideas merupakan penyebab utama terjadinya perubahan sosial. Hal ini dia perlihatkan dalam menganalisis perubahan sosial dalam masyarakat Eropa dengan semangat etik protestanismenya sehingga memunculkan spirit kapitalisme. Diakui oleh Weber bahwa ideologi ternyata berpengaruh  bagi perkembangan dalam masyarakat. (2) yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam masyarakat juga terjadi dengan adanya tokoh-tokoh besar (the great individuals) yang seringkali disebut sebagai heroes (pahlawan), dan (3) perubahan sosial bisa terjadi karena munculnya social movement (gerakan sosial). Yakni sebuah gerakan yang digalang sebagai aksi sosial, utamanya oleh LSM/NGO, yayasan, organisasi sosial, dsb serta
                Lebih lanjut Kang Jalal menyebut bahwa dalam perubahan sosial dibutuhkan berbagai strategi yang selayaknya dilakukan melalui berbagai cara, tergantung analisis situasi atas problem sosial yang ada. (1)  strategi normative-reeducative (normatif-reedukatif). Normative adalah kata sifat dari norm (norma) yang berarti atuiran-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Norma tersebut termasyarakatkan lewat education, sehingga strategi normatif digandengkan denagn upaya reeducation (pendidikan ulan) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat lama dengan yang baru. Cara atau taktik yang dilakukan adalah dengan mendidik, bukan sekedar mengubah perilaku yang tampak melainkan juga mengubah keyakinan dan nilai sasaran perubahan, (2) persuasive strategy (strategi persuasif). Strategi perubahan yang dilakukan melalui penggalangan opini dan pandangan masyarakat yang utamanya dilakukan melalui media massa dan propaganda. Cara yang dilakukan adalah dengan membujuk atau mempengaruhi lewat suatu bentuk propaganda ide atau hegemoni ide.(3) perubahan sosial terjadi karena revolusi atau people’s power. Revolusi dianggap sebagai puncak (jalan terakhir) dari semua bentuk perubahan sosial, karena ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial, dan mengudang gejolak dan emosional dari semua orang yang terlibat di dalamnya.

C.      Rekayasa sosial: gagasan konseptual
                Berangkat dari realitas bahwa perubahan sosial tidak dapat dicegah sebagai sebuah keniscayaan sejarah, baik direncanakan maupun tidak direncanakan, tulisan ini berupaya lebih dilokalisir untuk mewacanakan perubahan sosial dengan perencanaan atau desain perubahan sosial. Istilah populernya adalah rekayasa sosial.
                Istilah "rekayasa sosial (social engineering)" seringkali dipandang negatif karena lebih banyak digunakan untuk menunjuk perilaku yang manipulatif. Padahal, secara konseptual, istilah "rekayasa sosial" adalah suatu konsep yang netral yang mengandung makna upaya mendesain suatu perubahan sosial sehingga efek yang diperoleh dari perubahan tersebut dapat diarahkan dan diantisipasi. Konsep rekayasa sosial, dengan demikian, menunjuk pada suatu upaya mendesain atau mengkondisikan terjadinya perubahan struktur dan kultur masyarakat secara terencana.             Rekayasa sosial (social engineering) adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang bersih, kuat, disiplin dan berbudaya. Dalam prinsip berpikir sistem, perubahan yang signifikan hanya dapat dilakukan oleh individu dan masyarakat itu sendiri, bukan menunggu peran struktur saja. Untuk membentuk struktur yang kuat, diperlukan elemen kebaruan (emergent properties) yang lahir dari individu dan komunitas yang sadar/belajar secara terus menerus (the lifelong learner). Komunitas ini dapat dirancang dengan menggunakan pendekatan dan penerapan beberapa prinsip organisasi pembelajaran (learning organisation) dan berpikir sistem (system thinking) yang dirajut dan dikonstruksi dalam konsep dan metode pembelajaran primer.
D.      Dari Problem Sosial, Unsur-Unsur Sosial hingga Aksi Sosial
                Pada dasarnya rekayasa sosial hanya dapat diselenggarakan kepada masyarakat yang didalamnya  terdapat sejumlah problem (sosial). Problem-problem sosial tersebut memberikan dampak bagi perjalanan panjang (dinamika) dalam masyarakat.  Tapa ada problem sosial, tidak akan ada orang berpikir untuk melakukan rekayasa sosial. Artinya, problem sosial menjadi faktor utama untuk segera diatas dalam melakukan rekayasa sosial.
                Problem sosial biasanya muncul akibat terjadinya kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi dalam masyarakat (das sollen) dengan kondisi yang sebenarnya terjadi (das sein). Misalnya; awalnya masyarakat berharap agar arus lalu lintas di Metropolitan Surabaya berjalan aman, tertib dan lancar. Semua pengguna jalan raya berjalan dengan mentaati aturan yang berlaku, ada atau tidak ada petuga. Sayangnya, apa yang diinginkan oleh masyarakat bertolak belakang dengan realitas yang terjadi. Betapa banyak pelanggaran lalu lintas terjadi akibat ketidaktaatan mereka pada peraturan. Akibatnya terjadi perbedaan antara yang ideal dengan realitas. Kesenjangan tersebut merupakan suatu problem sosial yang mesti segera di atasi. Itulah sebabnya, dibuatlah sebuah skenario (strategi) sebagai bagian rekayasa sosial melalui kampanye safety riding
                Dengan demikian, dalam melakukan rekayasa sosial, analisis atas situasi (problem sosial) dalam masyarakat tidak boleh ditinggalkan. Sebab, bisa jadi tanpa analisis situasi ini sebuah rekayasa sosial akan mengalami kegagalan. Ibarat sebuah adagium salah di tingkat hulu akan berakhir fatal di tingkat hilir. Salah dalam membaca sebab musabab sehingga terlahir problem sosial akan berakibat kesalahan dalam menentukan rekayasa sosial yang dijalankannya. Tanpa pembicaraan mengenai problem sosial ini, alih-alih melakukan rekayasa sosial untuk menyelesaikan problem sosial, kita mungkin malah menambah panjang munculnya problem sosial baru.      Dalam melakukan pemecahan atas problem sosial ada kalanya memang dituntut aksi sosial (aksi kolektif) yakni tindakan kolektif (bersama) untuk mengatasi problem sosial, sehingga perubahan sosial bisa digerakkan bersama sesuai dengan keinginan bersama.
                Philip Kotler memberikan gambaran unsur-unsur sosial dan aksi sosial yang dapat dilakukan dalam melakukan rekayasa sosial; (1) cause (sebab), yakni upaya atau tujuan sosial –yang dipercayai oleh pelaku perubahan- dapat memberikan jawaban pada problem sosial, (2) change agency (pelaku perubahan), yakni organisasi yang misi utamanya memajukan sebab sosial, (3) Change target (sasaran perubahan); individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan, (4) Channel (saluran); media untuk menyampaikan pengaruh dan dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan, dan (5) Change strategy (strategi perubahan); teknik utama untuk mempengaruhi yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan.
                Sebagai catatan tambahan, dalam melakukan rekayasa sosial –hal lazim yang marak digunakan oleh LSM/NGO atau organisasi sosial- adalah melakukan analisis situasi dengan pendekatan analisis SWOT; yakni Streght (kekuatan), Weakness (kelemahan), Oppurtunity (peluang) dan Treath (ancaman). Analisis ini dilakukan untuk mengukur seberapa besar kemampuan atau potensi kita dalam melakukan rekayasa sosial. Melalui analisa ini, minimal kita dapat menentukan bentuk-bentuk rekayasa sosial yang hendak dijalankan. Namun demikian, ada berbagai pendekatan dalam melakukan rekayasa sosial –tergantung dari- gaya dan prototipe masing-masing pelaku perubahan sosial sekaligus masyarakat yang akan dirancang perubahan sosialnya.


E.       Epilog 
                Namun demikian dalam melakukan rekayasa sosial harus dihindarkan berbagai bentuk kesalahan (asumsi) yang kemudian disebut sebagai kesesatan berpikir (fallacy). Artinya, harus dicermati dan diwaspadai juga, bahwa dalam masyarakat yang hendak dirancang rekayasa sosialnya (misal korban) masih mengendapnya berbagai bentuk pola pikir yang dapat mengganggu jalannya rekayasa sosial. Misalnya, fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melakukan over generalisasi), fallacy of Retrospektif Determinisme (kecenderungan yang menganggap bahwa masalah sosial yang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang), argumentum ad populum (kecenderungan untuk menganggap bahwa pendapat kebanyakan masyarakat sebagai kebenaran), dsb.
                Rekayasa sosial akan mendapat tantangan bisa jadi bukan berasal dari pihak luar atau kelompok sosial di luar, tetapi justru dalam masyarakat yang hendak dirancang perubahan sosial; masyarakat yang menjadi korban dari kelompok kepentingan. Dus, tanpa perencanaan yang matang bisa jadi bukan keberhasilan yang diperoleh justru kitalah menjadi penyebab kian melembaganya problem sosial. Wassalam...